Stempel Modernis dan Tradisionalis oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-NU maju karena menjadikan Muhammadiyah sebagai model gerakan pemajuan, pemodernan dan inklusivitas. Muhammadiyah berada di zona nyaman sebagai Islam berkemajuan, modern dan eksklusif.
Stempel modernis dan tradisionalis agaknya sudah tak lagi bisa dipatok. Atau dikurung dalam definisi yang rigid. Apalagi jika ukuran modern dan tradisional bertumpu pada simbol-simbol fisik dan gerak mekanik. Menafikkan yang substantif bahwa modern dan tradisional lebih pada cara berpikir, cara pandang atau state of mind.
Seratus tahun yang lalu mungkin celana, pantalon, dasi, sepatu pantofel bisa disebut modern. Benda itu berbanding terbalik dengan sarung, surban, terompah atau kopyah. Atau buku putih dengan huruf tulisan Latin Eropa lebih modern dibanding kitab kuning bertulis Arab gundul disebut tradisional.
NU pun disebut kaum tradisionalis sebab mengenakan sarung, surban, terompah dan atribut ndeso lainnya yang kemudian identik dengan kaum ndesit yang dianggap kolot, jumud dan tidak mau berubah. Tapi benarkah stigma ini?
Batasan simbolik itu sudah berubah seiring dengan gerak dialektik. Sunatullah tak bisa dibendung. Yang dulu disebut modern dan tradisional telah berubah dan menghapus garis batas. Sementara yang menabalkan diri sebagai modern bisa saja berubah tradisional, kolot dan jumud karena mengusung semangat eksklusivitas.
Belum ada kata pasti siapa yang pertama kali menyebut NU tradisional atau Muhammadiyah modern. Peneliti Mitsuo Nakamura dan Greg Barton juga tak bisa menjelaskan kenapa kedua gerakan Islam ini seakan mengambil posisi saling berhadapan.
Batas Modernis dan Tradisionalis
Batas-batas modernis dan tradisionalis itu kini sudah diterabas. NU sudah punya puluhan universitas, rumah sakit atau boarding school sebagai silmbol modernitas. Sebaliknja Muhammadiyah tak kalah gesit dengan membangun puluhan pesantren dengan berbagai variannya yang dulu dianggap tradisional.
Muhammadiyah sukses menjadi model gerakan Islam modernis. Membuka cakrawala pemikiran Islam yang luas dan menyandingkan pada budaya modern. Dengan begitu Islam menjadi setara. Tidak dipandang sebelah mata seperti sebelumnya. Gagasan Kiai Ahmad Dahlan dinikmati banyak orang. Proses dialektik sedang berlangsung natural sebab begitulah yang seharusnya.
Perbedaan fisik dan gerak mekanik makin menipis. Lantas apa yang tersisa dari perspektif modernitas dan tradisionalis itu? Bukankah keduanya sudah sama-sama pakai celana, dasi dan sepatu pantofel dengan merk yang sama, keduanya sudah sama-sama membaca buku putih dengan tulisan Latin Eropa. Bahkan gadgetnya juga sama-sama dari produk kafir.
Jadi apa yang diperdebatkan? Tentang nawaitu, qunut Subuh, bacaan sayidina atau tentang peringatan maulid? Kemudian saling membangun identitas sebagai atribut untuk membedakan. Yang baca ushali, qunut Subuh, yang memperingati maulid disebut tradisionalis? Sebaliknja yang meninggalkan disebut modern?
Dulu sekali, pelajar modern disebut student. Pelajar tradisional disebut santri. Tapi bisa saja sekarang malah berbalik. Menyebut student dianggap kemaruk atau keminggris. Jadi masihkah pakai stempel modernis dan tradisionalis? (*)
Editor Sugeng Purwanto