KH Hadiyuddin, Mubaligh Bersahaja yang Diterima Semua Golongan. Ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Efektivitas dakwah tidak semata ditentukan oleh bobot materi dakwahnya. Melainkan juga oleh metode atau cara penyampaiannya. Seperti kata pepatah, “Al-Thariqatu ahammu min al-maaddah. Cara penyampaian jauh lebih utama daripada materinya.”
Dalam berdakwah, al-Quran memberikan panduan umum yang artinya: “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (bijak) dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik pula…” (al-Nahl 125).
KH Hadiyuddin telah membuktikan bahwa dakwah harus dilakukan secara bijak atau bil-hikmah. “Supaya tidak menyinggung perasaan orang lain yang berbeda,” ungkapnya suatu ketika. Selain itu, katanya, seorang mubaligh harus pula melengkapi dirinya dengan bekal ilmu keagamaan yang cukup agar bisa mencerahkan umatnya.
Bagi pria kelahiran Bagor, Nganjuk, 16 Maret 1938 tersebut, berdakwah memang sudah menjadi panggilan jiwa. Hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk aktivitas dakwah. Kegiatan seperti mengajar ngaji untuk masyarakat awam, pengajian umum, dan khutbah Jumat terus dijalani hingga akhir hayatnya. Bukan sebagai profesi yang menghasilkan rupiah.
Berpegang pada prinsip bil-hikmah, menjadikan dakwahnya bisa diterima oleh semua golongan. “Gaya dakwahnya lemah lembut dan bersahaja. Sehingga semua kalangan bisa menerimanya. Bahkan beliau satu-satunya khatib dari Muhammadiyah yang dijadwal rutin untuk khutbah di Masjid Agung Baitus Salam,” ujar Arifin Abduh, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Nganjuk periode 2015-2020.
“Salah satu bukti beliau diterima semua golongan, setiap ada pembangunan masjid, namanya selalu tercantum dalam daftar susunan panitia, kemudian ditunjuk menjadi takmirnya,” ujar Sasmito Adi, Ketua PDM Nganjuk periode 2010-2015 tanpa merinci nama-nama masjid dimaksud.
Dalam catatan Achmad Naim, ayahnya terlibat ketakmiran di beberapa masjid. “Antara lain di Masjid Agung Baitus Salam. Juga Masjid Muttaqien, Baitul Izzah, Al Fallah, dan As Sulton milik Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),” ungkap anak sulung Hadiyuddin, bangga.
Dipanggil Kiai kerana Ilmunya
Masyarakat luas pun biasa memanggil suami dari Mursiatun ini dengan sebutan kiai. “Padahal beliau tidak punya pondok pesantren,” kata istrinya. Titel kiai yang lazimnya dilekatkan pada pemangku pesantren, itu diberikan kepada Hadiyuddin sebagai bentuk pengakuan masyarakat atas kedalaman ilmu agamanya.
Pendidikan formalnya memang hanya sampai sarjana muda, tapi semangat belajarnya luar biasa. “Tiap ada waktu senggang selalu dimanfaatkan untuk membaca, baik buku maupun majalah. Sehingga wawasannya terbilang luas,” ujar Naim memberikan kesaksian.
Selain itu, beliau dikenal sebagai sosok yang jauh dari kemewahan. Rumah di Jalan KH Ahmad Dahlan Nomer 8 Kauman Nganjuk menjadi saksinya. Ketika saya berkunjung ke rumah yang hingga kini ditempati istrinya itu, tidak ada tanda-tanda kemewahan yang tergambar dari tempat tinggalnya tersebut.
Menurut beliau, sikap bersahaja akan menjadikan hidup lebih tenang dan tenteram. “Jika kita mau hidup sederhana, kita tidak akan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak berguna,” pesannya suatu ketika yang disampaikan anak-anaknya.
Kepribadian mulia yang melekat pada putra dari pasangan Muhadjir dan Aminatun, itu terbentuk dari tempaan keadaan dan didikan ibunya. Dia sudah menjadi yatim sejak usia dua tahun, dan mengalami masa-masa kecil yang sulit karena masalah ekonomi.
Kondisi ekonomi orangtuanya yang pas-pasan, mengakibatkan dirinya tidak bisa merampungkan studi di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Namun pengembaraan intelektualnya tidak pernah berhenti.
