Syafaat, kolom ditulis oleh intelektual Muhammadiyah Prof Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; mantan Rektor Universtas Muhammadiyah Sidoarjo.
PWMU.CO – Di antara agama-agama samawi, Islam tampaknya merupakan agama yang paling detil membicarakan masalah-masalah eskatologis, sejak dari saat kematian seseorang sampai keabadian surga dan neraka.
Penaafsiran terhadap persoalan-persoalan eskatologis itupun terus berkembang mengikuti kecenderungan berkembangnya berbagai disiplin ilmu Islam, misalnya ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.
Bahkan disiplin ilmu yang sama sekalipun ternyata meghasilkan penafsiran yang berbeda bahkan bertentangan. Polemik kalam antara Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah menjadi contoh yang sangat jelas dalam banyak hal, termasuk eskatologis.
Namun dapat disederhanakan bahwa hampir semua kontroversi itu berpangkal pada faktor hubungan antara wahyu dan akal, teks dan konteks, atau hakikat dan majaz. Karena itu, adalah wajar jika karya-karya tentang kalam begitu nyata menjadi saksi bagi kemajuan intelektual khususnya pada abad-abad pertengahan.
Eskatologi Syafaat
Salah satu persoalan eskatologis yang menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama Islam ialah syafaat. Ia diperdebatkan oleh kalangan yang sangat luas.
Namun demikian, makalah ini akan membatasi diri untuk mengemukakan bagaimana para ulama, khususnya mufassirun (para ahli tafsir) baik di kalangan Ahl al-Sunnah, Mu’tazilah maupun Syi’ah, memahami makna syafa’at seperti yang tercantum dalam berbagai ayat al-Quran.
Sekalipun dalam sejarah abad pertengahan persoalan syafaat ini tidak menjadi pemicu konflik atau ketegangan sosial, seperti halnya persoalan sifat Tuhan, tetapi ia banyak dibicarakan dalam karya-karya intelektual Muslim bahkan sampai saat ini.
Pada dasarnya al-Quran menuntut manusia untuk berbuat kabaikan dan meninggalkan kejahatan di dunia ini. “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya)nya, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (al-Zalzalah 7-8)
Maka, setiap manusia akan bertanggung jawab secara pribadi di hadapan Allah pada Hari Akhir. Ia akan menerima hukuman atas perbuatannya yang jahat, dan akan menerima pahala atas perbuatannya yang baik. (al-Baqarah 286).
Dengan keadilan Allah pada hari itu, tak seorang pun dapat menghindar dari pengadilan-Nya, dan tak seorang pun akan bertanggung jawab atas nasib orang lain. (al-Baqarah 48)
Namun demikian, dengan rahmat-Nya Allah dapat mengampuni dosa-dosa siapa saja yang Dia kehendaki. (al-Baqarah 286). Prioritas ampunan-Nya diberikan kepada mereka yang telah bertobat, dan mereka yang hanya melakukan dosa kecil. (Maryam 60)
Dalam keadaan tertentu, Dia juga mengampuni pelaku dosa besar (musyrik), yang dianggap oleh Allah sebagai yang sangat sulit diampuni. (an-Nisa/ 48). Tetapi sebagian orang berpendapat bahwa dosa macam apapun bisa diampuni setelah tobat yang tulus. (at-Tahrim 8). Hanya Allah yang mengetahui siapa yang akan diampuni dan siapa yang tidak.
Dengan menekankan pertanggungjawaban pribadi atas apa yang dikerjakan oleh setiap manusia, beberapa ayat al-Quran tampaknya mengingkari adanya syafa’at.
Dinyatakan dalam al-Quran, “Tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberi syafaat. (al-Mutdatsir 48).
Di tempat lain, Allah mengingatkan Nabi Muhammad, “Berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya pada hari kiamat, sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa’at pun selain dari Allah.” (al-Anam 51).
