Inilah paradoks modernitas. Semakin modern, manusia ternyata semakin butuh akan hal-hal yang tidak rasional. Modernitas muncul sebagai antitesa klenik dan takhayul. Nun sejak kurun Plato dan Aristoteles di zaman Yunani Kuno. Cara pikir manusia terbelah menjadi dua. Aristoteles, murid Plato, yakin bahwa dunia itu riil, nyata, tercecap, tercerap, tersentuh oleh indera. Hanya sesuatu yang bisa tersentuh oleh indera yang bisa disebut sebagai realitas. Hal-hal lain yang tidak tampak oleh indera dianggap tidak ada dan tidak bisa diyakini keberadaannya.
Plato berbalik keyakinan dari muridnya. Sang guru yakin bahwa realitas itu tidak hanya yang tampak dan tersentuh oleh indera saja. Ada realitas yang tak tampak tetapi tetap menjadi sebuah realitas. Rasa benci, sayang, cinta, takut, sedih bahagia, kecewa, adalah realitas. Plato meyakini keberadaan hal-hal itu sebagai realitas.
Pada abad pertengahan bangsa Eropa hidup dalam kondisi yang penuh takhayul dan klenik. Lembaga gereja menjadi pembela terkuat keyakinan klenik dan takhayul dan mempergunakan kekuatan koersif untuk menghukum dan membunuh mereka yang menentang dominasi gereja.
(Baca juga: Ternyata Kejayaan Islam Pengaruh dari Ilmu Pengetahuan)
Sampai muncullah zaman pencerahan, Rennaisance, yang membawa rasionalitas Aristotelian sebagai dasar ilmu pengetahuan. Muncullah para pemikir rasional seperti Descartes, Hume, dan Locke yang memperkenalkan rasionalisme dan empirisme Aristotelian. Lalu muncullah positivisme August Comte yang menjadi pendorong berpikir rasional sebagai dasar lahirnya revolusi ilmu pengetahuan.
Positivisme meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena hukum kausalitas, sebab akibat. Hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dalam hukum kausalitas dianggap sebagai bukan ilmu pengetahuan. Zaman kejayaan akal mendominasi. Rasio menjadi segala-galanya. Iman dan filsafat tersisih karena berada pada sisi keyakinan yang berbeda. Filsafat dan agama bukan ilmu pengetahuan dan karenanya dianggap bertentangan dengan modernitas.
Kejayaan peradaban Barat yang moncer sejak abad ke-17 terbukti membawa kemakmuran bagi bangsa-bangsa Eropa. Ilmu pengetahuan melahirkan teknologi yang membawa kejayaan peradaban Barat mengalahkan peradaban lain termasuk Islam.
(Baca juga: Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Tonggak Kultur Keilmuan Persyarikatan)
Peradaban Islam yang berhasil mengadopsi filsafat Yunani menjadi dasar peradaban yang lengkap karena dipadu dengan iman, ternyata hanya bisa bertahan tujuh abad. Sepeninggalan Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7, Islam berkembang dan bertahan, untuk kemudian runtuh pada abad ke-14 dan diambil alih oleh peradaban Barat yang sekuler berdasarkan pada prinsip positivisme yang menjadikan manusia dan kehidupan dunia yang nyata ini sebagai sentral.
Kini, 300 tahun setelah peradaban sekuler Barat menguasai panggung dunia, bibit-bibit kemunduran mulai terasa di mana-mana. Kemakmuran materialistis akibat dari kemajuan sains dan teknologi, terbukti tidak bisa membawa kebahagiaan bagi bangsa Barat. Mereka menjalani hidup materialistis yang hampa karena tidak ada tujuan, karena tidak yakin akan adanya sesuatu setelah kematian. Semua kenikmatan hidup yang sengaja dipusatkan untuk memenuhi hasrat kenikmatan nafsu manusia yang rendah terbukti banyak membawa kerusakan dan kehancuran pada alam.
Mereka mulai mencari arti hidup dengan mengembara ke dunia mistik Timur. Di dalam kekosongan jiwanya mereka lari ke mistisisme karena jiwa mereka kosong dari iman.
Islam seharusnya punya potensi mengisi kekosongan ini. Tetapi, kejumudan pikiran Islam yang membelenggu sejak abad ke-14– ketika rasionalitas dimatikan karena dianggap bertentangan dengan wahyu–masih tetap menjadi penyakit yang belum sembuh sampai sekarang. Iman dan rasio ilmu pengetahuan masih menjadi minyak dan air di dunia Islam sekarang ini.
(Baca juga: Muhammadiyah Berkemajuan, Jawaban Islam Indonesia Masa Depan)
Kekosongan peradaban ini menganga lebar. Di Indonesia, modernitas belum mencapai puncak pencapaian. Mayoritas bangsa kita masih hidup dalam pola pikir Eropa zaman pertengahan yang mistis dan penuh klenik. Mereka inilah yang menjadi sasaran empuk orang-orang seperti Dimas Kanjeng.
Tapi, ada juga segmen dalam masyarakat kota yang terjangkit penyakit hedonisme dan materialisme yang merupakan penyakit bawaan dari modernitas. Para hedonis dan materialis itu adalah para selebritas yang kosong jiwa dan kemudian tersesat dan terperangkap ke belantara klenik Eyang Subur, Guntur Bumi, dan Gatot Brajamusti.
Ada pula kaum modern berpendidikan tinggi dan lulusan univeritas Barat yang sudah lama terekspos modernitas Barat dan akhirnya ikut merasakan kekosongan dan kehampaan peradaban Barat. Mereka inilah yang terdampar menjadi santri-santri Lia Eden, Dimas Kanjeng, dan sejenisnya. Mungkin, Dr Marwah Daud adalah salah satu di antaranya. Wallahu a’lam. (*)
Kolom Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior