KAMI, Rezim Paranoid, dan Oligarki Ekonomi Kolom oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ.
PWMU.CO – Usianya baru seumur jagung. Dideklarasikan pada tanggal 18 Agustus 2020. Namun kehadirannya telah membikin geger dunia politik kita. Membikin kelimpungan dan gerah sebagian elit politik yang tengah berkuasa.
Itulah KAMI, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, yang dikomandoi oleh tiga presidium yang memiliki background dari tiga kekuatan politik yang berbeda, yaitu Din Syamsuddin (Muhammadiyah), Rochmat Wahab (Nahdlatul Ulama), dan Gatot Nurmantyo (militer).
Kehadiran KAMI adalah keniscayaan. Pertama, niscaya bagi negara yang kerap disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun sejatinya tak lebih hanya negara demokrasi penuh kepura-puraan atau lazim disebut “demokrasi prosedural”.
Demokrasi dijalankan hanya sebatas prosedur untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan yang dibuat Pemerintah dan DPR. Mempertontonkan keugal-ugalannya dalam mengelola negara, tak jadi soal kalaupun kebijakan yang dibuatnya harus mengangkangi dan bahkan paradoks dengan hakekat atau nilai-nilai fundamental dari demokrasi.
Kedua, niscaya atas semakin menguatnya gurita oligarki ekonomi. Bila pada masa Orde Baru yang berkuasa adalah oligarki militer, maka selepas tumbangnya Orde Baru, kekuasaan berpindah ke oligarki ekonomi.
Oligarki militer telah meninggalkan trauma politik di masyarakat atas kebijakan-kebijakan yang diciptakannya. Namun dampak dari oligarki ekonomi jauh lebih buruk dari oligarki militer.
Ketika oligarki militer berkuasa memang banyak tokoh dari kelompok-kelompok kritis seperti Petisi 50 dan Forum Demokrasi (Fordem) yang dipenjarakan. Media-media kritis juga kerap menerima punishment berupa pembredelan.
Namun satu hal yang positif yang tidak terjadi di era oligarki ekonomi saat ini, dalam perjalannya, sikap otoriter rezim militer Orde Baru justru berhasil mempersatukan hampir semua kelompok civil society dengan beragam latar belakang dan menjadikan rezim militer Orde Baru sebagai common enemy. Pada akhirnya rezim Orde Baru tumbang oleh gerakan massa yang lakukan oleh kekuatan-kekuatan civil society.
Sementara di era oligarki ekonomi, hampir-hampir tak ada satu kekuatan politik pun yang luput dari cengkeraman kaum oligark ekonomi. Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif—yang kerap disebut sebagai tiga pilar utama demokrasi—nyaris semuanya takluk dan bertekuk lutut di ketiak kaum oligark ekonomi.
Kaum oligarkI ekonomi sejatinya antidemokrasi. Namun ketika demokrasi dinilai berpeluang dijadikan sebagai instrumen guna memperkuat cengkeramannya, maka demokrasi pun dibajaknya.
Demokrasi liberal dan berbiaya mahal yang berlangsung saat ini dengan segala cara mencoba dipertahankan. Para politisi yang pragmatis dan nir-integritas dibuat bergantung kepada kaum oligark.
Berlakulah teori ekonomi: supply (penawaran) dan demand (permintaan). Teori yang bisa menjelaskan interaksi antara penjual (politisi) dan pembeli (kaum oligark ekonomi). Kaum oligark menggelontorkan sumber daya ekonominya untuk “membeli” sumber daya politik yang dimiliki para politisi. Di sisi lain, para politisi kita yang (sudah) tak berdaya secara ekonomi tak ada pilihan kecuali menerima tawaran kaum oligark.
Mencengkeram Media Massa dan Penegak Hukum
Media massa yang kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi juga nasibnya sama. Sekarang hampir semua kepemilikan media massa, terlebih media massa mainstream, dimonopoli oleh kaum oligark. Dengan kepemilikan yang seperti ini, tentu sulit berharap media massa bisa tampil independen dalam hal pemberitaan.
Begitupun di lingkup aparat penegak hukum, sulit rasanya untuk tidak mengatakan bahwa mereka pun telah terkooptasi oleh kaum oligark. Terlalu banyak kasus hukum yang berkeliaran untuk menjelaskan hal ini. Kasus Djoko Tjandra merupakan contoh telanjang betapa aparat penegak hukum sesungguhnya telah terkooptasi oleh kaum oligark.
