H Mahsuni Dahlan, Mubaligh Muhajirin dari Klaten, ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Watak tajdid Muhammadiyah, tampaknya senafas dengan mental perantau yang mendambakan perubahan. Sehingga tidak heran jika dalam sejarah perkembangan Persyarikatan ini di banyak daerah, selalu ada peran signifikan dari pendatang (muhajirin), termasuk di Cabang Wuluhan.
Di tempat penelitian Prof Abdul Munir Mulkhan yang melahirkan tiga tipologi orang Muhammadiyah (Muhlas, Munu, dan Marmud) tersebut, terdapat seorang ‘muhajirin’ dari Klaten, Mahsuni Dahlan.
Alkisah, tidak lama setelah lulus dari Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo pada 1965, Mahsuni diminta mengajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah yang berada di kawasan Jember selatan itu. Semula bernama PGAL (Pendidikan Guru Agama Lengkap), lalu pada era 80-an diubah menjadi SMP dan SMA, hingga sekarang menjadi SMPM 6 dan SMAM 2.
Setelah dua tahun menjalani tugas sebagai guru, pria kelahiran 1 September 1941 ini menemukan lahan subur bagi pelaksanaan misi dakwahnya, sekaligus menemukan wanita tambatan hatinya: Martinah, yang dinikahi pada 1967.
Pemuda Mahsuni yang semula tinggal di rumah KH Abdul Wachid—-pengurus sekolah yang sekaligus Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM)—itu pun kemudian pindah ke “Pondok Mertua Indah”.
Seiring perjalanan waktu, kesibukan terus bertambah. Bukan hanya mengajar di Wuluhan, tapi juga di SMA Baitul Arqom Balung, MAN 1 dan MAN-PK 1 Jember, serta Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ).
Di luar jadwal mengajar, ayah dari Eko Rini Nurhayati, Fuad Effendi, Bahar Agus Setiawan, dan Dian Ratna Elmaghfuroh, itu kerap mengisi berbagai pengajian, dan kegiatan Persyarikatan lainnya.
“Aktivitas ayah selain mengajar, lebih banyak untuk organisasi dan mengisi pengajian,” kata Bahar Agus Setiawan, anaknya nomor tiga.
Selaku PNS di lingkungan Dinas Pendidikan, dia pernah menjadi kepala sekolah negeri, dan merangkap jabatan di Kantor Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K).
“Namun nalurinya sebagai aktivis yang tidak mau terikat, mendorongnya untuk memilih pensiun dini. Apalagi ketika itu PNS harus tunduk pada salah satu partai politik, dan kegiatannya selalu diawasi,” kata Agus seraya menjelaskan bahwa setelah pensiun, aktivitas dakwahnya semakin padat.
Karir di Muhammadiyah
Karirnya di Persyarikatan, dirintis mulai dari bawah. Dalam catatan sejarah PCM Wuluhan, perannya sangat signifikan. Bahkan pernah ‘dipaksa’ menjadi Ketua PCM selama tiga periode berturut-turut (1980-1985, 1985-1990, 1990-1995).
Baru setelah itu, dengan alasan regenerasi dan seiring dirinya terpilih sebagai Anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jember masa jabatan 1995-2000, jabatan Ketua PCM itu bisa dilepas.
“Peran dia sangat menonjol sebagai penengah antara dua kubu yang saling berseteru di jajaran PDM,” cerita Drs Ali Fauzi, yang ketika itu menjabat Sekretaris PDM. Beliau lantas terpilih kembali pada periode berikutnya (2000-2005) sebagai wakil ketua.
Sebenarnya pada periode 2005-2010, dirinya masih diamanati jabatan Bendahara PDM. Namun amanah itu tidak dapat ditunaikan secara penuh, lantaran diminta oleh Partai Amanat Nasional (PAN) untuk menjadi Caleg DPRD Jember, dari Dapil IV pada Pemilu Legislatif 2008.
“Meski tidak berhasil menjadi anggota legislatif, setidaknya dia telah memberikan teladan yang baik dalam penegakkan aturan Persyarikatan bahwa setiap pimpinan yang menjadi caleg harus non-aktif,” kata KH Bahruddin, karibnya di PDM.
Khatib Masjid Jamik
Di luar Persyarikatan, beliau dikenal mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Salah satu indikator sederhananya, beliau dipercaya menjadi khatib Jumat dan kuliah subuh di masjid jamik.
Sementara di mata anak-anaknya, Ketua Pengurus Panti Asuhan Al-Iman PCM Wuluhan ini dikenal sebagai sosok penyabar. “Dalam memberikan teguran, selalu mempertimbangkan dua perspek¬tif: dari sisi positif dan negatif, yang bebas untuk dipilih,” kisah Agus yang juga dosen di UMJ.
Hal lain yang menurutnya patut diteladani oleh generasi muda adalah ketekunannya dalam membaca buku. “Rata-rata lima jam sehari, waktunya digunakan untuk membaca buku dan majalah, kemudian dirangkum sebagai bahan pengajian dan khutbah Jumat,” Agus menam-bahkan.
Sosok yang telah mengembuskan nafas terakhir pada 7 Juli 2015, itu boleh dibilang merupakan profil seorang ‘muhajirin’ atau ‘mubaligh hijrah’ yang perannya sangat penting bagi pengembangan dakwah Muhammadiyah.
Belajar dari pengalaman tersebut, tampaknya Muhammadiyah perlu mendesain ‘mubaligh hijrah’ yang lebih masif, untuk percepatan dakwah pencerahan di tengah (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.