Pak Malik dan “Story Telling” tentangnya, ditulis oleh Nasrullah, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, untuk mengenang 40 hari wafatnya Prof HA Malik Fadjar MSc.
PWMU.CO – Pernah ada celetukan bahwa Pak Malik suka mengulang-ulang petuah-petuahnya. “Kaset lama diputar kembali,” kata seorang dosen muda yang belum saya kenal. Dia duduk persis di depan saya bersama dosen muda lainnya ketika kampus menggelar pengajian dosen dan karyawan.
Sikapnya yang alih-alih menyimak pengajian, mereka malah sibuk bermain dengan gawai atau ngobrol dengan teman sebelah. Ada kesan mereka hanya sekedar hadir untuk mengisi presensi.
Pak Malik adalah narasumber pengajian rutin itu. Ketua Badan Pembina Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bernama lengkap Prof HA Malik Fadjar MSc ini paling sering dihadirkan dibanding tokoh nasional lainnya.
Rektor UMM masa itu Prof Dr Muhadjir Effendy MAP, menuturkan, menghadirkan Pak Malik adalah salah satu cara menguatkan corporate culture. Tujuannya agar para dosen muda memahami ruh perjuangan UMM dan Muhammadiyah. Sebagai pelaku utama sejarah kepeloporan UMM di berbagai bidang, Pak Malik memiliki magnet spiritual yang tak boleh diabaikan.
Komentar dosen muda bernada sinis itu sangat disayangkan. Mereka enggan mengenal siapa Pak Malik dan bagaimana sejarah perjuangan UMM sampai berdiri gagah seperti ketika dia masuk menjadi dosen baru. Barangkali tradisi sebagian anak muda yang semakin sulit menerima nasihat orang tua juga bisa menjadi penyebab mengapa mereka resisten terhadap pengulangan pesan.
Mereka menganggapnya sebagai redundence. Tidak penting. Jangan-jangan orang tua di rumah yang mengulang-ulang nasihat juga sudah dianggap tiak penting lagi. Miris.
Mengulang Makna
Word doesn’t mean, but people mean. Demikian adigium terkenal dalam ilmu komunikasi. Kata-kata Pak Malik adalah “sabda” bagi yang lebih menghayati hidup bersama Pak Malik dan UMM.
Berbeda dengan dosen muda tadi, bagi golongan ini apa yang disampaikan Pak Malik betapapun diulang-ulang akan senantiasa bermakna. Kelompok ini selalu menemukan konteks yang faktual dengan petuah-petuah penuh filosofi.
Mereka mendapatkan linkage dan glue untuk melekatkan potongan-potongan mozaik nasihat tanpa harus meminta Pak Malik menguraikan lebih lanjut. Begitu mudah untuk menemukan apa yang dimaksud, apa dan siapa yang disasar dalam setiap nasihat itu.
Saya termasuk generasi tengahan di UMM. Senior di atas saya sudah sangat banyak, tetapi generasi setelah saya juga jauh lebih banyak lagi. Saya mengalami transisi dari kampus II ke kampus III. Dari kampus yang masih setengah jadi tetapi sudah dipaksa untuk dipakai kegiatan akademik dan kemahasiswaan, sampai menjadi kampus swasta terbesar saat ini.
Meski tidak mengalami masa perintisan karir Pak Malik di Malang, saya dan teman segenerasi masih bisa merekam kiprah kepemimpinan Pak Malik dengan baik. Kami mengalami era di mana Pak Malik pernah menjadi rektor dua kampus besar sekaligus yakni UMM dan Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), serta Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI dalam waktu bersamaan.
Setelah itu juga, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, sampai terakhir sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Setelah lulus S1 di Komunikasi UMM tahun 1998, Pak Malik langsung menawari saya menjadi dosen. Mungkin beliau memperhatikan ketika saya mewakili wisudawan membawakan kesan dan pesan sehingga meminta saya menemuinya usai prosesi wisuda pada Juli 1998 itu.
Waktu itu wisuda masih diselenggarakan di helipad di bawah tenda besar. Saya diundang makan siang yang biasa hanya untuk anggota senat dan tamu VIP di aula BAU. Dikenalkan dengan Pak Habib, dekan FISIP yang tentu sudah saya kenal karena saya adalah muridnya. “Pak Habib, ini Mas Nasrullah disuruh ngajar di Komunikasi ya,” kata Pak Malik ke Pak Habib yang langsung mengiyakan.
