KH Abdullah Syukri Zarkasyi, sang Kiai Penggerak, oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku dan penyuka biografi tokoh.
PWMU.CO – KH Abdullah Syukri Zarkasyi adalah kiai bertipe penggerak. Pertama, riwayat hidupnya inspiratif sehingga bisa menggerakkan siapapun yang mencermatinya. Kedua, berdasarkan kesaksian murid-murid Almarhum, beliau memang berkarakter sebagai penggerak.
KH Abdullah Syukri Zarkasyi lahir di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1942. Almarhum putra kedua dari KH Imam Zarkasyi (akrab disapa Pak Zar)—satu dari tiga pendiri Pesantren Gontor.
Kakak tertua Abdullah Syukri Zarkasyi meninggal dunia saat masih kecil. Akibatnya, praktis almarhum langsung “berposisi” sebagai anak tertua dari adik-adiknya.
Sejak Abdullah Syukri Zarkasyi masih kecil, Pak Zar (1910-1985) dikenal sebagai ayah yang sangat sibuk. Seluruh pikiran dan tenaganya banyak digunakan untuk kepentingan Pesantren Gontor dan perjuangan umat Islam. Maka, saat kecil, almarhum relatif tidak punya banyak waktu untuk menikmati kebersamaan dengan sang ayah.
Kecuali sebagai pemimpin atau pengasuh Pesantren Gontor, Pak Zar bertugas di Madiun sebagai Kepala Kantor Urusan Agama. Saat Abdullah Syukri Zarkasyi berusia enam tahun dan terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, sang ayah lebih banyak tinggal di luar rumah untuk mengungsi atau bergerilya.
Setelah bertugas di Madiun, Pak Zar ditugaskan ke Jakarta dengan amanah di Kantor Urusan Agama Pusat. Saat itu Pak Zar bersama KH Wahid Hasyim dan yang lain. Menemani sang ayah, Abdullah Syukri Zarkasyi dan sang ibu juga pindah ke Jakarta.
Kisah Sepatu Bola
Sebagai putra “tertua”, Abdullah Syukri Zarkasyi banyak merasakan suka-duka kehidupan keluarga. Di masa-masa awal, ekonomi keluarga tergolong sederhana seperti halnya kebanyakan orang pada umumnya. Tidak berkecukupan tapi juga tidak terlalu kekurangan. Pakaian, makanan, dan tempat tinggal, semuanya sederhana.
Pakaian, misalnya, yang dikenakan Abdullah Syukri Zarkasyi tidak lebih baik daripada pakaian santri-santri pada waktu itu. Malah, banyak santri yang pakaiannya lebih baik.
Pernah Abdullah Syukri Zarkasyi meminta dibelikan sepatu bola. Ini dilakukannya karena dia pemain sepakbola. Sepatu yang terkenal enak saat itu, sepatu cuit, namanya. Tapi, karena sang ayah memang tidak punya uang untuk membeli sepatu saat itu, maka terpaksa harus menunggu beberapa bulan. Menunggu? Iya, sampai kedelai yang mereka tanam bisa dipanen dan terjual.
Abdullah Syukri Zarkasyi menamatkan Sekolah Dasar di Desa Gontor pada 1954. Setelah itu menjadi santri di Kulliyatu-l Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) Gontor. Dengan begitu, beliau secara “resmi” tinggal di dalam Pesantren Gontor bersama santri-sanri.
Tapi, kadang dipanggil ke rumah, yang satu kompleks, untuk melaksanakan beberapa tugas keluarga semisal membantu sang ibu mencari sayur, mengantarkan adik, membeli obat, dan lain sebagainya.
Memang, mengingat kondisi keluarga, Abdullah Syukri Zarkasyi harus banyak membantu orangtua. Kepada Abdullah Syukri Zarkasyi, sang ayah sering berpesan agar dia bersungguh-sungguh dalam membantu orangtua supaya nanti bisa menjadi wakil orangtua dan pemimpin minimal untuk adik-adiknya. “Kamu ini sudah besar, hendaknya kamu bisa memimpin adik-adikmu,” demikian nasihat sang ayah.
