Makna Ucapan ‘Insyaallah’ Joe Biden, ditulis oleh Bahrus Surur-Iyunk, guru SMA Muhammadiyah 1 Sumenep; penulis buku-buku inspiratif.
PWMU.CO – Beberapa hari yang lalu, rakyat Amerika Serikat dikejutkan oleh Joe Biden, calon presiden dari Partai Demokrat, yang secara mengejutkan mengucapkan kata “Insyaallah”.
Tidak main-main, kata itu muncul dalam sebuah acara debat kampanye presiden 2020 yang, tentu saja, ditonton oleh masyarakat Amerika Serikat dan dunia. Tentu orang bertanya, bukankah dia bukan seorang Muslim.
Kejadian bermula pada saat Biden menyinggung kasus pengemplangan pajak Donald Trump. Kemudian dijawab oleh Trump, bahwa akan segera mengembalikannya dan dirilis kepada publik. “Segera, setelah selesai,” kata Trump.
Mendapati jawaban tersebut, Biden buru-buru menyambungnya. “Kapan? Insyaallah?” ujar Biden.
Apa makna ‘insyaalah’ yang diucapkan Biden itu? Secara harfiah ‘insyaalah’ berarti ‘Jika Tuhan menghendaki atau mengizinkan’. Tetapi kata itu sering digunakan untuk maksud lain.
Seperti untuk mengelak secara halus. Misalnya saat berjanji, seseorang berkata, “Insyaallah saya datang.” Padahal sesungguhnya dia tidak bermaksud datang.
Lalu apakah Biden menggunakan kata ‘insyaallah’ dalam pengertian pertama atau kedua? Apakah ia ingin mengatakan bahwa yang dikatakan Trump itu semoga terjadi karena mendapat izin Tuhan. Atau malah sebuah cemoohan bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi?
Karenanya, tidak ada salahnya kita menelusuri jejak kata tersebut dalam konteks Islam.
Jejak Kata Insyaalah dalam Islam
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas, kaum kafir Quraisy ingin bersekongkol bersama para pendeta Yahudi untuk menjatuhkan Rasulullah SAW.
Maka, diutuslah dua orang Quraisy, an-Nadlr bin al-Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Oleh para pendeta Yahudi dua utusan ini diberi saran, “Jika benar Muhammad itu seorang Rasul, pasti ia bisa menjawab tiga hal yang pernah terjadi. Tanyakan kepadanya tentang pemuda-pemuda yang pernah tinggal di dalam gua, seorang pengembara penakluk dari Masyriq hingga negeri Maghrib dan tentang apa itu ruh.”
Keduanya pun menghadap Rasulullah dan menanyakan tiga hal tersebut. Rasulullah menyanggupi, “Aku akan menjawabnya tentang hal-hal yang kamu tanyakan itu besuk (tanpa mengatakan Insyaallah).” Saat itu, Rasulullah sangat yakin bahwa Allah akan menurunkan wahyu tentang tiga hal tersebut.
Namun, selama lima belas malam lamanya, Rasulullah menunggu-nunggu wahyu dari Allah. Bahkan, malaikat Jibril yang biasanya datang pun tak kunjung datang, sehingga orang-orang Mekkah saat itu tampak goyah. Betapa sedihnya Rasulullah dan tidak tahu apa yang harus beliau katakan kepada kaum kafir Quraisy.
Hingga suatu hari, Jibril datang menyampaikan wahyu tentang ketiganya sambil mengingtakan, “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan atau menjawabnya esuk hari’, kecuali (dengan mengatakan) ‘Insyaallah’ (jika Allah menghendaki). Dan ingatlah Tuhanmu jika engkau lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada itu.’ (al-Kahfi: 23-24).
Pengalaman Teman–Teman
Seorang teman yang datang dari menunaikan ibadah haji bercerita tentang keberpisahan dengan istrinya di hari pertama di Mekkah. Setelah dirunut ada satu kesalahan yang diucapkan istrinya menjelang keberangkatannya.
Saat itu ia bertanya, “Dik ingat ya nanti kalau di Tanah Suci jangan misah-misah (memidahkan ddi)!” Istrinya yang merasa yakin tidak akan berpisah langsung menyahut, “Ya ndak mungkinlah Mas.” Baru turun dari bus di waktu Subuh di Masjid al-Haram pada hari pertama, ia langsung berpencar dan baru bertemu kembali pada jam sembilan malam.
Dulu, sebelum pandemi Covid-19, teman di sekolah hendak diutus mengikuti pelatihan di Malang. Kepala sekolahnya sudah mengizinkan. Dia tinggal minta izin suaminya. Ia sangat yakin bahwa suaminya pasti mengizinkan.
Menjelang keberangkatan, Tuhan menghendaki lain. Suaminya yang selama ini selalu mengizinkan, hari itu tidak mengizinkan. Ia menangis, tapi tidak mampu melawan kehendak Tuhan.
Jangan Melawan Kehendak Tuhan
Manusia kadangkala terlalu optimis—kalau bukan sombong—dengan usahanya sendiri. Ia lupa jika Allah tidak pernah mengantuk dan tidak pula tidur.
Islam mengajarkan setelah menciptakan Allah tidak lantas membiarkan semuanya berjalan tanpa kendali. Dengan doa hamba-Nya, Allah akan tetap mengatur dan mengabulkannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan model pemikiran Barat (deisme) yang meyakini bahwa apa yang dilakukan manusia di dunia ini tidak ada campur tangan Tuhan. Semua berjalan berdasarkan hukum alam belaka.
Ungkapan “Insyaallah” adalah tanda seseorang itu beriman dengan keberadaan Tuhan. Sebagai simbol bahwa manusia itu lemah di hadapan-Nya. Sekuat dan semaksimal apapun usaha manusia, jika Allah tidak menghendaki maka hal itu tidak akan terjadi.
Oleh karena itu, katakan “Insyaallah” dengan sepenuh hati. Sebab, tidak sedikit orang mengatakan dan menyelipkan kata “Insyaallah” hanya untuk mengelabui atau menutupi ketidaktepatan janjinya. Karena penyalahgunaan ini pula sampai-sampai ada sebagian orang yang tidak percaya dengan ungkapan “Insyaallah”. Naudzubillah.
Dalam konteks Joe Biden, mungkin ia hanya mengungkapkannya dalam konteks agamanya sendiri—dengan meminjam ungkapan kata umat Islam. Atau, sepertinya, kata ‘insyaallah” itu digunakan Biden dalam pengertian negatifnya: mengolok-olok Trump yang tak akan melakukan pelaporan pajak.
Tapi ini bukan kali pertama dia mengutip kalimat dari agama Islam. Sebelumnya, ia juga pernah mengutip hadis Nabi Muhammad SAW saat mencari dukungan dari kelompok Muslim Amerika. Wallahua’amu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.