Kekuatan-kekuatan civil society juga berhasil ditaklukan. Organisasi ekstra maupun intra kampus berhasil dijinakkan. Saat ini kita tak lagi bisa mendengar pernyataan-pernyataan kritis atau aksi-aksi demo yang dilakukan oleh elit-elit organisasi ekstra kampus terkait kebijakan-kebijakan Pemerintah yang melukai dan menciderai nurani dan akal sehat masyarakat.
Kalau pun ada, yang melakukan hanyalah di tingkat komisariat atau paling tinggi tingkat cabang yang tak mampu “dikontrol” dengan baik. Kebanyakan elitnya telah berhasil dijinakkan. Keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dipecah belah sedemikian rupa ke dalam beberapa kelompok. Dikenallah BEM Nusantara dan BEM Seluruh Indonesia. Pecah belah ini terbukti berhasil melemahkan soliditas gerakan mahasiswa.
Kuatnya hegemoni kaum oligark juga tergambar dari (mulai) diabaikannya suara-suara rakyat atau umat yang disuarakan oleh organisasi-organisasi mainstream seperti Muhammadiyah dan NU, yang telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka.
Suara-suara Muhammadiyah dan NU terkait UU Minerba, RUU HIP, dan UU Cipta Kerja diabaikan. Suara-suara kritis Muhammadiyah dan NU tak lagi didengar oleh Pemerintah dan DPR.
KAMI Mengisi Kekosongan
Ketika semua kekuatan politik, civil society mainstream sudah berhasil dikendalikan dan dijinakkan, suara-suara kritis nan santun (bi al-hikmah wa al-mauidzati al-hasanah) dari Muhammadiyah dan NU tak lagi didengar, sementara dalam alam demokrasi tak boleh dibiarkan negara ini dikelola tanpa adanya kelompok penyeimbang dan kritis, maka menjadi niscaya lahirnya gerakan-gerakan politik yang dapat mengisi kevakuman suara-suara kritis masyarakat.
Kehadiran KAMI adalah keniscayaan untuk mengisi kekosongan suara-suara kritis tersebut. Kalau membaca “Maklumat Menyelamatkan Indonesia”, kehadiran KAMI hanya dimaksudkan untuk meluruskan arah kiblat bangsa dan negara yang dinilai telah banyak mengalami penyimpangan.
Gerakan KAMI sebatas gerakan moral. Tak ada niatan yang aneh-aneh sebagaimana dituduhkan oleh elit-elit yang tengah berkuasa, seperti ingin mengganti kekuasaan yang sah dan membikin resah masyarakat serta “mengganggu” Pemerintah yang tengah serius(?) menangani pandemi Covid-19.
Kehadiran KAMI hanya mengingatkan pemerintah untuk bertindak responsif terhadap upaya pemecahbelahan masyarakat dengan tidak membiarkan kelompok-kelompok yang anti demokrasi, intoleran, dan eksklusif dengan menolak kelompok kritis seperti KAMI.
Desakan kepada penyelenggara negara, khususnya Pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk menegakkan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan (tidak menyimpang dari) jiwa, semangat dan nilai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tuntutan kepada Pemerintah agar bersungguh-sungguh menanggulangi pandemi Covid-19, untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dengan tidak membiarkan rakyat menyelamatkan diri sendiri, sehingga menimbulkan banyak korban, dengan mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi.
Menuntut Pemerintah untuk menghentikan penegakan hukum yang karut marut dan diskriminatif, memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara.
Menuntut penyelenggara negara untuk menghentikan sistem dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta sistem dan praktek oligarkhi, kleptokrasi, politik dinasti, dan penyelewengan/ penyalahgunaan kekuasaan.
Membaca maklumat dan pernyataan-pernyataan KAMI lainnya, tak ada yang perlu dirisaukan dan disikapi secara berlebihan.
Menangkapi dan memperlakukan aktivis-aktivis kritis KAMI, apalagi dilakukan secara berlebihan, tak selayaknya dilakukan oleh aparat penegak hukum. Apa yang dilakukan para aktivis KAMI adalah sesuatu yang lazim dan bahkan niscaya di dalam alam demokrasi. Karenanya rezim yang berkuasa tak usah bersikap represif dan cenderung paranoid dalam menyikapinya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.