Matang bersama Pengalaman
Atas semua yang dialami, Abdullah Syukri Zarkasyi benar-benar merasa tertempa hidupnya. Banyak kenangan di masa mudanya, baru dirasakan arti dan manfaat dari semua itu ketika sudah dewasa.
“Saya merasa bersyukur pernah mengalami peristiwa-peristiwa di masa sulit seperti itu. Dengan begitu, saya juga tertempa untuk hidup prihatin dan sabar,” kata Abdullah Syukri Zarkasyi.
Hal lain, yang termasuk bagian dari tahapan menuju kematangan hidup, adalah perlakuan Pak Zar kepada santri Pesanten Gontor. Pak Zar tidak pernah membeda-bedakan antara santri yang satu dengan yang lain, termasuk terhadap anaknya sendiri. Bahkan, Pak Zar cenderung keras kepada anaknya sendiri.
Abdullah Syukri Zarkasyi pernah beberapa kali digunduli rambutnya karena melanggar disiplin Pesantren Gontor.
Pertama, Abdullah Syukri Zarkasyi digunduli karena pergi ke Ponorogo menonton perlombaan keroncong. Saat itu ada beberapa santri yang juga menonton. Hal itu, karena ada salah satu santri Pesantren Gontor yang diam-diam ikut perlombaan tersebut.
Kedua, Abdullah Syukri Zarkasyi digunduli karena berkelahi dengan seorang teman, santri asal Yogyakarta.
Ketiga, Abdullah Syukri Zarkasyi digunduli karena bersama teman-temannya pergi ke Cirebon menghadiri pertemuan Pelajar Islam Indonesia (PII) tanpa izin dari Pak Zar. Pada waktu itu, ada sekitar 50 orang yang digunduli.
Merasa Dikader
Ada kenangan-kenangan manis dari sang ayah, yang cukup mengesankan Abdullah Syukri Zarkasyi. Bahwa selama menjadi santri Pesantren Gontor, setiap kali ada tamu penting dari Jakarta, beliau selalu dipanggil Pak Zar ke rumah dan diperkenalkan kepada tamunya.
Kalau misalnya pas Abdullah Syukri Zarkasyi tidak sedang di tempat seperti biasanya, tetap akan diusahakan dicari. Alasannya relatif sederhana, yaitu Abdullah Syukri Zarkasyi diminta untuk menyajikan suguhan (penganan dan minuman) kepada si tamu.
“Ini, anak saya, Syukri. Sekarang sudah kelas …..,” demikian sang ayah memperkenalkan Abdullah Syukri Zarkasyi kepada tamunya. Tak selesai di situ, biasanya Abdullah Syukri Zarkasyi kemudian diminta bersalaman dan duduk di pojok belakang mendengarkan mereka berbicara.
Abdullah Syukri Zarkasyi masih ingat, yang pernah datang menjadi tamu antara lain adalah Fathurrahman Kafrawi (mantan Menteri Agama), KH EZ Muttaqin (pernah menjadi Ketua Umum MUI Jawa Barat dan Ketua MUI Pusat), dan Dr. Anwar Haryono SH (Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia setelah periode M. Natsir).
Dengan perlakuan atau cara sang ayah itu, Abdullah Syukri Zarkasyi menjadi banyak tahu apa yang mereka bicarakan. Padahal, saat itu beliau masih duduk di kelas 3 KMI Gontor atau setingkat kelas 3 SMP.
Sekolah, Sekolah!