Dengan nada yang sama, Allah juga mengingatkan Nabi Muhammad dengan mengatakan, “Tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah mereka dengan al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaa’at selain dari Allah.” (al-Anam 70)
Lebih lanjut, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengingatkan mereka tentang hari kiamat, yaitu ketika hati menyesak sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan.
Kata Allah, “Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak pula mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya.” (al-Mukmin 18-19).
Akhirnya, Allah mengingatkan semua manusia tentang hari kiamat; Ia berfirman, “Jagalah dirimu dari azab hari kiamat yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan begitu pula tidak diterima syafa’at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (al-Baqarah 48).
Meskipun ayat-ayat yang dikutip di atas tampaknya mengingkari adanya syafaat pada hari kiamat, beberapa ayat lain dalam al-Quran membuka kemungkinan adanya syafaat.
Dalam surat al-Anbiya’, Allah menegaskan kemahatahuan-Nya atas manusia; Allah menyatakan, “Dia mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridlai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (al-Anbiya 28)
Lebih lanjut, kemungkinan adanya syafaat itu dinyatakan dalam surat Thaha, di mana Allah menjelaskan hari kiamat sebagai “Hari pada saat syafaat tidak berguna kecuali syafaat orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridlai perkataannya.” (Thaha 109)
Selanjutnya, dalam surat al-Najm Allah mengatakan, “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridlai-Nya.” (an-Najm 25).
Terakhir, dalam surat Saba’ Allah juga mengatakan bahwa tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya.” (Saba 23).
Meskipun dalam keadaan tertentu tampaknya syafaat itu akan diterima oleh Allah dan karena kenyataan bahwa al-Quran menegaskan kemungkinannya di beberapa tempat, adalah penting untuk menjelaskan apa arti yang sesungguhnya dari syafaat itu.
Berkenaan dengan itu, pada bagian pertama dikemukakan persoalan syafaat macam apa yang akan diterima oleh Allah. Yang kedua ialah siapa yang memenuhi syarat untuk menerima syafaat.
Berhadapan dengan masalah-masalah itu, para ulama telah berusaha menjelaskan persoalan yang tampaknya kontroversial itu dengan pendekaan yang berbeda-beda yang didasarkan pada kesepakatan umum bahwa dalam al-Quran tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Arti Syafaat
Secara harfiyah, kata syafaat digunakan dalam beberapa konteks yang berbeda, dan karena itu mempunyai makna yang berbeda pula.
Kata ini dapat digunakan dalam pengertian teologis, yakni hubungan antara Tuhan dan manusia. Ia dapat juga digunakan dalam istilah non-teologis, seperti mengajukan permohonan di hadapan seorang raja, dalam perantara menagih utang (al-Bukhari) dan dalam prosedur pengadilan (Ahmad bin Hambal).
Namun demikian, syafaat yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah dalam arti teologis yang menyangkut kepercayaan umat Islam tentang hari akhir.
Menurut Ibn Taimiyyah (1263-1324), syafaat dalam arti yang luas dapat dibagi menjadi tiga macam. Yang pertama ialah perbuatan manusia sendiri. Dengan kata lain, apabila seseorang taat pada semua peraturan Islam dan meninggalkan semua larangan, maka sikap ini akan berfungsi sebagai jalan bagi keselamatan pada hari akhir nanti.
Ini juga disebut wasilah (perantara). Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa syafaat dalam bentuk ini dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Maidah, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (al-Maidah 35)
Yang kedua adalah syafaat melalui permohonan atau doa dari orang lain sebagai penghubung terhadap Allah. Dengan pengertian ini, Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa syafaat dapat terjadi di dunia ini atau di akhirat nanti, dan hanya orang hidup saja yang dapat menjadi pemberi syafaat.
Mencari syafaat melalui seorang yang sudah meninggal dipandang syirik. Ibn Tamiyyah mendasarkan pendapatnya ini pada ayat-ayat al-Quran yang mengecam sikap orang-orang yang mencari syafa’at melalui berhala.
