Bersikap Netral ternyata Tak Bijak oleh Ali Murtadlo, jurnalis di Surabaya.
PWMU.CO-Di tengah suasana negeri yang carut marut sekarang ini, Anda bersikap apa? Ikut A? Ikut B? Atau netral? Tidak ikut-ikut. Nah, pilihan yang ketiga ini dikritik oleh Gus Baha’. Orang hidup itu harus bersikap.
”Harus fariq. Bisa memisahkan mana yang haq dan mana yang batil,” kata kiai muda bernama lengkap KH Ahmad Bahauddin Nursalim yang video ceramahnya selalu booming ini.
Mengapa harus bersikap? Mengapa tak boleh netral? ”Minimal untuk membedakan mana yang haq, mana yang batil. Jangan menyetarakan kebenaran dengan kebatilan,” katanya.
”Seperti apa yang lagi terjadi di Jakarta. Harus bersikap. Tidak perlu jadi ekstremis untuk bersikap. Yang penting bersikap dan bisa membedakan mana yang haq, mana yang batil. Tidak membuatnya setara,” kata ulama yang 29 September lalu, berusia 50 tahun ini.
”Nabi,” lanjut kiai yang hafidh Quran ini, ”tidak pernah bersikap netral. Gak melok-melok. Contohnya begini, jika gajah tukaran sama kucing, jika tidak melok-melok berarti ikhlas, kucing diinjak gajah. Nah, Nabi itu tugasnya furqon, menunjukkan mana yang benar, mana yang salah.”
”Saya setuju dengan para habaib agar kita punya sikap yang jelas. Ciri utama kebenaran itu yang haq ya haq, yang batil ya batil,” lanjutnya. ”Bahwa akhirnya kita menerima karena konstitusi karena kita orang Indonesia, ya tidak apa-apa. Tapi, kebenaran harus disikapi. A yang haq, B yang batil. Jelas dan tegas. Tak boleh kita mengatakan, kami netral. Podo wae. Nggak bisa. Nanti barang haq setara dengan barang batil,” tegasnya.
Budaya Jawa
Gus Baha’ lalu menyinggung adat Jawa yang menggemari netralitas. ”Kulo mboten nderek-nderek. Nggak ikut-ikut. Seolah seperti bijak. Mungkin kita tidak punya nyali fariq, tapi setidaknya jangan lantas memilih netral. Itu tidak baik. Sebab, jika Anda netral, Anda membiarkan barang batil setara dengan yang haq,” katanya.
Ciri utama kesalahan kita, kata Gu Baha’, menyetarakan hukum Allah antara yang haq dengan yang batil. Bagaimana kalau tidak berani menyampaikan secara tegas dan lugas? Solusinya, kata Gus Baha’, ”Saat Anda berdoa, sing tenanan, serius. Assalamu’alaina wa’ala ibadhil lahis sholihin. Sehingga Allah menyaksikan bahwa kita hanya berkawan dengan mereka yang saleh.”
Ulama yang dipuji Prof Quraish Shihab dan dijuluki Ustadz Adi Hidayat sebagai Manusia Quran ini, lalu memberikan contoh konkret. ”Anda mengizinkan sepeda motor Anda dipinjam tetangga untuk khotbah. Kali lain, Anda juga mengizinkan motor Anda dipinjam tetangga ahli zina untuk dipakai ke tempat maksiat. Tidak enak, sama-sama tetangga, masak tidak boleh. Lha, kok disamakan. Lha, besok kalau ketemu Tuhan gimana? Goblok kok sampai segitu. Harus fariq. Harus furqon. Harus tegas. Tidak, kalau kamu pinjam untuk ke tempat maksiat.”
Lantas, apa yang sudah atau akan kita lakukan jika mendapati kebatilan? Berikhtiar mengubahnya dengan tangan? Dengan lisan? Atau dengan hati meski itu tergolong selemah-lemah iman. Salam!
Editor Sugeng Purwanto