Ketika Pak AR Minta Pak Harto Mundur, kolom ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Banyak yang tidak tahu bahwa Pak AR Fakhruddin pernah minta Pak Harto tidak mencalonkan lagi sebagai presiden. Permintaan itu disampaikan bahkan sampai dua kali. Bagaimana reaksi Pak Harto?
Peristiwa ini belangsung rahasia. Tidak diumumkan, Pak AR bukan sedang melakukan protes. Lalu butuh publikasi. Tidak! Orang lain tak perlu tahu. Pak AR sedang memberi nasIhat kepada sahabat dekatnya, yaitu Pak Harto.
Untung ada Pak Sukriyanto, putra kedua beliau. Pak Sukri adalah orang yang sering mendampingi PAK AR dalam berbagai kegiatan. Atau diberi cerita oleh Pak AR tentang apa yang telah beliau lakukan.
Maka lewat Pak Sukri banyak kejadian atau anekdot tentang kehidupan Pak AR yang diketahui umum. Salah satunya tentang nasIhat kepada Pak Harto agar tidak mencalonkan lagi sebagai presiden.
Kedekatan Pak AR dengan Pak Pak Harto
Hubungan Pak AR—nama lengkapnya KH Abdul Rozak Fachruddin, Ketua (Umum) PP Muhammadyah 1960-1990—dengan Pak Harto bukan sekadar antara Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Presiden. Keduanya merupakan dua orang sahabat dekat.
Setelah tidak menjadi ketua keduanya masih bersahabat akrab. Kepada Pak AR agaknya Pak Harto bisa bercerita soal pribadi, misalnya keluarga Pak Harto di Rewulu, di Kedung Banteng, dan di Sangonan.
Termasuk ketika Pak Harto bersekolah di HIS Muhammadiyah dan menjadi anggota Hizbul Wathan. Beliau tidak lama, hanya dua tahun di HIS Muhammadiyah dan Hizbul Wathan karena harus pindah ke Wonogiri Jawa Tengah.
“Setelah lulus dari SR saya melanjutkan sekolah ke Wonogiri. Tetapi pada usia 14 tahun saya kembali ke kampung halaman di Kemusuk, Argomulyo dan meneruskan sekolah di SMP Muhamadiyah. Yogyakarta. Saya pilih sekolah di Muhammadiyah karena antara lain terbentur biaya. Di sekolah Muhammadiyah ini saya tidak diharuskan memakai sepatu bahkan diperbolehkan memakai sarung,” kata Pak Harto—nama akrab Presiden Soeharto yang memimpin Republik Indonesia 12 Maret 1967–21 Mei 1998.
Minta Pak Harto Berhenti
“Lihatlah isi ucapannya. Jangan melihat siapa yang mengucapkan.” Konon ini ucapan dari Ali bin Abu Thalib. Namun dalam kenyataan di masyarakat siapa yang bicara itu menjadi kunci juga.
Satu ucapan boleh jadi membuat orang tersinggung. Tetapi boleh jadi menjadi hal biasa jika diucapkan oleh orang yang berbeda karena punya hubungan yang bebeda. Dan cara menyampaikan juga bebeda.
Demikian juga dengan permintaan Pak AR agar Pak Harto tidak lagi mencalonkan jadi presiden. Ini soal peka. Tidak tiap orang berani menyampaikan. Pertimbangan Pak AR adalah beliau melihat Pak Harto itu orang baik, pemimpin yang baik, presiden yang hebat.
Tetapi kalau memegang kekuasaan terlalu lama maka bisa menjadi tidak baik. Apalagi kalau dikultuskan. Waktu itu Pak AR melihat ada bahaya besar jika Pak Harto pegang jabatan terlalu lama.
