PWMU.CO – Salafi dan khalafi. Konsep itu dibahas pada Pengajian Orbit yang digelar secara virtual, Kamis (15/10/2020).
Pengajian diikuti sekitar 238 partisipan Zoom Clouds Meetings dan disiarkan secara live oleh TVMu dan channel Youtube Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Mesir. Terdiri dari para artis, warga dan pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah, rektor, serta aktivis.
Sebaga nara sumber adalah Dr Cecep Taufikkurrahman SAg MA, tokoh Muhammadiyah dan cendekiawan Muslim. Dia menjelaskan, kata salaf secara etimologi berarti pendahulu atau orang yang mendahului, misalnya di al-Quran surat al-Maidah ayat 95, “…Allah telah memaafkan apa yang telah lalu.”
Sedangkan secara terminologis ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW ketika beliau dalam keadaan sakit. Saat itu Nabi bersama putrinya Fatimah dan berkata, “Saya adalah pendahulu terbaik untukmu wahai Fatimah.”
Generasi Terbaik
Cecep Taufikkurrahman mengatakan generasi salaf adalah yang terbaik. Dia mengutip hadits mutawatir riwayat Bukhari, “Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (yakni sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yakni generasi tabi’ut tabi’in).”
“Inilah yang dimaksud sebagai generasi terbaik umat atau salaful ummah (pendahulu umat),” kata Cecep yang menjabat Staf Pendidikan dan kebudayaan Kedutaan RI di Mesir.
Dia menjelaskan, pada hadits tersebut, menurut pendapat yang paling kuat, yang dimaksud umat terbaik adalah komunitasnya bukan individunya. “Karena bisa jadi individu pada masa itu ada yang melakukan dosa dan jauh dari sifat keterbaikan,” terangnya.
Melalui generasi salaf inilah, lanjutnya, proses transmisi keislaman bisa berlangsung dengan baik. Dan penyebarannya bisa sangat baik ke seluruh dunia.
Generasi salaf menjadi generasi terbaik karena masa yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. “Mereka bisa melihat betul bagaimana islam dalam perilaku keseharian rasul baik urusan keluarga, pribadinya, masyarakat, kepemimpinan, dan peperangan,” jelasnya.
“Mereka (para Sahabat) bisa langsung bertanya kepada Nabi. Jika mereka tidak paham dalam urusan tertentu. Sehingga tidak mungkin ada sesuatu yang tidak mereka pahami dalam ajaran agama ini,” ujarnya.
Generasi Khalafi
Cecep Taufikkurrahman menerangkan, kata khalaf secara etimologis artinya generasi pengganti yang datang berikutnya. Lawan dari kata salaf.
Sepert di dalam al-Quran surat al-Araf ayat 169:
فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ….
“… Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat.”
Menurut dia, secara terminologis berarti generasi yang datang setelah generasi tabiut-tabiin.
Akidah Generasi Salaf
dalam kesempatan itu Cecep Taufikkurrahman menjelaskan 12 karater generasi salaf.
- Meyakini dan mengucapkan kalimat syahadat.
- Mengimani apa yang telah diajarkan nabi dan rasul.
- Tidak mengkafirkan seorang pun yang merupakan ahli kiblat atau yang mengucapkan kalimat tauhid.
- Mengembalikan segala urusan gaib kepada Allah.
- Mengimani apapun yang ditetapkan oleh Allah adalah kebaikan.
- Seseorang tidak masuk surga hanya karena amalnya, melainkan karena kasih sayang Allah SWT.
- Mengakui keutamaan para sahabat Rasulullah SAW dan tidak mencela salah satunya.
- Mengimani al-Quran adalah wahyu Allah dan bukan Makhluk-Nya, berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang menyebutkan al-Quran itu makhluk bukan kalam.
- Meyakini iman itu bisa berkurang dan bertambah
- Jihad adalah kewajiban untuk membela agama Allah
- Mengimani adanya nikmat dan siksa di alam kubur
- Meyakini adanya telaga kautsar dan syafaat
Penduduk neraka yang memiliki sedikit keimanan, maka dia akan tetap di pindahkan ke surga Allah dan dia tidak abadi di neraka.