Momen wisuda itu membuat saya jauh lebih terkesan dengan sosok Pak Malik. Rupanya beliau masih mengenal saya meski hanya beberapa kali bertemu langsung.
Dianggap Tandingi ICMI
Sekitar 1996, pada suatu malam kami mahasiswa dari Pimpinan Cabang IMM Malang dipanggil di kantor rektor karena akan menyelenggarakan Silaturahmi Nasional Alumni IMM. Bersama senior IMM seperti Mas Baroni, Mas Gunawan Hidayat, Mas Endy Syaiful Alim, Mas Hasanudin, Mas Mariman Darto, dan lainnya, kami didawuhi. Entah dari mana infonya, kami dianggap akan membuat tandingan ICMI.
“Tolong kalau membuat acara ditata dulu niatnya. Jangan otak saja yang dipakai, hatinya, sekali lagi hatinya,” begitu dawuh Pak Malik yang masih terngiang sampai sekarang.
Pertemuan berikutnya di Gedung DPR RI dan di kantor Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Waktu itu, saya terseleksi mewakili Kopertis VII mengikuti kompetisi Mahasiswa Berprestasi Nasional. Para peserta diundang mengikuti Pidato Tahunan Presiden di DPR dan Upacara Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1996 di Istana Negara bersama presiden Soeharto.
Malam harinya diundang Mendikbud Prof Wardiman Djojonegoro. Di kedua momen, saya bertemu lagi dengan Pak Malik dan berfoto bersama. Foto itu terus dipajang di rumah di kampung dan menjadi kebanggaan orangtua saya.
Saat Pak Malik Bad Mood
Ada yang menarik ditanyakan ke saya waktu itu. Pak Malik ingin tahu tentang nasib Rizal dan Wiwin, dua mahasiswa Komunikasi UMM yang ditangkap aparat atas keterlibatannya pada Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Rezim Soeharto menganggap SMID berbahaya sehingga aktivisnya banyak yang ditangkap. Rupanya meski telah banyak tinggal di Jakarta sebagai Dirjen, Pak Malik terus memantau mahasiswanya. Beliau berpesan agar kedua adik kelas saya itu jangan sampai putus kuliah.
Pertemuan berkesan berikutnya, saat saya studi S2 di Universitas Indonesia, Jakarta. Pak Malik adalah Mendikbud saat itu. Sebagai salah satu anggota DPP IMM saya bersama yang lain mendampingi Ketua Umum Piet Hizbullah Haidir audiensi ke beliau untuk melaporkan rencana Tanwir IMM tahun 2002.
Menariknya Pak Malik tampak dalam kondisi bad mood menerima kami sampai “mengusir” Bendahara DPP IMM, Ridha Darmawati, hanya karena memakai sepatu yang lebih mirip sandal jepit.
Nama Ridha—yang di kemudian hari berjodoh dengan saya ini—sempat menjadi buah bibir di Gedung Dakwah Muhammadiyah karena malam setelah audiensi itu Pak Malik, yang waktu itu juga salah satu Ketua PP Muhammadiyah, hadir di rapat pimpinan. Di forum rapat rupanya ada yang nyeletuk tentang aksi pengusiran DPP IMM di kantor Mendikbud.
Terus terang kami terheran-heran bagaimana seorang menteri mengusir begitu saja tamunya tanpa bertanya alasannya. Usut punya usut, ternyata benar dugaan kami, bad mood beliau dipicu rombongan sebelum kami.
Rupanya beliau masih belum begitu fresh gara-gara baru saja marah kepada PB HMI. Pak Malik minta agar HMI Dipo dan HMI MPO datang bersama tetapi yang datang hanya salah satu kubu. Waktu itu keduanya memang sedang sulit dipertemukan. “Saya tidak suka anak-anak muda yang gampang konflik, terpecah. Menyia-nyiakan waktu dan energi yang tak perlu,” begitu ungkap Pak Malik.
