Kasman Singodimedjo Berkali-kali Dipenjara, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-keagamaan, tinggal di Kabupaten Sidoarjo.
PWMU.CO – Kasman Singodimedjo—sebagaimana sang guru, KH Ahmad Dahlan—adalah pejuang teguh dan tangguh. Beliau teguh, karena nyaris di semua perjalanan hidupnya digunakan untuk berjuang. Beliau tangguh, sebab dalam berbagai penderitaan yang dialaminya, misalnya berkali-kali dipenjara, semangatnya tak pernah sirna.
Suka Belajar dan Berorganisasi
Kasman Singodimedjo lahir pada 25 Februari 1904 di Purworejo Jawa Tengah. Sejak awal dia dikenal memiliki semangat belajar yang tinggi. Kasman kecil sangat suka dengan ilmu, baik umum maupun agama. Dia rajin membaca buku dan berdiskusi dengan teman-temannya. Tingginya semangat belajar ini, membuat dia menguasai berbagai ilmu dan pengetahuan.
Dalam kondisi kekurangan, si anak desa Kasman Singodimedjo ini-berhasil belajar dan melewati berbagai jenjang pendidikan. Dia bersekolah di HIS, MULO, Stovia Jakarta (sekolah dokter, tapi tak selesai), dan Sekolah Tinggi Hukum (RHS) Jakarta.
Pada usia 18 tahun ketika bersekolah di MULO, Kasman Singodimedjo mulai belajar Islam pada beberapa tokoh Muhammadiyah dari Yogyakarta, termasuk ke KH Ahmad Dahlan. Ketika bersekolah di Jakarta Kasman berteman akrab dengan Mohammad Roem. Keduanya lalu menginisiasi Jong Islamieten Bond (JIB).
Pada 1924, di JIB, Kasman Singodimedjo turut berperan dalam penerbitan media cetak organisasinya, Het Licht. Pada edisi Desember 1925, media itu memuat beberapa tujuan pendirian JIB. Antara lain mempererat hubungan golongan terpelajar dengan rakyat, menumbuhkan rasa kebersamaan antara golongan intelektual dari berbagai suku bangsa, serta menumbuhkan rasa simpati terhadap agama Islam dan toleransi pada pemeluk agama lain.
Pada Juni 1928 terbentuk Panitia Kongres Pemuda II yang diketuai oleh Sugondo Joyopuspito. Pada pelaksanaannya, kongres itu dihadiri oleh perwakilan-perwakilan perkumpulan pemuda dan perorangan, jumlahnya sekitar 750 orang. Kasman Singodimedjo hadir di Kongres Pemuda itu. Ada juga Mohamad Roem, Mangoensarkoro, dan lain-lain. JIB turut serta di kongres yang lalu melahirkan Sumpah Pemuda 1928 itu.
Selanjutnya, di tahun 1930-1935 Kasman Singodimedjo menjabat sebagai Ketua JIB. Sebelumnya, sejak aktif di JIB, Kasman rajin menjalin relasi dengan tokoh dan ulama, termasuk dengan Ahmad Surkati.
Pada 1926 Kasman Singodimedjo sering datang kepada pendiri Al-Irsyad itu. Keduanya sering terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan penting berkaitan dengan masalah agama dan politik. Lalu, oleh Ahmad Surkati, Kasman Singodimedjo diminta untuk mengajar kepanduan di Al-Irsyad.
Di atas disebut, Kasman tak selesai belajar di Stovia-pendidikan dokter-, sebab dia yang aktivis JIB itu dikeluarkan. Kasman dianggap berbahaya bagi Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya Kasman masuk ke Sekolah Tinggi Hukum dan meraih gelar Meester in de Rechten (Mr).
Pejuang Teruji
Kasman Singodimedjo pejuang tanpa pamrih. Dia peduli akan nasib bangsanya yang kala itu terjajah. Dia pernah ikut bergerilya memberi penerangan dan membangkitkan semangat perlawanan rakyat.
Kasman menempuh 1000 kilometer dalam wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia tempuh dengan jalan kaki, ada kalanya dibantu dengan naik kuda oleh orang-orang, dan pernah dibantu naik sepeda. Di kesempatan lain juga kerap melompat-lompat antar-gerbong kereta api.
Tentang Kasman yang sangat peduli pada sesama juga diakui oleh Mohammad Natsir. “Seringkali Kasman lupa akan waktu untuk kepentingan dirinya sendiri,” kata tokoh Islam yang pernah menjadi Perdana Menteri RI itu.
Kasman adalah negawaran yang teguh pendirian. Tidak goyah, meskipun di bawah tekanan dan paksaan. Kasman Singodimedjo, ”Selalu mengisi jiwanya dengan agama,” kata Buya HAMKA.
“Dalam menetapkan pendiriannya, senantiasa dia dipimpin oleh dua hal, ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan agama yang dianutnya, Islam,” tutur Deliar Noer, Ketua Umum Pengurus Besar HMI 1953-1955.
Berkali-kali Dipenjara
Sebagai aktivis, baik di saat pergerakan kemerdekaan maupun sebagai aktivis Islam di masa merdeka, lebih dari sekali Kasman ditahan.
Kali pertama, pada 1940, setelah berpidato di sebuah forum Muhammadiyah Bogor. Kalimat “Untuk Indonesia Merdeka!” yang terucap dalam pidatonya, mengantakannya ke penjara penjajah selama empat bulan penjara.
