PWMU.CO – Kuliah Tauhid Din Syamsuddin: Beragama Harus Fundamental. Kajian bertema “Tauhid dan Peradaban Islam” dia sampaikan dalam webinar yang dihelat Panitia Pengajian Online RSUD Saiful Anwar Malang, Ahad (18/10/2020).
Webinar pengajian online diikuti 300-an partisipan Zoom Clouds Meetings. Terdiri dari para dokter dan tenaga medis RS Syaiful Anwar, dosen Universitas Brawijaya, serta peserta umum.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Dr Din Syamsuddin MA itu mengatakan, kata tauhid dan peradaban Islam menunjukkan hubungan relasi yang aktif. Bukan sekadar relasi yang pasif. “Maka tauhid adalah pangkal dan peradaban Islam adalah muara. Tauhid adalah hulu dan peradaban Islam adalah hilir,” jelasnya.
Tauhid. sambungnya, merupakan ajaran Islam yang sentral, pusat, dan menjadi dasar. Karena semua ajaran Islam dalam berbagai aspek itu pangkalnya adalah tauhid.
Trilogi Ajaran Islam
Menurut Din Syamsuddin, ajaran Islam oleh para ulama biasa disistimatika dalam trilogi. Seperti trilogi: akidah, syariah, dan akhlak.
“Atau bisa pada formula yang lain: akidah, ibadah, dan akhlak. Maupun varian yang lain, bisa juga: iman, Islam, dan ihsan, Dari berbagai trilogi ajaran Islam ujungnya adalah al-akidah atau keyakinan. Dan itu disebut tauhid,” katanya.
Dia menerangkan, tauhid itu ajaran Islam yang sangat dasar dan bersifat fundamental (mendasar). Bahkan pelakunya bisa fundamentalis. “Dalam beragama harus fundamental. Karena yang tidak baik itu seseorang yang ekstrimis atau melampaui batas dan itu yang dikecam oleh agama karena termasuk orang-orang yang tagha atau taghut.”
Tauhid sebagai Konsep Keesaan Allah
Pendiri Pondok Modern Internasional Dea Malela Sumbawa NTB ini menjelaskan, tauhid sebagai ajaran Islam yang dasar itu sering disebut sebagai konsep keesaan Allah. Dan Islam adalah agama yang paling konsekuen dalam menegakkan agama Allah.
“Seperti dalam surat al-Ikhlas, menegaskan bahwa Islam itu tidak bisa dibagi menjadi three in one atau two in one maupun tri tungga dan dwi tunggal. Karena memiliki konsep ahad,” jelsanya.
Din Syamsuddin menegaskan, Islam juga menekankan bahwa Allah itu berbeda dengan makhluk. Dan makhluk tidak bisa menjadi Tuhan. “Jangan sekali-kali makhluk mau menjadi Tuhan dan jangan sekali-kali makhluk dituhankan. Itu arti tauhid karena manusia tidak mungkin menjadi Tuhan,” ujarnya.
“Sebuah konsep dalam bahasa filsafat yang menekankan bahwa teologi Islam itu menjelaskan Sang Pencipta berada pada presepsi atau konotasi transedental,” kata Din Syamsuddin.
Konsep tersebut berarti menegaskan bahwa Allah berbeda dengan makhluk. “Ajaran tauhid menegaskan pangkalnya adalah monoteisme, berdasarkan ayat ‘Millata ibrahim… (baca mislanya al-Baqarah 135)’ Dalam sejarahnya Ibrahim AS sebagai Bapak Monoteisme dan dari Nabi Ibrahim AS tersebut lahir agama-agama samawi,” terang dia.
Tauhid, Pengesaan Allah Bersifat Aktif
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010 dan 2010-2015 itu menyampaikan, tauhid sering dipahami dalam prespektif yang pasif. Yaitu semata-mata berbicara tentang keesaan Allah. S diadopsi oleh Pancasila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Menurut dia, sebenarnya tauhid itu berbicara tentang pengesaan Allah bersifat aktif dari pada sekadar keesaan Allah yang bersifat pasif. “Pengesaan Allah berarti bagaimana mengesakan Allah dalam kehidupan. Bagaimana manusia berpikir dan berbuat untuk meng-esa-kan Allah,” terangnya.
Bagaimana mengesakan Allah merupakan sebuah kesadaran tauhid yang berona aktif. Bagaimana mengesakan Allah ini akan melahirkan peradaban. Melahirkan kehidupan yang tauhidi tidak sedikitpun keluar dari tauhid.
Dimensi Illahi dalam Kehidupan Manusia
Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu menjelaskan, dalam kehidupan manusia sering terjadi kesenjangan. “Oleh karena itu tauhid harus ditampilkan dalam kehidupan,” ujarnya.
Pada dasarnya, lanjutnya, manusia diciptakan dengan misi untuk menjaga bumi Allah (khalifah fil ard). Secara individual khalifah, dan secara kolektif membangun khilafah atau peradaban.
“Sebagai manusia dituntut untuk menunaikan misi mengemban amanah di bumi secara bersama-sama membangun peradaban,” jelasnya.
Dia menegaskan, membangun peradaban itu tugas seluruh manusia, bukan hanya orang yang beriman. “Namun secara khusus, umat Islam harus merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk kebaikan dan kemajuan peradaban manusia,” tegasnya. (*)
Penulis Firdausi Nuzula. Editor Mohammad Nurfatoni.