Soal Story Telling
Seiring perjalanan waktu, setelah menjadi dosen, lalu menjadi Kepala Humas UMM, dan terakhir diminta mendampingi Mendikbud Prof Muhadjir Effendy sebagai Staf Khusus Menteri, saya lebih sering berinteraksi dengan Pak Malik.
Saya bersyukur karena menjadi generasi yang masih bisa menghayati sosok Pak Malik dan selalu menemukan “vitamin spiritual” pada diri beliau.
Sebaliknya, saya juga sedih masih ada sebagian generasi setelah saya yang enggan menyimak sejarah UMM dan perjuangan para tokohnya. Mereka memerlukan penghayatan sejarah yang lebih kekinian agar tetap menjadikan para tokoh itu sebagai panutan.
Keprihatinan saya pada ungkapan “kaset lama” pernah saya diskusikan dengan putra pertama Pak Malik, Dr Nazaruddin Malik. Sebelum menjadi Wakil Rektor II, waktu itu beliau menjabat dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).
“Ini masalah story telling tentang Pak Malik,” kata Pak Nazar. Generasi di bawah saya, katanya, banyak yang kehilangan penceritaan tentang sosok dan kiprah Pak Malik. Story telling ini penting bukan untuk kultus individu yang benar-benar dihindari oleh ajaran Muhammadiyah, tetapi lebih untuk membangun corporate culture UMM.
Perlu ada sosok role model yang ditokohkan agar nilai-nilai UMM lestari sepanjang zaman. Itulah sebabnya Pak Nazar melibatkan saya dan teman-teman dari lintas kampus dan lintas organisasi untuk mengaktifkan Rumah Baca Cerdas (RBC).
Perpustakaan yang dibangun Pak Malik ini pada gilirannya mulai hidup dan menjadi jujugan anak muda untuk membaca dan diskusi. Setiap ada kesempatan Pak Malik ke Malang, selalu menjadi pemantik diskusi kebangsaan di RBC.
Surprise yang Bocor
Tergugah oleh ungkapan Pak Nazar tentang story telling tadi, sewaktu ditugasi rektor Pak Muhadjir untuk merancang Milad ke-70 Pak Malik. Saya berfikir keras bagaimana mengemas acaranya. Sedianya acara digelar di Hotel Sahid Jakarta sebagai surprise untuk Pak Malik.
Selain UMM, host acara disepakati Uhamka Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Solo, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menurut rencana, acara digelar pada Februari 2009 bertepatan dengan usia 70 tahun Pak Malik.
Semua humas kampus terlibat sebagai panitia, termasuk saya. Semua sepakat bahwa acara dikemas dalam bentuk selebrasi akademis atas dedikasi dan karya-karya Pak Malik. Berbagai rancangan buku disusun. Tak terkecuali, UMM juga membentuk tim penulisan buku tentang Pak Malik. Biografi itu sedianya akan di-launching persis pada milad ke-70 itu. Saya berfikir acara ini menjadi momentum story telling tentang Pak Malik secara utuh.
Sampai menjelang deadline bulan Februari tiba, tim buku UMM tak kunjung menyelesaikan tugasnya. Meski berbagai literatur dan narasumber sudah dikumpulkan, ternyata tak mudah menyelesaikannya.
Seingat saya waktu itu, target untuk “menandingi” biografi karya Anshori Toyib dan Anwar Hudijono berjudul Darah Guru Darah Muhammadiyah terasa sulit tercapai. Karya duo wartawan senior yang masih bersaudara ipar itu memang begitu ampuh menceritakan sisi-sisi Pak Malik secara jurnalistik. Judulnya pun sudah sangat branded. Istilahnya “sangat Pak Malik”. Penerbitnya pun keren, Kompas Gramedia.
Alhasil, UMM belum berhasil menulis dan menerbitkan buku biografi Malik Fadjar kala itu. Kami gagal merangkai narasi kebesaran nama dan ketokohan beliau. Padahal Pak Rektor berharap biografi itulah yang akan menjadi semacam ajaran kepemimpinan seorang Malik Fadjar bagi generasi penerusnya, sebagaimana biografi Jacob Oetama yang menjadi pegangan nilai-nilai Kompas dan grup perusahaannya.