Dengan menyelami 12 hal itu, menurut dia, tentu berbeda dengan keyakinan golongan Syiah yang mengkafirkan, bahkan, kepada para sahabat senior dan istri Rasulullah SAW. “Tentu sangat bertentangan dengan keyakinan salaful ummah,” ujarnya.
Salafi Tak Berarti Salaful Ummah
Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Dr Din Syamsuddin MA, mengatakan pemahaman keagamaan dalam Islam yang sangat beragam dan terakhir dikenal salah satunya sebagai paham salafi atau salafiah.
“Islam yang satu berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah bisa menimbulkan banyak pemahaman dari sumber penafsiran yang berbeda,” jelasnya.
Menggarisbawahi pernyataan Cecep Taufikkurrahman, Dia mengatakan, bahasa ‘salaful ummah‘ itu adalah satu himpunan dari umat Islam, yang lebih bersifat kolektif. Namun kata ‘salaf‘ juga sering disimpangkan oleh yang datang belakangan.
Salafi itu tidak serta merta sama (identik) dengan salaful ummah. Karena salah satu ciri salaful ummah tidak menyalahkan atau mengkafirkan orang lain.
Din Syamsuddin mengatakan, masalah umat Islam adalah pada pemahaman sumber-sumber Islam: al-Quran dan khususnya hadits.
“Jangan sampai ada masalah pada hadits menjadikan kita ingkarusunnah atau mengingkari sunnah dan hanya mau pada al-Quran,” terangnya.
Dia menambahkan, sementara banyak penjelasan al-Quran yang ada di dalam hadits. “Al-Quran wa sunnah al-maqbulan, yaitu sunnah-sunnah yang bisa diterima, dan Muhammadiyah berpegang pada keduanya,” ujarnya.
Peran Majelis Tarjih
Din Syamsuddin menjelaskan, di Muhammadiyah ada Majelis Tarjih dan Tajdid yang didirikan untuk men-tarjih-kan hadits. Untuk melihat hadits mana yang benar, salah, mutawathir, shahih, dhaif, hadits lemah, atau hadits palsu.
Dia juga menjelaskan bahwa di dalam beragama hal akidah dan Ibadah tidak boleh ada kreativitas. “Itu disebut bidah. Misalnya dalam salat subuh dua rakaat dijadikan empat rakaat. Itu namanya bid’ah,” katanya.
Sebab, lanjurnya, dalam hal akidah itu sudah baku tidak bisa ditambah-tambah. Tetapi dalam hal muamalah kehidupan duniawi secara keseluruhan—sosial, ekonomi, budaya, seni—itu wilayah kebebasan, selama tidak ada dalil dari al-Quran dan as-Sunnah yang mengharamkan.
“Termasuk musik itu wilayah kebudayaan yang awalnya mubah, kecuali jika ada sesuatu yang membuat musik itu dilarang, baik musiknya maupun pemusik (pelantun lagu) yang mendorong kemaksiatan dan kemungkaran menjadikan musik itu dilarang,” papar dia.
Namun, sambungnya, jika musik itu mendorong kepada ketakwaan kepada Allah, minimal bisa menjadi sunnah karena kebaikan. “Islam itu tidak kaku,” tambahnya.
Din Syamsuddin menjelaskan, dalam Islam itu ada yang datar, tidak boleh diubah dan harus kita ikuti. Yaitu akidan dan ibadah. Namun dalam bidang kebudayaan sangat tergantung dengan latar belakang sosial budaya masing-masing.
Dia juga menjelaskan, islam harus dipahami secara berkemajuan tidak kaku dan umat islam harus merebut kebudayaan. “Kita niatkan bukan seni untuk seni, tapi seni untuk ibadah menjemput keridaan Allah SWT,” ajaknya. (*)
Penulis Firdausi Nuzula. Editor Mohammad Nurfatoni.