PWMU.CO – Sulitnya Mendengar Suara Rakyat. Mendengar ternyata lebih sulit daripada berbicara. Dalam kasus terakhir soal UU Cipta Kerja, ternyata pemerintah dan DPR sulit sekali mendengar.
Berbagai aspirasi yang menolak atau berkeberatan dengan undang-undang (UU) itu sudah diberikan saat masih berbentuk rancangan undang-undang (RUU).
Ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU sudah memberikan masukan. Juga para aktivis dan intelektual. Mereka meminta agar UU omnibus law itu ditunda pembahasannya di tengah pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi. Urgensinya dipertanyakan, di samping soal isinya yang merugikan rakyat dan menguntungkan para cukong.
Tapi RUU itu tetap dibahas hingga puncaknya ditetapkan sebagai UU secara terburu-buru. Sampai-sampai draft-nya pun seperti silmuan, tak jelas juntrung-nya. Alasannya: masih ada yang typo—salah ketik. Mau dirapikan!
Bahkan ada tiga versi ketebalannya: 905, 1032, dan 812 halaman. Mana yang benar? Ini yang membuat rakyat curiga, jangan-jangan ada penyelundupan pasal dalam proses perapian itu.
Suara-suara protes mahasiswa dan buruh yang yang menolak UU tersebut tak didengar. Padahal gelombang protesnya berskala besar—yang menimbukan kerusakan di sejumlah tempat dan ujung-ujungnya berbuah penangkapan.
Pemerintah bersikukuh tak mau mencabut UU itu. Suara-suara protes itu didengar. Pemerintah lebih bersemangat mengumbar isu jika para penolak itu termakan hoax. Masak sekelas Muhammadiyah dan NU dituduh mengkritisi (R)UU berdasarkan berita bohong? Yang benar aja!
Maka rakyat pun membalas, bahwa pemerintah dan DPR telah berbohong. Apa pedoman kalau itu hoax sementara draft UU-nya sampai sepekan diundangkan belum jelas bentuknya. “Jangan-jangan yang diketok palu di sidang paripurna adalah power point-nya doang!” mengutip sindiran netizen di medsos.
Pemerintah juga terlalu bersemangat mencari aktor “hantu” intelektual yang dituduh sebagai penggerak atau sponsor aksi. Alih-alih mendengar aspirasi rakyat. Pemerintah malah mau membelokkan substansi persoalan dengan mencari kambing hitam.
Sulitnya Mendengar
Dalam komunikasi, berbicara memang lebih mudah daripada mendengar. Mengapa?
Pertama, berbicara lebih sering sesuai kehendak pribadi—atau para pembisik. Sementara mendengar kadang tidak cocok dengan kehendak pribadi. Sebab mendengar pada dasarnya adalah merespon curhatan pihak lain.
Kedua, berbicara seringkali menonjolkan ego, citra, identitas diri, dan kepentingan. Sedangkan mendengar bisa melunturkan ego. Karena harus menyerap kemauan atau suara orang lain.
Karena itu (daun) telinga ada dua sebagai simbol bahwa mendengar harus lebih intensif dilakukan dibanding berbicara yang disimbolkan dengan satu mulut. Kita harus banyak mendengar daripada berbicara. Artinya kita—terutama pemerintah dan anggota dewan—harus banyak menyerap aspirasi.
Dari aspirasi-aspirasi itulah kita berbicara. Sebagai corong atau pelayan rakyat, data-data dan keinginan rakyatlah yang menjadi bahan utama untuk berbicara. Bahan untuk membuat keputusan, membuat undang-undang.
Bukan sebaliknya, aspirasi para pemilik modal yang lebih didengar saat membuat keputusan! Lalu rakyat dienyahkan!
Atau jangan-jangan pemerintah dan DPR mulutnya lebih banyak daripada telinganya. Atau bahkan tak punya telinga sama sekali alias buta, eh … tuli! (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.