PWMU.CO– PR kita memperingati G30S/PKI kemarin adalah mengapa umat Islam sulit kompak? Inilah penyebab kekalahan di hampir semua bidang terutama politik dan ekonomi yang punya nilai sangat strategis.
Akibatnya, aspirasi umat sulit tertampung. Bagaimana tertampung dan tersambung kalau suara wakil-wakilnya di DPR kecil-kecil. Kecil kalau kompak mendingan. Tapi ini hanya grubyak-grubyuk ikut partai penguasa. Memang lumayan, diberi kursi kabinet, tapi yang kelas pinggiran.
Cobalah lihat angkanya dari hasil Pemilu 2019 lalu. PKB (9,7 persen), PKS (8,2), PAN (6,8), PPP (4,5), PBB yang disebut The New Masyumi yang pada 1955 mendapat kursi sama banyaknya dengan PNI (57 kursi), kemarin hanya meraih 0,79 persen. Jauh di bawah partai kemarin sore PSI yang sudah dapat 1,9 persen.
Bandingkan dengan PDIP yang meraih dua digit 19,3 persen. Ciri partai nasionalis sejak dulu terkenal kompak. Meski diganggu di zaman Orba, mereka tetap solid: berfigur satu Megawati Soekarnoputri.
Dengan angka seperti di atas, bagaimana bisa mewarnai Senayan? Walhasil, jalan pragmatis yang diambil, ikut penguasa. Lumayan dapat jatah menteri dan tidak diobok-obok. Persis seperti jalan Hary Tanoesoedibjo (Perindo) saat masih berseberangan. Akhirnya dia menyerah dan mengambil jalan damai mendukung penguasa.
Padahal ketika masih solid dulu, umat Islam punya suara yang sangat berpengaruh di dewan maupun konstituante. Lihatlah hasil Pemilu 1955. Empat besarnya diraih oleh PNI 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante, Masyumi 57 kursi DPR dan 112 Konstituante, NU 45 kursi dan 91 Konstituante, PKI 39 kursi DPR dan 80 Konstituante.
Mengapa belakangan menjadi gurem? Karena sulit kompaknya. PAN misalnya, sekarang boleh dikatakan partai paling amburadul. Amien Rais, salah satu pendirinya, malah tersingkir dan membuat partai sendiri yang hari ini dideklarasikan dengan nama Partai Ummat.
Misinya keren: melawan kedholiman. Keren tapi akan jadi macan ompong jika dalam Pemilu nanti tak mendapat suara. Hanya, berhasil memecah suara umat.
Ekonomi Bondho Nekat
Apalagi jika kita bahas ekonomi. Padahal, mestinya kita berpolitik setelah basis ekonominya kuat. Sehingga menjadi partai yang gagah, bukan pengemis. Tapi, jika hanya bondho nekat hasilnya seperti sekarang ini. Justru dijadikan kendaraan untuk mencari rezeki yang berakibat menyekiankan misi luhurnya.
Berpolitik dan terutama berpartai alangkah hebatnya jika sudah mempunyai tabungan triliunan dulu, sudah mempunyai televisi dulu, sudah mempunyai koran dulu, sudah mempunyai basis ekonomi dulu, pasti kuat dan berwibawa. Bukan murahan dan mudah tergadai.
PR kita yang masih berat adalah di penguasaan ekonomi. Lihatlah Forbes Indonesia’s 50 Richest. Lebih dari 80 persen ekonomi Indonesia dikuasai para konglomerat. Dari the ten richest, hanya Chairul Tanjung yang bertengger di nomor 9.
Jadi jika kita mau berjihad di bidang politik dan ekonomi dari mana memulainya? Untuk politik, pertama, kompak dulu. Bukankah Ali Imron: 103 yang sering kita baca dan dengar pada khotbah Jumah memerintahkan kita untuk kompak, tak boleh bercerai berai. Wala tafarraqu!
Dari mana memulainya? Seperti yang dilakukan Unmuh Malang bersilturahim sekaligus mendengarkan ceramah Gus Baha’. Small step yang harus diikuti the next steps.
Jika NU dan Muhammadiyah kompak, tak terbayang dahsyatnya umat Islam di negeri ini. Karena itu para pemimpinnya harus menyadarinya dan terutama juga sadar bahwa banyak pihak yang tidak menghendaki keduanya kompak. Bisa menggoyahkan kelompok lainnya.
Jihad ekonomi? Lupakan politik, berwiraswastalah seperti Chairul Tanjung, seperti Nurhayati Subakat Wardah, seperti almarhum Moh Nadjikh Kelola Mina Laut. Mereka membuktikan bisa dan Anda pun insya Allah bisa. Syaratnya: lupakan politik. Politik baru kita terjuni jika sangunya sudah triliunan.
Semoga spirit memperingati heboh-heboh PKI, seperti yang kita tonton di ILC atau yang diperjuangkan KAMI, memberikan spirit berjihad ini. Menggarap PR kita. Keluar jadi gurem. Salam!
Penulis Ali Murtadlo Editor Sugeng Purwanto