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata, ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedeklat-dekatnya.’” (az-Zumar 3)
Yang ketiga ialah permohonan kepada Allah atas nama orang lain, seperti Nabi atau wali. Dengan kata lain, karena kedudukan nabi atau wali, misalnya, sangat dekat dengan Allah, mereka memohon kepada-Nya dengan keutamaan-keutamaannya. Di antara tiga macam syafa’at itu, Ibn Tamiyyah membenarkan dua yang pertama dan memandang yang terakhir sebagai syirik.
Sama dengan pemikiran Ibn Taimiyyah itu adalah pendapat Muhammad ‘Abduh. Ia menyatakan bahwa syafaat yang benar dapat diperoleh hanya melalui orang yang masih hidup, karena Allah mencela mereka yang menyembah berhala.
Sekalipun orang-orang musyrik tetap mengakui keesaan Tuhan dan sifat-Nya sebagai Pencipta dan Pemelihara alam, pencarian mereka terhadap syafaat melalui orang yang sudah meninggal dipandang sebagai menyembah mereka. Dan sehubungan dengan kenyataan bahwa orang-orang musyrik telah menyatakan ketuhanan Allah, mereka menyebut berhala-berhala itu ilah, yang berarti objek penyembahan (ma’bud).
Karena objek penyembahan itu adalah sasaran ke mana orang meminta sesuatu di luar kemampuan alamiahnya, konsep ini berlaku juga bagi pencari syafaat melalui orang yang sudah mati.
Dengan kata lain, orang-orang musyrik itu menggunakan berhala sebagai wasilah kepada tuhan mereka, seperti halnya menggunakan nabi-nabi atau wali-wali yang sudah meninggal, untuk tujuan yang sama. Karena itu, ‘Abduh, sebagaimana Ibn Taimiyyah, mengakui syafa’at hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup.
Siapa yang Berhak Mendapatkan Syafaat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang menegaskan ketidakmungkinan syafaat itu diberikan kepada orang-orang kafir. Karena, menurut al-Thusi (w. 1067), salah seorang pemikir Syiah, arti syafaat adalah melepaskan madharat, dan tidak untuk menambah manfaat.
Karena itu, al-Thusi menyatakan bahwa hanya orang-orang beriman yang berdosalah yang berhak memperoleh syafaat untuk melepaskan mereka dari siksaan Allah, dan tak seorang pun akan mendapatkan syafaat itu untuk menambah pahala. Ini disepakati, kata al-Thusi, oleh ijma. Pemikiran seperti itu juga dipegang oleh al-Taftazani (w. 1389), Ibn Taimiyyah dan Muhammad ‘Abduh.
Dengan demikian, ayat-ayat yang menyatakan adanya syafaat itu sebenarnya hanya ditujukan bagi orang-orang yang beriman. Ibn Tamiyyah menyatakan bahwa syafaat itu memiliki arti hanya bagi orang-orang yang memiliki iman.
Itulah sebabnya, menurut dia, Allah menganjurkan orang-orang yang beriman untuk saling memohonkan ampunan dari Allah, sementara hal yang demikian itu dilarang bagi orang-orang kafir.
Nabi Muhammad sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk memohon ampun bagi pamannya Abu Thalib dan ibunya Aminah agar lepas dari siksaan di akhirat. Namun demikian, menurut Ibn Taimiyyah, melalui syafaat itu siksaan ringan bagi seorang kafir dapat dikurangi tetapi tidak dapat dihapuskan, seperti dalam kasus Abu Thalib.
Dengan nada yang sama, Abduh menyatakan bahwa karena syafaat akan berarti hanya setelah mendapatkan izin Allah, maka hanya orang-orang berimanlah yang dapat menerimanya. Untuk memperkuat pendapat ini, Abduh mengutip satu ayat dalam surat Thaha, “Pada hari itu tidak berguna syafa’at kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi ijin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.