Setamat dari KMI Gontor, Abdullah Syukri Zarkasyi harus melanjutkan sekolah. Kala itu, beliau menyerahkan sepenuhnya kepada sang ayah, Pak Zar. Kemudian, Pak Zar mengajak Abdullah Syukri Zarkasyi ke Yogyakarta untuk menemui Rektor IAIN Prof Dr Sunaryo. Di Indonesia saat itu baru ada dua IAIN yaitu di Yogyakarta dan Jakarta dengan rektor yang sama.
Dari pertemuan tersebut diperoleh kesepakatan bahwa lulusan KMI Gontor dapat masuk IAIN tanpa ujian. Abdullah Syukri Zarkasyi adalah lulusan Gontor pertama yang mengisi peluang tersebut. Beliau kemudian masuk IAIN Jakarta. Orang-orang sempat ribut, mengapa anak Gontor dapat diterima tanpa ujian, sementara yang lain tidak.
Abdullah Syukri Zarkasyi diterima di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1960. Almarhum berprestasi baik, nilai tidak mengecewakan sehingga pantas kalau diterima tanpa ujian.
Setelah mendapatkan gelar BA, gelar Sarjana Muda, pada tahun 1965, almarhum sempat kembali ke Gontor. Selanjutnya, almarhum meneruskan belajar di Mesir, di Al-Azhar.
Kala itu ada jatah satu orang untuk belajar ke Mesir dan itu diberikan kepada Nurcholish Madjid. Tapi, alumnus KMI Gontor itu sedang sibuk di HMI sehingga tidak bisa menerimanya. Jatah itu lalu ditawarkan kepada beberapa orang, juga tak bisa. Terakhir, Abdullah Syukri Zarkasyi mencoba memanfaatkan peluang itu setelah meminta pertimbangan Nurcholish Madjid.
“Tapi, Anda izin dulu kepada Pak Zar,” demikian saran Nurcholish Madjid kepada Abdullah Syukri Zarkasyi. Saran itu dikerjakan almarhum dan sang ayah mengizinkan.
Sayang, keberangkatan ke Mesir tertunda beberapa waktu karena di Jakarta terjadi pemberontakan PKI tahun 1965 dan disusul demonstrasi mahasiswa dan pelajar.
Almarhum baru bisa pergi ke Mesir pada awal 1967. Di Mesir beliau belajar selama 11 tahun di Universitas Al-Azhar. Gelar Lc didapat pada tahun 1976 dan gelar MA diperoleh pada tahun 1978, semua dari Al-Azhar. Sementara, gelar Doctor Honoris Causa pada 2005 diperoleh dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Aktivis di Banyak “Wilayah”
Di antara pengalaman berorganisasi Abdullah Syukri Zarkasyi, Pimpinan Pondok Modern Gontor (1985–2020) ini, adalah: Pengurus HMI Cabang Ciputat, Jakarta (1964); Pengurus HPPI, Pelajar Islam Kairo (1971); dan Pengurus PPI Den Haag, Belanda (1975).
Abdullah Syukri Zarkasyi antara lain pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ponorogo, Ketua Badan Silaturrahmi Pondok Pesantren Jawa Timur (1999–2020), Ketua Forum Silaturrahmi Umat Islam Ponorogo (1999–2020), dan Ketua MP3A (Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama Kementerian Agama (1999–2020). Juga, masuk di Dewan Penasihat MUI Pusat.
Pengalaman ke luar negeri Abdullah Syukri Zarkasyi, sangat banyak. Ke luar negeri, antara lain untuk menghadiri berbagai seminar dan Comparative Study.
Karya tulisnya, juga cukup banyak. Antara lain, “Pokok-Pokok Pikiran untuk Perubahan Pendidikan Nasional”, “Refleksi dan Rekonstruksi Pendidikan Islam: Model Pendidikan Pesantren ala Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo”, “Pola Pendidikan Pesantren; Sebuah Alternatif”.