Dalam buku Pak AR dan Jejak-Jejak Bijaknya tulisan Haidar Musyafa, Pak Syukri bercerita bahwa menjelang Pemilu 1987 Pak AR sudah menyarankan agar Pak Harto tidak mencalonkan lagi sebagai Presiden. Saran itu disampaikan di Istana Negara Jakarta dengan bahasa santun, bahasa Jawa kromo inggil.
“Sakpunika kita sampun sepuh, Pak Harto. Insyaallah, wonten Muktamar Muhamamdiyah tahun 1990 semangkih kula ugi badhe mandap. Monggo kita sareng-sareng mandhap. Kita serahaken kepimpinan nigari punika dumateng kader-kader ingkang tasih enem,” kata Pak AR.
Artinya: Sekarang kita sudah tua Pak Harto. Insyaallah pada Muktamar Muhamamdiyah tahun1990 nanti saya juga akan mundur. Mari kita sama-sama mundur. Kita serahkan negeri ini kepada kader-kader yang masih muda.
Apa reaksi Pak Harto? Beliau hanya tersenyum. Itu artinya Pak Harto tidak bersedia mundur. Masih akan mencalonkan lagi sebagai Presiden. Namun hubungan Pak AR dan Pak Harto tetap akrab dan hangat.
Jauh hari sebelum pemilu 1992 Pak AR sempat minta waktu bertemu empat mata dengan Pak Harto. Permintaan itu dikabulkan. Dalam pertemuan itu Pak AR sebagai orang yang lebih tua menyarankan sekali lagi agar Pak Harto tidak mencalonkan diri sebagai presiden. Lagi-lagi Pak AR menyampaikan secara halus dengan menggunakan bahasa jawa kromo inggil.
“Kita punika sampun sepuh, Pak Harto. Langkung prayogi menawi kita legawa nyerahaken kepemimpinan nagari punika wonten astanipun generasi muda. Nggih supados wonten regenerasi,” kata Pak AR.
Maksutnyaa: Sekarang ini kita sudah tua, Pak Harto. Alangkah lebih baik jika kita ikhlas menyerahkan kepemimpinan negeri ini di tangan generasi muda. Ya, supaya ada regenerasi.
Menurut Pak Syukri, Pak Harto sama sekali tidak tersinggung dengan saran Pak AR. Bahkan merasa mendapat perhatian dan saran, mengingat Pak Harto sudah 24 tahun berkuasa. Apa jawaban Pak Harto?
Inilah jawabnnya: “Nggih, matur sembah nuwun, Pak AR, sampun kersa paring papemut dateng kula. Ananging wanci sapunika kula dereng saget nglampahi menapa ingkang dados kersanipun Pak AR. Nggih amargi kula tasih dipun gundeli.”
Artinya: Ya, saya ucapkan banyak terima kasih karena Pak AR telah bersedia memberi nasihat kepada saya. Hanya saja untuk saat ini saya belum bisa melaksanakan apa yang menjadi keinginan Pak AR. Ya, karena saat ini saya masih tetap terus diminta.”
Tak Ada Beban
Pak AR sepertinya tidak punya beban menyampaikan saran sensitif kepada Pak Harto. Sebaliknya Pak Harto juga tidak merasa tersinggung diminta berhenti sebagai presiden.
Hal itu mungkin Pak Harto bisa merasakan ketulusan Pak AR sebagai seorang sahabat. Akhirnya memang Pak Harto juga lengser. Namun dipaksa oleh keadaan. Hal itu sebenarnya yang pernah dikawatirkan Pak AR. Andaikan saran Pak AR waktu itu diikuti, mungkin sejarah pejalanan hidup Pak Harto menjadi lain.
Kedua orang sahabat itu tetap akrab dan hangat sampai ajal memisahkan mereka. Bahkan setelah Pak AR meninggal dan Pak Harto tidak lagi menjadi presiden, hubungan persahabatan dengan Pak Harto itu tetap dilanjutkan oleh anak-anak Pak AR. (*)
Ketika Pak AR Minta Pak Harto Mundur.; Editor Mohammad Nurfatoni.