Rupanya rencana surprise itu bocor sampai di telinga Pak Malik. Saya dan tim buku dipanggil. “Sudahlah, buku Darah Guru itu sudah sangat bagus. Kalau mau buat buku yang lebih bagus perlu waktu panjang lagi. Buat saja galeri foto tentang sejarah UMM dan UMS yang saya ikut di dalamnya, lebih komunikatif dan menarik,” tutur beliau. Ada kesan, saat itu Pak Malik enggan dibiografikan.
Bulan Februari pun lewat dan UMS sudah menggelar resepsi Ulang Tahun Pak Malik di kampusnya. Momentum ulang tahun sudah tidak mungkin diambil untuk story telling tentang Pak Malik. Namun Pak Rektor tetap ingin acara di Jakarta tetap jalan. Bukan untuk launching biografi tetapi membuat sebuah refleksi pemikiran dan perjuangan sosok Pak Malik. Selain menghindari istilah ulang tahun yang memang tidak biasa dirayakan oleh Pak Malik, acara refleksi lebih bermakna.
Pak Rektor juga meminta agar buku Darah Guru diterbitkan ulang oleh UMM Press selain buku galeri dokumentasi dan kumpulan tulisan tentang Pak Malik. Buku-buku itu dikemas sebagai souvenir acara di Jakarta. Tajuk acaranya ditemukan, “Refleksi Pendidikan dan Kebangsaan: Setengah Abad Kiprah Perjuangan HA Malik Fadjar”. Tajuk ini memanfaatkan momentum bulan Mei, dan menghindari kesan ulang tahun ke-70.
Pak Fauzan, yang waktu itu dekan FKIP, menjadi ketua pengarah kegiatan. Dengan sigap tanpa kepanitiaan yang berbelit acara di Hotel Sahid dirancang tuntas. Venue dan menu makanan dipesan. Undangan disebar, dibantu oleh panitia Uhamka. Tokoh-tokoh besar sudah konfirmasi hadir.
Menjelang H-2 rupanya Pak Malik mendengar acara akan digelar di hotel dan beliau kurang berkenan. Beliau lalu menyarankan acara dipindah ke Gedung Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62, Jakarta.
Perubahan tempat acara yang mendadak sempat membuat saya shock karena hampir 100 persen sudah fix. Tapi Pak Fauzan dan Pak Nazar terus mendorong dan mengerahkan link-linknya untuk mengurus pemindahan acara. Sementara saya mengerahkan teman-teman di Menara—nama lain Gedung Dakwah Muhammadiyah dari akronim Menteng Raya 62—untuk menyiapkan teknisnya.
Alhamdulillah dalam waktu singkat pengalihan acara dari Sahid ke Menteng berjalan lancar. Acara tetap khidmad dan hampir semua tokoh yang diundang hadir, termasuk ketua PP Muhammadiyah waktu itu Prof Din Syamsudin dan mantan ketua Prof Ahmad Syafii Maarif.
Para mantan Menteri Pendidikan serta kolega Pak Malik juga hadir memberikan testimoni. Tak ketinggalan seluruh keluarga Pak Malik ikut menyimak secara langsung testimoni-testimoni tentang berjuang bersama Pak Malik. Banyak cerita sisi lain Pak Malik muncul.
Usai acara saya bertemu dengan Dr Moeslim Abdurrahman. Cendikiawan muslim ini dikenal sangat dekat dengan Pak Malik. Kang Moeslim, demikian saya memanggil tokoh ini, bercerita tentang gagalnya membuat biografi Pak Malik.
Rupanya beliau juga pernah membentuk tim penulis buku. Tetapi pada akhirnya biografi itu tak pernah terwujud sampai Kang Moeslim sendiri mendahului kita. Mirip dengan alasan tim UMM, munculnya buku Darah Guru, dianggap sudah merepresentasikan sosok Pak Malik.
Selain itu, kata Kang Moeslim, Pak Malik adalah sosok yang kurang suka bercerita tentang dirinya sendiri. Oleh karenanya lebih banyak buku tentang kiprah Pak Malik dari kumpulan tulisan daripada biografi utuh tentangnya.
Sampailah saya pada suatu kesimpulan bahwa Pak Malik benar-benar tinta yang tak pernah habis. Story telling tentang Pak Malik adalah tentang pendidikan dan kebangsaan. Bukan tentang dirinya sendiri. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.