Dunia Tanpa Islam Tetap Ada Radikalisme oleh Prof Dr Ahmad Jainuri, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO-Buku yang dikutip dalam catatan akhir Memedi yang tidak Medeni A World Without Islam (Dunia Tanpa Islam) oleh Graham E. Fuller menyimpulkan, bahwa tanpa kehadiran Islam pun kekacauan yang disebabkan oleh ulah manusia akan terus berlangsung.
Radikalisme dan terorisme, yang dinilai sebagai biangnya, sejak manusia pertama sudah ada. Jadi, bukan setelah Islam muncul di dunia. Isu radikalisme dan terorisme terus berlanjut hingga era sekarang ini.
Ada upaya oleh pihak berkepentingan untuk melestarikan kekacauan ini. Konstruksi radikalisme dan terorisme diharapkan diterima oleh masyarakat jika labelisasi itu dikaitkan dengan Islam.
Istilah dan tindakan generik yang dilahirkan dari radikalisme dan terorisme terus dimunculkan. Seakan semuanya muncul dan berkembang dari ajaran Islam. Karena itu bagi mereka yang mengikuti madzhab ini bergegas untuk tidak menggunakan istilah kafir, jihad dan berusaha menggantinya dengan istilah sepadan yang berharap bisa diterima banyak orang.
Istilah baku yang disebutkan dalam agama (Islam) bukan untuk diganti istilahnya, tetapi sesungguhnya adalah bagaimana menggunakan istilah yang dimaksud. Penulis tidak pernah risi disebut ’domba yang tersesat’ apalagi menyuruh mengganti sebutan tersebut. Karena itu adalah istilah yang memiliki nilai tersendiri bagi tetangga saya yang berbeda agama.
Keberhasilan pihak berkepentingan merekayasa Islam dan muslim sebagai sosok intoleran, tidak menghargai nilai pluralitas, radikalis terbantahkan oleh dua figur perempuan yang kemarin diviralkan masuk Islam.
Silvia dan Sophie
Mereka adalah Silvia Constanza Romano, warga Italia, dan Sophie Petronin, warga Perancis. Dari surat Sophie Petrokin kepada Presiden Perancis Emmanuel Macron menggambarkan bahwa persepsi masyarakat Barat tentang Islam sangat bertolak belakang dengan pengalaman yang Sophie rasakan selama dia ditahan di Mali.
Perlakuan dan keseharian hidup masyarakat muslim Mali yang dia alami dan amati telah menggugurkan kesan jelek tentang Islam dan muslim. Karena alasan ini dia memeluk Islam, agama yang sebelumnya dia persepsikan sebagaimana kebanyakan masyarakat Barat pada umumnya.
Memang radikalisme dan beberapa bentuk kekerasan ditengarai dilakukan juga oleh sebagian muslim. Tetapi kebanyakan orang bahkan tidak mencoba memahami kenapa radikalisme itu muncul. Apakah kita mengira bahwa kita semua memiliki tanggung jawab tentang kondisi munculnya radikalisme seperti yang kita lihat ?
Radikalisme bukanlah murni berasal dari agama (Islam). Radikalisme muncul karena frustrasi akan kondisi geopolitik, reaksi terhadap ketidak-adilan. Demikian Graham Fuller menegaskan. Hal ini sesungguhnya sama dengan yang disampaikan oleh para ulama salaf bahwa radikalisme itu muncul karena dipicu oleh ketidak-adilan, tindakan represif, dan fitnah. Tiga hal inilah yang dulu dijadikan alasan oleh Amrozi dan kawan-kawan menyerang fasilitas pendukung kaum tiran.
Radikalisme muncul dalam situasi dan kondisi sosial politik yang sedang kacau. Radikalisme bukan cerminan Islam. Saran Graham Fuller, kalau ada tindakan radikal muslim, hal ini tidak mewakili keseluruhan umat Islam.
Semuanya hendaknya memahami kenapa hal itu dilakukan. Hal ini tidak berarti bahwa tindakan radikal yang mereka lakukan itu, yang menurut kita semua sebagai tindakan tidak terpuji, tidak berarti mereka tidak memiliki alasan untuk melakukan radikalisasi. Jadi dunia tanpa Islam, radikalisme terus berjalan.
Dalam konteks ini Graham Fuller sangat memahami jika tindakan radikal, teror dan sebagainya memiliki alasan yang kuat bagi para pelaku. Sebagaimana sebagian pengamat terorisme Barat yang lain, bagi semuanya, yang penting adalah mencari dan memahami akar masalah yang menyebabkan timbulnya tindakan radikalisme dan terorisme. (*)
Kota Lumpur 29/10/2020
Editor Sugeng Purwanto