Puisi Satire Ashma’ dan Sikap Rasulullah, kolom ditulis oleh: M Arfan Mu’ammar, Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo.
PWMU.CO – Kita tidak boleh lupa, bahwa puisi satire politik di wilayah Arab, khususnya pada masa itu, adalah senjata yang mematikan. (T. Andrae dalam bukunya Muhammad: The Man and His Faith).
Namanya Ashma’ binti Marwan, seorang Yahudi yang tinggal di Madinah kala itu. Ia berasal dari Bani Umayyah bin Zaid bin Hishn al-Khatmi.
Ketika Nabi Muhammad SAW sampai di Madinah, beberapa orang Yahudi menampakkan kebencian kepada beliau. Akan tetapi kebencian itu tidak bisa diwujudkan sebagaimana yang dilakukan orang Quraisy di Makkah, berupa intimidasi dan penindasan. Karena umat Muslim di Madinah sudah memiliki kekuatan, apalagi pasca-bersatunya Aus dan Khazraj.
Kebencian Ashma’ binti Marwan ini diungkapkan melalui sebuah puisi satire sebagai berikut:
Alangkah lemah Bani Malik, An-Nabit, dan Auf, pun Bani Khazraj,
Kalian patuhi orang asing yang asalnya dari selain kalian
Dia bukan berasal dari Murad, juga bukan dari Madzhij,
Kalian berharap darinya, usai membunuh pemuka kalian?
Sungguh ia seperti seseorang yang berharap kuah dari juru masak
Tidakkah orang yang masih punya kehormatan akan menyergapnya?
Sekaligus dia putuskan asa mereka yang berharap padanya?”
(Ibnu Hisyam, as-Sirah Nabawiyyah, Vol. IV hal, 285-286)
Sikap Rasulullah SAW
Ketika bait-bait itu sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda pada orang-orang di sekitarnya: “Tidak adakah yang mau menghukum anak perempuan Marwan itu untukku?” Umair bin Adi Al-khatmi mendengar hal itu, maka dia pun mendatangi Ashma’ di rumahnya pada malam hari dan membunuhnya.
Keesokan paginya, Umair mendatangi Rasulullah SAW dan mengabarkan: “Wahai Rasulullah aku sudah membunuhnya.”
Rasulullah menanggapi: “Kamu telah membela Allah SWT dan Rasulnya wahai Umair.” (baca Ibnu Hisyam, as-Sirah Nabawiyyah, Vol. IV hal, 286).
Saya sangat kaget melihat sikap Rasulullah SAW terhadap orang yang menghina Islam saat di Madinah. Umair merespon, membunuhnya, dan nabi pun mengapresiasinya. Sangat bertolak belakang dengan sikap beliau dengan orang-orang Quraisy ketika di Makkah.
Sikap Nabi di Makkah
Ketika di Makkah, Rasulullah lebih cenderung memilih diam dan tidak melawan sama sekali. Hinaan, intimidasi dan cercaan, hanya dibalas dengan senyuman.
Saat Abu Jahal meletakkan plasenta unta di punggung Rasul ketika beliau sujud dalam salat. Nabi tidak bergeming dan tidak bangkit dari sujudnya, hingga Fatimah datang membersihkan plasenta unta dari punggung Rasul, barulah setelah itu Rasul bangkit dari sujudnya. (Sirah Nabawiyyah Ar-Rahiq Al-Makhtum)
Abu Jahal melakukan itu dengan harapan agar Rasul marah, lalu melawan Abu Jahal. Ketika Rasul melawannya, Abu Jahal memiliki kesempatan untuk membunuh Rasul, dengan alasan bahwa Muhammad melawan salah satu penguasa Makkah ketika itu.
Namun apa yang terjadi? Rasulullah SAW sama sekali tidak marah. Beliau hanya melemparkan senyum kepada Abu Jahal. Abu Jahal sendiri sampai terheran-heran, manusia model apakah ini, sebegitu sabar dan mulia sifatnya.
Atau ketika Utaibah menyakiti Rasulullah SAW dengan merobek baju beliau kemudian meludah ke arah wajah beliau. Juga Uqbah bin Abi Mu’ith yang menginjak pundak beliau ketika Rasulullah SAW sujud dalam shalat. Hampir-hampir kedua biji mata beliau keluar lantaran menahan rasa sakit. (Mukhtasar as-Sirah Nabawiyyah, Abdullah An-Najdi).
Dan masih banyak lagi bentuk intimidasi dan penyiksaan yang dilancarkan oleh orang-orang Quraisy di Makkah kepada Rasulullah Saw beserta para sahabatnya.
Sangat bertolak belakang dengan sikap Rasulullah ketika di Madinah kepada orang-orang non-Muslim, dalam konteks ini adalah orang-orang Yahudi di Madinah.
Empat Riwayat Satire Ashma’
Saya coba mencari riwayat lain tentang kisah puisi satire Ashma’ binti Marwan. Ternyata ada empat riwayat lain yang menceritakan tentang puisi satire Ashma’ binti Marwan, selain riwayat di atas tadi. Mari kita simak satu persatu.
