PWMU.CO– Membaca Quran dengan pengeras suara untuk membahasnya perlu membedakan antara urusan ibadah dan bukan urusan ibadah.
Ibadah adalah ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah.
Membaca Quran termasuk urusan ibadah. Yaitu ibadah umum yang akan mendatangkan pahala dan rahmat bagi orang yang melaksanakannya, sedangkan pengeras suara bukan urusan ibadah, melainkan hanya sebagai sarana.
Orang yang membaca Quran dan mendengarkan bacaannya akan mendapatkan rahmat dari Allah, sebagaimana yang tersebut di dalam surat al-A‘raf (7): 204
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.
Apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.
Rahmat Allah itu akan didapatkan jika mendengarkan dan memperhatikan bacaan al-Quran dengan baik, bukan karena dikeraskan dengan pengeras suara. Jika tujuan menggunakan pengeras suara agar lebih banyak orang yang mendengarkan dan untuk siar, maka hal tersebut merupakan tujuan yang baik.
Namun hal itu tidak menjamin semua orang akan mendapatkan rahmat karena bacaan Quran dengan pengeras suara tersebut. Hanya orang-orang yang mendengarkan dan memperhatikan saja yang akan mendapatkan rahmat.
Pengeras suara merupakan alat yang bila digunakan pada tempatnya merupakan sesuatu yang baik dan membantu. Jika disalahgunakan akan menimbulkan gangguan, misalnya jika waktunya tidak tepat atau suara yang terdengar itu sumbang.
Adab Baca Quran dan Berdoa
Dalam hal membaca ayat-ayat al-Quran atau berdoa, Allah memerintahkan kepada NabiNya dan umat Islam dalam surat al-Isra’ (17): 110
قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَـنَ أَيّاً مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً
Katakanlah, serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (al-Asmaa al-Husna) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.
Dalam tafsir Ibnu Katsir terdapat beberapa riwayat yang menyangkut asbabun-nuzul ayat ini Pertama, menurut Ibnu Abbas, Rasulullah saw pernah mengeraskan suaranya ketika membaca al-Quran dan orang-orang musyrik mendengarkannya dan memaki beliau, lalu Allah menurunkan ayat tersebut sebagai petunjuk bagaimana seharusnya membaca atau berdoa.
Jika demikian dapat dikatakan jika suara keras dalam bacaan atau doa menimbulkan gangguan terhadap orang lain, melahirkan pandangan negatif atau makian dari pihak lain, maka sebaiknya suara dikecilkan sehingga tidak berakibat buruk.
Kedua, Nabi saw pernah mendengar Abu Bakar ra berada di rumahnya berdoa dan membaca al-Quran dengan suara yang sangat lembut. Sebaliknya ketika melewati rumah Umar ra , beliau mendengar suaranya sedemikian keras.
Keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Bakar, mengapa terlalu mengecilkan suaranya, Abu Bakar menjawab, aku berbicara dengan Tuhanku (dan) aku merasa tidak perlu mengeraskan suara karena Dia telah mengetahui kebutuhanku.
Sementara Umar yang ditanya soal kerasnya suaranya menjawab, aku menghardik setan, dan membangunkan yang sedang sangat mengantuk atau tertidur.
Kesimpulan
Berdasarkan dua riwayat di atas, yang dianjurkan oleh ayat tersebut bisa berarti anjuran untuk mengeraskan suara pada saat tertentu dan mengecilkan pada saat yang lain. Misalnya memperdengarkan bacaan al-Quran dengan pengeras suara pada waktu-waktu sebelum adzan agar orang-orang bersiap-siap untuk shalat, sebelum pengajian, sore hari menjelang berbuka, dan waktu-waktu yang lain.
Mengecilkan pengeras suara misalnya pada waktu tengah malam atau siang hari ketika orang-orang sedang beristirahat, pada waktu shalat, dzikir, dan lain sebagainya.
Dapat juga berarti perintah untuk tidak membaca terlalu keras sehingga mengganggu dan tidak pula terlalu kecil sehingga tidak terdengar oleh mereka yang butuh mendengarnya.
Oleh sebab itu haruslah dipertimbangkan antara manfaat membaca al-Quran dengan pengeras suara dan madharatnya, dan uraian di atas telah menjelaskannya. Dalam urusan ibadah, maka mengantisipasi kemadharatan hendaknya lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan.
Jika demikian, maka tentunya membaca al-Quran tidak harus dengan pengeras suara apabila dirasa waktunya tidak tepat dan dikhawatirkan akan mengganggu pihak lain, akan tetapi tentu saja tidak ada salahnya kita menggunakannya pada saat-saat tertentu dengan tujuan syiar selama tidak mengganggu. (*)
Bahasan membaca Quran dengan pengeras suara di tarjih.or.id
Editor Sugeng Purwanto