PWMU.CO – Sebagai jalan untuk mencapai derajat ketakwaan (muttaqin), seorang muslim diharuskan mengerjakan semua yang diperintahkan Allah Swt dan disunahkan Rasul-Nya. Seperti shalat dikerjakan setiap saat, puasa Ramadhan dan shalat Tarawih dijalankan sebulan penuh di setiap tahun, ibadah haji ditunaikan dan berkurban juga dikerjakan.
Namun, seorang muslim juga sepatutnya harus bertanya pada dirinya, apakah ibadah dan segala kesalehan yang dilakukan telah mengantarkannya pada derajat ketakwaan?. Sebagai langkah untuk muhasabah (introspeksi diri), setidaknya ada empat makna untuk mengukur derajat takwa dalam diri seseorang hamba. Pertama, bertakwa adalah sebuah usaha untuk mengejawantahkan sifat-sifat ketuhanan dalam kehidupan kemanusiaan.
(Baca: Menutupi Dosa saat Kita Berlumuran Kemaksiatan…dan Memberi Tak Harap Kembali: Kisah Nyata Ketika Din Syamsuddin Bertemu Seorang Ibu di Pesawat)
Jika Allah Swt itu Maha Sayang, apakah kita sebagai manusia juga telah menyayangi sesama manusia?. Jika Allah Swt itu Maha Mendengar, lantas sampai dimana letak kita bisa mendengarkan nasihat kebaikan dan atau mau mendengarkan celoteh anak kita saat ia bercerita?.
Kedua, bertakwa berarti munculnya komitmen untuk menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Sebagai seorang hamba, kita patut bertanya, apakah kita sudah menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya?. Kemudian memberikan perubahan dalam perilaku sosial dan kesehariannya?.
Jangan-jangan kita masih sering mengabaikan perintah-Nya dan sering melakukan larangan-larangan-Nya. Bila yang terakhir ini dilakukan, itu berarti kita belum masuk kedalam kategori orang yang bertakwa.
Ketiga, bertakwa dapat dimaknai sebagai upaya untuk selalu berhati-hati menjalani hidup. Suatu ketika, Abu Hurairah ditanya oleh seseorang, wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu? Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi.
(Baca juga: 3 Kunci Meraih Bahagia dan Inilah Amal yang Jadi Kebanggaan di Hari Akhir)
”Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?. Orang itu menjawab, apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur”. Abu Hurairah cepat berkata, itulah dia takwa! (HR Ibnu Abi Dunya).
Ibarat kita sedang mengendarai mobil atau sepeda motor, ketika lampu trafic light di depan kita menyala merah, maka kita pun harus berhenti dan jika telah berubah hijau, maka kita pun melanjutkan jalan kita. Jika tata aturan itu yang akan kita lakukan, maka Insya Allah hidup kita akan selamat.
Namun, berjalan dengan aturan yang ada kadang terasa tidak cukup, melainkan kehati-hatian tetap diperlukan. Seorang pengendara sepeda motor tidak cukup hanya berjalan di sebelah kiri jalan, karena sewaktu-waktu ia akan ditabrak oleh mobil lain. Ia pun juga harus berhati-hati dengan segala yang terjadi di jalan.
(Baca juga: Belajar dari Abu Nawas dan Penjual Sate danMeraih Kemabruran Haji)
Keempat, ”Ittaqillaha haitsu ma kunta. Bertakwalah kamu di manapun kamu berada,” kata Rasulullah. Atau, berdasar firman Allah Swt. ”Ittaqullah mastatha’tum, bertakwalah kamu kepada Allah sekuat-semampu kemampuanmu”.
Hingga di sini, bertakwa berarti menjaga perjalanan hidup ini senantiasa berada di jalur yang ditetapkan oleh Allah Swt dalam semua kondisi ruang dan waktu. Bila kita seorang pebisnis, maka kita patut menjalankan bisnis itu tetap berada dalam koridor aturan Islam. Kalau seorang birokrat atau pejabat, maka ia mesti amanah menjaga kejujuran, tidak korupsi dan manipulasi. Bila ia seorang guru, maka ia harus menjadi guru yang jujur, tidak korupsi waktu dan seterusnya. Wallahu a’lam bi al-shawab. [*]
Catatan: Bahrus Surur (Iyunk) Kepala SMA Muhammadiyah I Sumenep.