Tercatat setelah lulus sekolah menengah Islam tahun 1955, studinya berlanjut di Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah Purwoasri Kediri, dan lulus pada 1960. Di pesantren pimpinan KH Badrus Sholih Arif itu, dia sangat dekat dengan keluarga sang kiai. Bahkan dipercaya mengajar ngaji salah seorang putranya, Abdul Wachid Badrus, yang kelak menjadi menjadi Wakil Bupati Nganjuk.
“Pak Hadiyuddin itu dulu yang mengajari ngaji saya waktu kecil,” ujar Abdul Wachid Badrus, memberikan pengakuan saat masih menjadi Wakil Bupati.
Pascalulus dari Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Kediri pada 1965, beliau mengajar di Madrasah. Di madrasah tempat mengajar inilah beliau menemukan pujaan hatinya, yang kemudian dinikahi pada 1967, dan memberinya tiga anak. “Saya dulu murid Pak Yud—panggilan akrab suaminya—ketika di madrasah,” kata Mursiatun mengenang awal kisah asmaranya.
Hidup berkeluarga, tidak memadamkan semangat belajarnya, hingga ia lulus MAAIN tahun 1972. Jalan hidup lulusan PGAN 6 tahun ini kemudian mengalir seperti mengikuti jejak orangtuanya, sebagai naib. Semua terjadi setelah beliau mengikuti ujian kenaiban tahun 1974. Beliau diangkat sebagai naib, dan pernah dua kali menjadi kepala KUA Bagor, serta sekali sebagai kepala KUA Kota Nganjuk.
Aktif di Muhammadiyah
Tidak diketahui jelas apa yang melatari dia masuk Muhammadiyah. Tapi menurut kesaksian sang istri, suaminya sudah terlibat dalam dakwah Persyarikatan sejak sekitar tahun 1960. Karirnya di ormas Islam bersimbol mataharai ini pun terus menanjak.
Pada periode 2000-2005 terpilih menjadi Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Nganjuk Kota. Kemudian pada periode berikutnya (2005-2010) menjadi Sekretaris PDM Nganjuk, saat Ketua PDM dijabat oleh Drs Sur’an Abduh.
“Orangnya penuh keikhlasan dalam berjuang. Sewaktu-sewaktu dibutuhkan selalu siap. Walau usianya lebih tua daripada saya, tapi tidak ada hambatan dalam kerjasama, karena keikhlasannya,” kata Sur’an.
Pengalaman paling mengesankan bagi Sur’an saat bersama beliau adalah ketika berhasil menertibkan tentang uang iuran guru (UIG) dan siswa (UIS) untuk subsidi silang kepada sekolah-sekolah yang membutuhkan bantuan. Seperti di Cabang Prambon, Baron, dan Wilangan.
Demikian pula ketika diamanahi melanjutkan pembangun Rumah Sakit Islam (RSI) Aisyiyah Nganjuk yang telah lama mandeg. “Alhamdulillah kami berhasil menghimpun dana, dan bisa membangun tiga lokal plus mushalla. Kemudian bertambah satu lokal lagi,” terang pria asal Dadapan, Lamongan tersebut.
Tapi setelah dievaluasi pengelolaannya tidak berkembang, akhirnya PDM rapat dengan Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA), dan diputuskan pelimpahan pengelolaan RSI Aisyiyah ke PDA. “Alhamdulillah, setelah dikelola Aisyiyah perkembangannya pesat,” kata Sur’an memberikan kesaksian.
Setelah menjadi anggota pimpinan ormas Islam bersimbol matahari, beliau makin aktif menjalin hubungan kultural dengan berbagai kalangan. Apalagi setelah pensiun dari pegawai negeri.
“Beliau yang ngopeni taman kawak-kawak di Islamic Centre milik Pondok Gontor, Nganjuk. Orang-orang tua itu terus diajari ngaji dengan telaten,” imbuh Sur’an. “Benar, setiap hari beliau mengajar ngaji orang-orang tua. Selain di Islamic Centre Nganjuk, juga di tempat-tempat dakwah lainnya,” kata Achmad Naim yang selalu setia mengantarnya.
Tidak disangka, pada hari Selasa, sepulang dari mengajar ngaji, tahu-tahu sakit. Sehari kemudian (Rabu pagi, 3 Desember 2014), ikon dakwah nan bersahaja itu berpulang ke rahmatullah.
Almarhum meninggalkan seorang istri dan dua anak, yaitu Achmad Naim dan Abdul Haris al-Rozi. Sedang Mar’atus Sholihah, telah menghadap Yang Maha Kuasa pada 2007. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.