Sang Kiai Jawab Tuduhan Islam Jahat. Sebuah kolom yang menggambarkan dialog imajiner antara sang kiai dengan santri. Ditulis ditulis oleh Mulyanto—staf SD Muhammadiyah 4 Surabaya—sebagai refleksi memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1442.
PWMU.CO – Dalam suatu kesempatan, seorang santri bertanya kepada Kiai. “Kenapa masih banyak orang Islam yang tidak baik nggih, Kyai?”
“Tidak baik gimana maksudnya, Mas?”
“Inggih tidak baik, Kiai. Nyebelin. Masih jahat pada orang lain. Culas, sombong, dengki. Tidak jujur. Korup. Palsu. Akhlaknya tak terpuji. Suka marah. Dendam. Dan tak memberi kedamaian. Ngoten Kiai.”
“Mentang-mentang aku tak minta honor kamu bertanya kok senyamanmu saja, Mas… Mas… he-he-he. Tapi baiklah akan kujawab. Tapi tolong pertama-tama kamu harus istighfar. Jangan izinkan noda benci setitik pun hinggap di hatimu. Jangan merasa kamu baik karena sudah nemu oknum Muslim yang kamu tuduh jahat tak baik tadi.”
“Inggih Kiai. Astaghfirullahaladzim…”
“Jadi anakku. Islam itu artinya damai. Memberi keselamatan. Membawa keteduhan. Indah. Sejuk. Tenteram. Sentosa. Asri. Ramah. Nyaman. Itulah Islam. Kalau ternyata sebaliknya berarti itu bukan Islam. Atau Islamnya belum Islam,” jelas Kiai.
“Islam belum Islam niku nopo, Kiai?”
“Bisa jadi begini. Ia beragama (Islam) kalau sedang sedih. Mendapat kemalangan baru sadar kalau beragama. Dalam musibah dia mendadak jadi paling agamis. Berdzikir berdoa sampai nangis-nangis. Tapi giliran ada di masa digdaya, dalam senang dia seolah ateis tak punya agama. Lupa daratan. Lupa istighfaran. Jahat. Ingkar janji. Culas. Nyakiti. Dan lainnya. Begitulah.”
“Kok bisa begitu Kiai?”
“Bisa aja. Namanya juga belum dapat hidayah yang utuh dari Allah. Beragama hanya karena biar jelas kelak bila ia mati biar diselesaikan secara agama atau diarung di lautan. Sudah ya Mas. Aku ditunggu Bu Nyai untuk makan malam.”
“Mohon beribu-ribu maaf, Kiai. Saya belum puas. Kok bisa ya orang Islam tapi masih jahat. Masih palsu. Tidak menjaga perasaan orang lain. Sok. Angkuh. Sinis melihat junior atau orang yang dipandang masih di bawahnya tak dihargai. Kadang tak sopan tak santun. Akhlanya buruk. Masih suka menyakiti orang lain. Dan sebagainya.”
“Sambil jalan yuk Mas. Nanti sampai rumahku semoga kamu puas.”
“Inggih. Ngapunten loh Kiai!”
“Nggak apa-apa, Mas. Menurutku, orang Islam yang masih tidak baik itu berarti tidak mengikuti kanjeng Nabi Muhammad SAW. Mungkin mengikuti yang lain.”
Mestinya kita meneladani Rasulullah. Ikuti Nabi, Mas. Beliau sama musuh saja amat baik. Sama pengemis buta yang Yahudi saja baik. Menyuapi memberi makan. Padahal Nabi dinyinyirin dan dihina habis-habisan. Beliau masih baik. Akhirnya dipuja dirindu.
Nabi sungguh mulia. Beliau sudah dijamin surga saja masih shalat sampai lututnya bengkak berdarah. Katanya bentuk syukur terimakasihnya kepada Allah. Akhlaq Nabi masyaAllah sangat lembut. Lalu kalau kita jahat culas dll seperti katamu tadi lantas mengikuti siapa?”
“Tabiat bukan Kiai?”
“Bisa jadi. Tapi menurutku. Orang Islam harus menata hati berusaha keras sekeras-kerasnya, bersungguh-sungguh dalam beragama. Jiwailah beragama itu jangan hanya di bibir. Jiwai syahadatnya. Jiwai wudhu’mu.
Bagaimana mungkin kepala yang dibasuh wudhu minimal lima kali sehari tetap tak adem? Tetap memproduksi kedengkian, kesombongan, dan angkara murka, tak jujur. Bertindak seolah tak punya hati. Masih palsu dan lain-lain.
Apa tidak kau jiwai proses berwudhumu itu? Lalu berusahalah dengan sepenuh hati agar shalatmu benar. Bagaimana mungkin shalat yang melembutkan hati masih membuat hati masih berlaku jahat. Artinya ada yang nggak beres dalam shalatmu. Ini ya, Mas.”
“Masyaallah. Tabarakallah Kiai. Maturnuwun sanget.”
“Iya sama-sama. Sudah-sudah lepaskan jangan cium lama-lama begitu tanganku. Ini tangan masih sering berbuat dosa. Sudah-sudah.”
Mas santri seketika melepas tangan sang guru. Lekas-lekas tangannya dihimpun lalu diletakkan di bawah perutnya sendiri sembari sedikit membungkuk. Lalu sang guru menepuk pundaknya.
“Kamu jangan jadi Islam yang jahat ya Mas.”
“Bismillah, insyaallah, Kiai.”
Sang guru lantas berlalu. Si santri mematung di halaman ndalem (rumah) Kyai. (*)
…
Surabaya, 27 Oktober 2020
Editor Mohammad Nurfatoni.