H Sutikno, Puisi “Menunggu Giliran” seperti Firasat Wafatnya, ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur; Pemimpin Umum Majalah Matan.
PWMU.CO – Banyak orang yang punya kontribusi besar bagi dakwah Muhammadiyah. Namun namanya tidak muncul dalam sejarah. Gara-garanya, dia bukan orang panggung atau pandai berkhutbah. H Sutikno salah satunya.
Pria kelahiran Pacitan, 7 Pebruari 1939, itu dikenal tekun menjalankan tugas menjadi pencerah warga Persyarikatan sebagai penyalur majalah Matan. Majalah bulanan yang diterbitkan PWM Jatim itu disebarkan kepada warga di Cabang dan Ranting se-Kabupaten Jember.
“Menjadi agen Matan bukan semata-mata mencari untung dari penjualan majalah tersebut. Tapi untuk menyebarkan dakwah,” kata istrinya, Siti Bastiah yang selalu menemani ke mana pun suaminya pergi. “Bahkan sering rugi jika dihitung biaya transportasi,” imbuhnya memberikan kesaksian.
Bagi istrinya, pensiunan PT Pertani itu sangatlah penyabar. “Pak Tik itu orang paling sabar di dunia. Dan, ke mana pun pergi, kami selalu berdua,” kenang wanita yang dinikahi ketika sama-sama menjadi pegawai PT Pertani tersebut.
Kendati sering gagal menagih uang majalah dari pelanggan, namun dia tidak pernah sedikit pun mengeluh. Padahal tempat menagihnya saling berjauhan. “Kalau gagal hari ini, ya nanti ditagih lagi. Itung-itung silaturrahmi,” kata Bu Tik, menirukan ucapan sabar suaminya.
Semangat dan mobilitasnya juga patut diteladani oleh para kader muda. Meski sudah tua, beliau tak pernah surut menjalankan perannya. Tanpa banyak bicara, beliau selalu terlibat dalam aneka kegiatan Persyarikatan, mengalahkan kaum muda.
Karir di PT Pertani
Pak Tik mengawali karir sebagai pegawai PT Pertani di Ponorogo, tahun 1960. Di Kota Reog inilah dia mengenal calon istrinya. Kemudian pindah ke Pacitan sebagai Kepala PT Pertani tahun 1962-1974. Pada 1975-1989, dia menjabat Kepala PT Pertani Cabang Lumajang, dan dilanjutkan di Jember pada 1989-1994.
Keterlibatannya dalam Persyarikatan diawali saat beliau bertugas di Pacitan. Meski tidak masuk dalam struktur, dia aktif mengikuti kegiatan yang digelar ormas Islam bersimbol matahari tersebut. Hal yang sama juga dilakukan ketika berada di Lumajang.
Beliau baru mulai masuk struktur pimpinan setelah di Jember. Antara lain, menjadi Bendahara PRM Krejengan, Patrang (1992-2000); Anggota Majelis Wakaf PDM Jember (2000-2005). Lalu Bendahara PCM Patrang (205-2010).
Sisi lain yang belum banyak diketahui, sosok murah senyum yang dikenal hobi memotret, ini ternyata juga memiliki bakat seni yang luar biasa.
“Lewat perenungannya tentang alam semesta, Pak Tik menuangkannya dalam puisi-puisi yang sederhana dan menyentuh,” kata Imam Suligi, Ketua Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jember 2005-2010.
Giliran Menghadap seperti Puisinya
Satu demi satu teman-temanku meninggal dunia
Menghadap Tuhan Yang Maha Esa.
Besuk atau lusa mungkin giliran saya.
Memang pasti dan tidak bisa dipungkiri
Kita semua menanti
menunggu giliran mati…
Itulah sepenggal puisi, yang diterbitkan sebagai kado ulang tahunnya yang ke-70, dengan judul “Renungan Menunggu Giliran”. Seolah sebuah firasat, dua tahun kemudian, beliau benar-benar mendapat “giliran” untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa.
Diceritakan oleh istrinya, pada Sabtu (16/6/2011) sore, ketika ayah empat anak itu sedang membersihkan ruang kerjanya, di rumah Jalan dr Soebandi II Nomor 41, Patrang, Kabupaten Jember. Beliau terjatuh dari lantai dua. Tapi peristiwa persisnya tidak ada yang tahu, karena sang isteri sedang berada di rumah Nomer 43.
“Musibah tersebut baru diketahui dari seorang tetangga, beberapa menit kemudian,” ungkap Siti Bastiah, seraya mengusap air mata yang terus membasahi pipinya.
Mengetahui kondisi suaminya yang sudah tidak sadarkan diri, wanita sepuh ini langsung membawanya ke Rumah Sakit Soebandi, yang berada tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Namun, usia seseorang tiada yang tahu. Tidak lama setelah dirawat di IRD, tepat pukul 18.04, lelaki berusia 72 tahun itu mengembuskan nafas terakhir.
Musibah terjadi pada saat dirinya sedang sibuk menyiapkan laporan pertanggungjawaban untuk kegiatan musyawarah cabang, “giliran” yang ditunggu-tunggu itu datang menghampirinya. Seperti ditulis di akhir bait puisinya:
… tiba-tiba maut merenggut nyawaku
dan orang-orang pun terkejut mendengar berita kematianku
seraya mengucap: inna lillahi wa inna ilahi rajiun.
Almarhum meninggalkan seorang istri dan empat anak. Yaitu Ir Eko Winarso yang kini tinggal di Jakarta, drg Rina Dwi Astuti di Lumajang, Farida Tri Astuti SPd di Jember, dan Noverita Wahyuningsih.
Bagi Bu Tik, sapaan akrab istrinya, kepergian suaminya adalah sebuah kehilangan yang sangat besar. Meski terus berusaha ikhlas, tetap saja ia tidak bisa melupakan kenangan semasa menjalani hidup bersama suami tercinta. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.