PWMU.CO– Demo UU Omnibus Law Cipta berlangsung di penjuru kota oleh massa buruh, mahasiswa, dan aktivis di berbagai kota mulai Senin hingga Selasa (6/10/2020). UU ini merugikan dan mengurangi hak buruh.
Mencermati UU Omnibus Law Cipta Karya, aturan yang bisa merugikan pekerja antara lain pertama, tentang nilai pesangon yang turun cukup drastis dari ketentuan sebelumnya..
Kedua, kontrak karyawan boleh selamanya tanpa ada kepastian diangkat menjadi karyawan tetap. Ketiga, outsourcing boleh untuk seluruh jenis dan posisi pekerjaan.
Keempat, adanya upah per jam. Kelima, TKA bisa menduduki lebih banyak jenis dan posisi pekerjaan, bahkan yang kasar sekalipun. Keenam, PHK yang dipermudah.
Tanggapan Busyro Muqoddas
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan, pengesahan UU Omnibus Law Cipta Karya menggambarkan defisit moral pemerintah dan DPR. Demo buruh dan masyarakat lainnya merupakan respon yang wajar.
Menurutnya, pengesahan UU ini dengan penuh kekumuhan moralitas yang bukan saja rendah, tapi sama sekali defisit moral dari pemerintah dan DPR di saat masih berada dalam kondisi masyarakat tak mampu untuk menyampaikan aspirasi secara normal karena situasi pandemi covid.
”Itu dicuri momentumnya dengan cara mentalitas jumawa tadi,” kata Busyro. Dia mengaku tak tak kaget dengan pengesahan UU Cipta Kerja ini sebab pemerintah saat ini menguasai DPR.
”Tidak begitu mengagetkan karena sikap Presiden Jokowi itu semakin merasa jumawa karena menguasai DPR. Sehingga penuh keyakinan ambisi untuk RUU Omni ini yang semula ditargetkan 100 hari kemudian mundur tapi pada akhirnya yang terjadi seperti ini, karena faktor kejumawaan tadi,” ujarnya.
Dikatakan, ini mempertegas analisis berbagai pihak bahwa ada kekuatan pemodal yang begitu besar yang menjadi cukong dalam Pemilu 2014 dan terutama 2019. ”Ini tagihan terbesar, tagihan yang sebelumnya ada juga UU KPK itu langkah awal, sehingga KPK nggak bisa berbuat apa-apa,” tandasnya.
Dia juga menyebut pengesahan ini membunuh demokrasi. Namun dia mengapresiasi dua parpol yakni PD dan PKS yang menolak RUU Ciptaker untuk disahkan.
”UU Omnibus Law ini dipaksakan dalam situasi yang sekarang masyarakat itu mau demo sangat terbatas belum lagi surat edaran Kapolri, itu kan sudah sangat represif,” ujarnya.
Pasal-pasal yang Merugikan
Pasal 88B Pasal 88B berbunyi
(1) Upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil,
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal tersebut memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan). Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.
Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 berbunyi: (1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal tersebut mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan. Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.
Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang. Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.
Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT Jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi disebutkan akan diatur dalam PP.
Selengkapnya UU Omnibus Law Cipta Kerja bisa dibaca di sini.
Penulis/Editor Sugeng Purwanto