PWMU.CO– Hukum Maulid Nabi Muhammad saw termasuk perkara ijtihadiyah. Tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya.
Menurut sejarahnya ada yang mengatakan, peringatan maulid Nabi dimulai zaman Dinasti Fatimiyah Mesir. Lalu Sultan Salahuddin al-Ayubi memakai acara itu untuk mengobarkan semangat umat Islam menghadapi Perang Salib melawan tentara Eropa yang menyerbu Yerusalem. Dari situlah kemudian sekarang menjadi tradisi dengan beragam cara merayakannya.
Memang ada ulama yang menghukumi bid’ah. Alasannya Nabi tak perlu merayakan ulang tahunnya. Dianggap tasabbuh tradisi orang kafir. Seperti merayakan Hari Natal. Namun ada baiknya memperhatikan hadits dari Abu Qotadah al Anshori ra yang menceritakan Rasulullah saw pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.
Hadits itu mengabarkan cara Rasulullah memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa. Ini menjadi salah satu dalil puasa sunah hari Senin. Jadi merayakan ulang tahun kelahiran atau maulid menurut Nabi itu dengan berpuasa bukan pesta makanan. Hadits itu sekaligus menjelaskan Rasulullah memperingati hari diangkat menjadi nabi, dan turunnya wahyu.
Karena itu kalau masyarakat memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw harus memperhatikan kemaslahatannya. Hindari perbuatan syirik dan memuja Nabi Muhammad saw secara berlebihan, seperti membaca wirid atau syair maulid yang dianggap sakral. Apalagi percaya kalau membaca syair shalawat Barzanji atau Diba’ maka Rasulullah hadir di acara itu sehingga harus disambut dengan berdiri.
Jangan Memuja Berlebihan
Nabi Muhammad saw sendiri telah menyatakan dalam sebuah hadis
عَنْ عُمَرَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ. [رواه البخاري ومسلم)
Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kamu memberi penghormatan kepada saya secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah, maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya. [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Allah swt telah menegaskan dalam al-Quran, bahwa Rasulullah Muhammad saw adalah sebaik-baiknya suri teladan bagi umat manusia.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab (33): 21)
Mengadakan maulid dengan kemaslahatan artinya peringatan Maulid Nabi Muhammad saw mengandung manfaat untuk kepentingan dakwah Islam, meningkatkan iman dan takwa serta mencintai dan meneladani sifat, perilaku, kepemimpinan dan perjuangan Nabi Muhammad saw.
Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan cara menyelenggarakan pengajian atau acara lain yang sejenis yang mengandung materi kisah-kisah keteladanan Nabi saw. (*)
Hukum Maulid Nabi bisa juga dibaca di tarjih.or.id
Editor Sugeng Purwanto