Jika hanya orang-orang beriman yang dapat mendapatkan syafa’at, pertanyaan selanjutnya ialah apa kualifikasi mereka untuk mendapatkannya. Tampaknya Ibn Taymiyyah, al-Thusi dan ‘Abduh sependapat bahwa siapapun orang yang beriman, betapapun keadaanya, berhak mendapatkan syafaat.
Tetapi menurut Ibn Hazm dan al-Taftazani, hanya orang yang berdosa besar akan membutuhkan syafaat, karena orang yang berdosa kecil akan diampuni tanpa syafaat.
Ibn Hazm menambahkan bahwa syafaat akan terjadi hanya jika orang mukmin yang berdosa itu telah berada di neraka karena dosan-dosanya lebih banyak daripada pahalanya, dan Allah tidak akan mengeluarkannya dari neraka, kecuali jika seseorang memberikan syafaat baginya.
Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209) membagi mereka yang akan dan mereka yang tidak akan menerima syafaat menjadi lima kelompok. Yang pertama ialah orang kafir, yang akan masuk neraka. Yang kedua ialah seorang muslim yang taat, yang akan langsung masuk surga.
Yang ketiga ialah seorang muslim yang melakukan dosa besar, tetapi tidak bertobat sampai meninggal. Yang keempat ialah orang yang melakukan dosa besar dan bertobat sebelum meninggal. Kelima ialah orang mukmin yang berdosa kecil.
Kelompok yang pertama, menurut al-Razi, tidak akan memerlukan syafaat, karena orang kafir pasti masuk neraka, sedangkan kelompok kedua akan masuk surga. Sedangkan kelompok ketiga juga tidak memerlukan syafaat karena jelas akan masuk neraka.
Dengan demikian, hanya mereka yang termasuk dalam kelompok keempat dan kelima saja yang akan berhak menerima syafa’at. Untuk mendukung klasifikasi ini, al-Razi mengutip sebuah ayat dalam surat al-Maidah:
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Maidah 118).
Ia juga mengutip satu ayat dari Surat Ibrahim, “Maka barangsiapa yang mengikutiku (Ibrahim), maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku. Dan barangsiapa mendurhakai aku maka sesungguhnya Engkau (Allah) Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ibrahim 36).
Berbeda dengan ulama tersebut di atas, al-Zamakhsyari (w. 1144), seorang mufassir Mu’tazili, berpendapat bahwa syafaat akan diterima hanya bagi orang-orang mukmin yang saleh, bukan yang berdosa besar.
Hal ini disebabkan, pertama, orang yang berdosa besar akan diampuni hanya setelah bertaobat. Kedua, dalam surat al-Mu’min 19, Allah menyatakan bahwa “Orang-orang yang dlalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak pula mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya.”
Bagi al-Zamakhsyari orang-orang dlalim tidak hanya orang-orang kafir tetapi juga sebagian orang-orang beriman. Ketiga, ia berpendapat bahwa karena Allah telah menyatakan bahwa mereka tidak akan memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridlai oleh Allah, maka orang mukmin yang berdosa besar tidak akan memperoleh syafaat.
Membantah argumen al-Zamakhsyari, al-Razi menyatakan bahwa syafaat itu adalah untuk orang-orang yang berdosa besar. Ia menyatakan bahwa ayat dalam surat al-Anbiya’ tersebut di atas bukanlah suatu argumen untuk menolak syafa’at bagi orang-orang yang berdosa besar, tetapi ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah akan menerima syafa’at mereka karena agama mereka telah diterima oleh Allah sekalipun tidak perbuatan mereka.