Yang pertama diriwayatkan oleh Al-Baladzuri, dijelaskan bahwa Ashma’ menyakiti Rasulullah SAW dan menghina Islam.
Ketika perkataan buruk Ashma’ sampai kepada Rasulullah SAW, Umair bin Adi berkata: “Demi Allah aku harus membunuhnya, begitu sudah kembali ke Madinah.”
Saat itu Umair sedang bersama kaum Muslimin dalam pertempuran di Badar. Setibanya di Madinah, Umair lantas meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk membunuh wanita Yahudi tersebut. Umair pun membunuhnya pada tanggal 25 Ramadan. (Al-Baladzuri, Ansab Al-Asyraf, vol. I, 373).
Kedua, kisah Ashma’ yang diriwayatkan oleh Al-Waqidi, bahwa ketika mendengar puisi Ashma’ yang memprovokasi permusuhan terhadap Rasulullah SAW, Umair bin Adi bernazar bahwa: jika Rasulullah SAW kembali dengan selamat ke Madinah, dia akan membunuh Ashma’. Setelah Rasulullah Saw kembali ke Madinah, Umair lalu mendatangi Ashma’ pada malam hari dan membunuhnya. (Al-Waqidi, Al-Maghazi, Vol. I, 173).
Riwayat yang ketiga disebutkan, ketika Rasulullah SAW mengumumkan bolehnya membunuh Ashma’ binti Marwan, seorang sahabat yang bernama Umair bernazar akan membunuhnya jika Rasulullah SAW kembali ke Madinah dengan selamat setelah perang Badar. Ketika Rasulullah Saw pulang dari perang Badar, Umair langsung mendatangi Ashma’ lalu membunuhnya. (Al-Halabi, As-Sirah Al-Halabiyah, vol. III, 145).
Riwayat yang keempat, diceritakan, ketika Rasulullah SAW bertanya: “Ridak adakah lelaki yang mau menangani perempuan ini untuk kemashlahatan kita?”
Umair menjawab, “Aku akan membereskannya”.
Kemudian Umair mendatangi Ashma’, seorang Yahudi yang merupakan penjual kurma. Saat dia berjalan, Umair memungut kurma satu kurmanya seraya bertanya: “Apakah kamu punya kurma yang lebih bagus?”
“Ada,” jawab Ashma’, sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya. Ketika dia akan mengambil kurma itulah, Umair menghampiri lalu memukul kepalanya hingga tewas. (Al-Halabi, As-Sirah Al-Halabiyah, vol. III, 145).
Dari kelima riwayat di atas, sekali lagi, kita bisa melihat perbedaan yang sangat signifikan, antara sikap Rasulullah terhadap non-Muslim selama di Makkah dengan sikap Rasulullah terhadap non muslim selama di Madinah.
Analisis Beda Sikap di Makkah dan Madinah
Ketika di Makkah, kaum Muslim masih minoritas, secara kekuatan masih kalah besar dengan orang-orang Quraisy. Walaupun perlawanan bisa dilancarkan, namun Rasul lebih memilih untuk tidak melawan.
Bahkan saking gergetan-nya para sahabat, sebagian sahabat yang masih muda-muda seperti Abdurrahman bin Auf sudah tidak sabar lagi untuk tidak melakukan perlawan kepada orang-orang Quraisy, seraya mengatakan kepada Rasulullah SAW: “Kami sewaktu masih musyrik dalam keadaan kuat dan mulia, tetapi begitu masuk Islam, kami menjadi lemah.”
Berbeda dengan kondisi di Madinah, Rasulullah dan kaum Muslimin cenderung sudah memiliki kekuatan dan banyak dukungan dari suku-suku di Madinah, utamanya dari Aus dan Khazraj. Apalagi peristiwa pembunuhan Ashma’ dilakukan setelah kemenangan kaum Muslimin di Perang Badar.
Perang Badar menjadi sebuah peristiwa yang melegitimasi bahwa kaum Muslimin saat itu tidak lagi lemah, tidak lagi boleh dipandang sebelah mata. Walhasil, setelah kemenangan Perang Badar dan pembunuhan Ashma’ binti Marwan, orang-orang Yahudi di Madinah tidak lagi berani memperlihatkan kebencian kepada Rasulullah dan kaum Muslimin di Madinah.
Ada pandangan yang cukup menarik sekaligus menjadi jawaban dari sikap Rasul terhadap Ashma’, yaitu pandangan dari David Samuel Margoliuth, seorang orientalis yang menulis buku Muhammad and the Rise of Islam.
Ia mengatakan, “Jika bait-bait puisi yang memprovokasi Islam penduduk Madinah untuk membunuh nabi Islam ini benar-benar gubahan Ashma’, maka membunuhnya tidak bisa dianggap sebagai tindakan kejam dengan standar apa pun. Bagaimanapun juga, kita tidak boleh melupakan bahayanya pengaruh hija’ (puisi satire) dalam masyarakat Arab. Pengaruhnya lebih kuat daripada senjata” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.