Atas peristiwa itu namanya muncul di sejumlah media cetak seperti Pemandangan, Pandji Islam, Adil, dan Berita NU. “Nama Kasman tiba-tiba muncul menjadi buah pembicaraan di kalangan kaum pergerakan, baik yang berasas nasionalisme maupun Islam,” kata Saifuddin Zuhri, tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
Masalah lain yang juga mengantarkan Kasman Singodimedjo ke penjara, terjadi di zaman merdeka. Saat itu dia dikait-kaitkan dengan kasus PRRI. Padahal pada Ahad, 31 Agustus 1958, Kasman berpidato di Magelang tentang wejangan Ronggowarsito. Tidak mungkin pidato itu mengobarkan semangat penggerak PRRI di hutan Sumatera Barat.
Pembuka Jalan
Kasman kerap diamanahi jabatan rintisan di banyak lembaga. Misal, di JIB dan kepanduan JIB. Juga, sebagai Daidancho PETA, Menteri Kehakiman, dan Ketua KNIP.
Di masa pendudukan Jepang, oleh penguasa dia diangkat sebagai daidancho atau komandan batalion pasukan Pembela Tanah Air (PETA), jabatan tertinggi untuk orang Indonesia di PETA. Kasman sebenarnya tak berkenan masuk PETA. Hatinya menolak segala macam bentuk penjajahan.
Untuk mengelak dari posisi itu, dia berupaya merekayasa kondisi fisiknya supaya tidak lulus tes kesehatan. Tapi tak berhasil, sebab pemeriksaan kesehatan menyatakan Kasman sehat dan layak menjadi daidancho.
Di balik itu ada hikmah. Masuk PETA ternyata memperluas jaringan dan pengetahuan Kasman. Dia makin tahu watak asli Jepang dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang.
Pada 1943 Kasman Singodimedjo menggantikan Otto Iskandardinata, Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang hilang di daerah Jawa Barat. BKR inilah yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan terakhir menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Di zaman merdeka, ketika menjadi Jaksa Agung, performa sebagai “peletak dasar” juga terasa. Meski bukan pejabat yang pertama, tapi beliau yang kali pertama memfungsikan Jaksa Agung lebih dari sekadar jabatan administratif. Beliau efektifkan dengan menyusun landasan dan sistem operasionalnya.
Bersama Muhammadiyah
Kasman Singodimedjo mulai bergerak bersama Muhammadiyah pada 1935. Sementara, jauh sebelumnya, pada 1922 dia pernah memperoleh pengajaran langsung dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Pada 1935 itu, Kasman Singodimedjo secara resmi aktif di Muhammadiyah. Setelah aktif, Kasman Singodimedjo menjadi guru di AMS, Mu’allimiin, Mu’allimaat, MULO, dan HIK yang semuanya bernaung di bawah organisasi Muhammadiyah di Jakarta. Belakangan, Kasman Singodimedjo diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Jakarta dan menjadi Koordinator Muhammadiyah wilayah Jakarta, Bogor, dan Banten.
Mulai Muktamar ke-31 tahun 1950 di Yogyakarta, Kasman Singodimedjo sampai wafatnya selalu masuk dalam jajaran anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Menagih Terus
Mari kita seksamai “perjalanan” Piagam Jakarta. Bahwa, Piagam Jakarta sebenarnya merupakan “Gentlemen’s Agreement” dari bangsa ini terkait rumusan Pembukaan UUD 1945. Piagam Jakarta telah diterima secara bulat pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan ditandatangani pada 22/06/1945.
Hanya saja, dalam perkembangannya, di sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ada yang memasalahkan dasar “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Konon, ada yang mengajukan keberatan, bahwa “Tujuh Kata” yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dianggap potensial merusak keutuhan NKRI. Tentu saja, pembawa semangat Islam di PPKI menolaknya karena telah menjadi kesepakatan sebelumnya.
Merasakan bahwa situasi politik kala itu sedang membutuhkan keputusan yang cepat dan ditambah adanya janji Soekarno untuk membuat UUD yang permanen pada kurun enam bulan berikutnya dengan mengakomodasi Islam sebagai dasar negara, Kasman Singodimedjo ikut meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo, anggota PPKI, untuk mengalah sementara. Singkat cerita, Ki Bagus Hadikusumo—Ketua PP
Muhammadiyah—lalu bisa menerima.
Ternyata janji untuk membuat UUD yang permanen sebatas janji saja. Tentu saja, keadaan ini membuat Kasman Singodimedjo merasa bersalah atas apa yang telah dikerjakannya dahulu.
Kasman Singodimedjo menyadari bahwa dirinya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memerbaiki kembali semua itu.
Seperti ingin menebus kesalahan pada peristiwa hilangnya “Tujuh Kata”, maka pada sidang Dewan Konstituante pada 2 Desember 1957, Kasman Singodimedjo memanfaatkannya untuk menuntut dijadikannya Islam sebagai dasar negara.
Berikut petikan pidatonya: “Saudara Ketua, kini Juru Bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke Rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya …
Saudara Ketua, janji ini telah dengan resmi diucapkan oleh yang terhormat Saudara Soekarno, Kaichoo dari PPKI pada 18/08/1945. …. Saudara Ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini.
Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr. Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof. Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Saudara Ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli dengan suatu janji dan/atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan permanen.
Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh diganggu-gugat, sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Api Tak Padam
Kasman Singodimedjo telah wafat di Jakarta pada 25 Oktober 1992. Tapi, pidato dia di Dewan Konstituante yang petikannya terbaca di atas sulit untuk kita lupakan. Pidato itu sangat berapi-api, tegas menagih janji terkait Gentlemen’s Agreement berupa Piagam Jakarta.
Sungguh, beliau—yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 8 November 2018 itu—kuat memerjuangkan agar Islam secara formal menjadi Dasar Negara ini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 7 Tahun ke-XXV, 16 Oktober 2020/29 Safar 1442 H.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.