Buku lainnya: “Strategi dan Pola Manajemen Pendidikan Pesantren”, “Optimalisasi Peran Sektor Pendidikan dalam Pengembangan Ekonomi Islam di Indonesia”, “Optimalisasi Peran Sektor Pendidikan dalam Pengembangan Ekonomi Islam di Indonesia: Pengalaman Pondok Modern Darussalam Gontor”, dan “Pendidikan Pesantren di Era Modern”.
Kiai Penggerak
Soal kiai penggerak disampaikan Kholili Hasib MA. Dia pernah mendapat kuliah langsung dari almarhum KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Pertama, saat dia sebagai peserta Program Kader Ulama (PKU) Gontor. Kedua, saat dia akan diwisuda sebagai lulusan S2 Universitas Darusalam Gontor. Kala itu, semua mahasiswa wajib mengikuti kuliah kepesantrenan selama dua hari penuh bersama KH Abdullah Syukri Zarkasyi.
Menurut Kholili Hasib, Kiai Syukri, demikian panggilan akrab beliau, sangat memberi penekanan disiplin ketika berceramah atau saat memberi kuliah.
“Kata-kata yang beliau sampaikan membakar semangat pendengarnya. Mendengar kuliah beliau bak mendengar seorang orator ulung. Setiap diksinya pasti ada penekanan motivasi. Beliau memang benar-benar kiai muharrik (penggerak),” kata Kholili Hasib.
Setelah mendengarkan ceramah dan kuliah beliau, lanjut Kholili Hasib, “Kita akan tergerak untuk maju, berkembang. Lari dan terus membuat kreasi-kreasi yang bemanfaat.”
“Guru itu jangan berharap-harap pada bayaran. Kamu ikhlas, maka muridmu menjadi hebat,” tutur Kholili Hasib mengutip pesan Kiai Syukri Zarkasyi.
Tak hanya di situ kesaksian Kholili Hasib. Dia menambahkan, ada rekan sesama lulusan Gontor yang menyatakan bahwa Kiai Syukri Zarkasyi adalah motivator terbaik. Pendek kata semua yang pernah menjadi murid beliau memiliki kesan yang sama.
Kesaksian bahwa Kiai Abdullah Syukri Zarkasyi adalah seorang penggerak, seorang motivator, dan seorang yang sangat bersemangat, sejalan dengan apa yang bisa kita lihat secara langsung.
Di sebuah video, terekam dengan jelas spirit kepejuangannya. “Pondok, jika ingin meniru Gontor, tirulah jiwa dan filsafat hidupnya serta tirulah disiplinnya. (Jika kemudian ada yang berkomentar bahwa) anak-anak itu jika diajari disiplin seperti Gontor tidak akan kuat, nanti akan keluar semua dari sekolah jika seperti itu. Biarlah! Daripada mendidik pemimpin-pemimpin yang setengah-setengah, lebih baik (mendidik) satu orang tapi yang satu itu sama dengan seribu,” kata Kiai Abdullah Syukri Zarkasyi.
Selamat Jalan, Ayahanda!
Ulama yang simpatik itu mendapat musibah sakit stroke sejak 2012 hinga wafat pada 2020. Saya bersama sejumlah walisantri berkesempatan bersilaturrahim kepada KH Abdullah Syukri Zarkasyi pada 2017, beberapa saat setelah kami menghadiri rangkaian acara kelulusan putra-putra kami di KMI Gontor.
Beliau menerima kami dengan ramah di atas kursi rodanya. Kami semua lalu dipersilakan menikmati jamuan makan.
Kiai Abdullah Syukri Zarkasyi adalah guru dari banyak santri. Beliau juga “ayah” dari banyak orang. Maka, sangat banyak yang berduka atas kepergiannya pada Rabu 4 Rabi’ul Awwal 1442 atau 21 Oktober 2020 pukul 15.50 WIB di Rumah Gontor.
Semoga ayahanda, Kiai Abdullah Syukri Zarkasyi, termasuk yang Allah panggil dengan mesra di QS Al-Fajr 27-30: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka, masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Dan, masuklah ke dalam surga-Ku. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.