Dengan kata lain, syafaat itu diperuntukkan bagi siapa saja yang beragama Islam. Lebih lanjut, al-Razi berpendapat bahwa semua argumen yang digunakan oleh Mu’tazilah pada dasarnya adalah argumen yang umum dan karena itu bisa ditakhshishkan (disempitkan artinya). Dengan demikian, ayat-ayat yang menunjukkan tidak adanya syafaat harus dibatasi hanya bagi orang-orang yang tidak beriman.
Dalam perbincangan tersebut di atas, tampak bahwa ulama sepakat bahwa orang-orang kafir tidak berhak menerima syafaat. Namun demikian, sebagian dari mereka mengatakan bahwa hanya orang yang berdosa besar saja akan menerima syafaat, sedangkan lainnya mengatakan hanya orang yang bertakwa.
Siapa Pemberi Syafaat
Tampaknya para ulama sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang paling berhak menjadi pemberi syafaat. Menurut Ibn Hazm, hal itu disebabkan Muhammad adalah orang yang paling utama di antara semua manusia, dan juga disebabkan, menurut Ibn Taymiyyah, ia diberikan status yang terpuji (maqam mahmud) pada hari akhir nanti.
Di tempat lain al-Quran menunjukkan adanya syafaat yang diberikan oleh Ibrahim. Ia mohon kepada Allah untuk mengampuni dirinya, ayahnya dan semua orang beriman, seperti yang disebutkan dalam al-Quran, “Ya Tuhan kami, berilah ampunan aku dan kedua orang tuaku serta sekalian orang mukmin pada hari terjadinya hisab.” (Ibrahim 41)
Kemudian Allah menjawab dalam surat al-Baraah 114, “Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Alah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”
Dengan menghubungkan kedua ayat itu, kita mengetahui hak Ibrahim untuk menjadi pemberi syafaat bagi orang-orang beriman.
Nabi lain yang namanya disebut dalam al-Quran sebegai pemberi syafaat adalah Isa. Disebutkan dalam surat al-Maidah 116 dan 118 bahwa pada hari kiamat nanti akan ditanya apakah dia mengajarkan doktrin trinitas, di mana ia menjawab,
“Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku untuk mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuhinya … Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Al-Razi menjelaskan bahwa ayat-ayat itu menunjukkan hak Nabi Isa untuk menjadi pemberi syafaat di akhirat nanti.
Beberapa ayat al-Quran juga menjelaskan bahwa malaikat dapat menjadi pensyafaat. Disebutkan dalam surat al-Najm 26 bahwa “Berapa banyak malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridlai.”
Selanjutnya, dalam surat al-Anbiya 27 Allah mengatakan “Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridlai oleh Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.”
Sekalipun hanya malaikat dan beberapa nabi yang disebutkan dalam al-Quran sebagai pemberi syafaat, para ulama tidak membatasinya pada mereka itu.
Al-Taftazani berpendapat bahwa semua nabi Islam dan sejumlah orang orang saleh dapat memberi syafaat. Lebih dari itu, al-Thusi bahkan menyatalkan bahwa sebagian besar sahabat, semua imam yang ma’khum dan hampir semua orang beriman dan bertaqwa dapat menjadi pemberi syafaat pada hari kiamat.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa menurut para ulama syafaat sebagai sebuah istilah teologis merupakan bagian dari doktrin Islam tentang hari akhir. Mereka cenderung meyakini bahwa hanya orang yang beriman saja yang akan menerima ijin Allah untuk memperoleh syafaat itu.
Namun demikian, diterima tidaknya syafaat itu tergantung pada pemberi syafaat. Dalam hal ini, malaikat, nabi, dan orang saleh akan menjadi pemberi syafaat. Namun demikian, hanya Allah yang tahu siapa yang akan diampuni dan siapa yang tidak melalui syafaat karena Allah sendiri menyatakan bahwa pengampunan erhadap dosa manusia merupakan hak mutlak-Nya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Syafaat dalam buku Maniestasi Islam – Mengurai Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat ini dimuat ulang PWMU.CO.