Agama dan Korelasi Kemajuan Bangsa oleh Prof Dr Ahmad Jainuri, guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO–Kishore Mahbubani, seorang globalis menulisThe New Asian Hemesphere: The Irresistable Shift of Power to the East (2009). Ia seorang warga Singapura keturunan India.
Karya-karyanya menjadi bacaan penting bagi para penentu kebijakan nasional maupun internasional para penguasa di Barat. Demikian juga karyanya terdahulu Can Asians Think? (1998).
Kedua karya ini penting dibaca juga oleh warga keturunan Asia, termasuk Indonesia. Bagaimana bangsa pemeluk agama yang berbeda ini meniti kemajuan mereka di bidang ilmu dan keterampilan yang membawa kemakmuran ekonomi suatu bangsa.
Islam pernah muncul sebagai kekuatan peradaban dunia yang berintikan ilmu pengetahuan selama kurang lebih delapan abad. Temuan ilmu pengetahuan mereka bagikan kepada masyarakat dunia melalui pusat-pusat keilmuan di Baghdad, Kufah, dan Basrah maupun Cordova.
Ilmu yang ditemukan terbuka untuk dimanfaatkan oleh semua umat manusia. Berbeda dengan kecenderungan sebagian orang sekarang. Mereka yang menguasai dunia ilmu pengetahuan menutup sebagian temuan mereka untuk orang lain.
Di Barat, ada perguruan tinggi yang program studinya (PS) tidak bisa dimasuki oleh mahasiswa asing. Produk yang dihasilkan dijual dengan paket pengawasan yang sangat ketat terhadap pembeli/penggunanya. Bagi negara Barat produsen teknologi canggih, usaha ini merupakan cara agar Barat tetap menjadi kekuatan dunia.
Sekarang umat Kristiani, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu telah menguasai dunia ilmu pengetahuan. Umat Kristiani jaya saat era modern dan kolonialisme Barat.Tetapi kejayaan mereka ini bukan untuk berbagi dengan sesama tetapi untuk mengeksploitasi mereka yang lemah.
Kemajuan Asia
Selama penjajahan negara-negara Barat telah mengeksploitasi negeri jajahan. Memeras ekonomi rakyat untuk dibawa ke negara asal. Setelah kemerdekaan, negara bekas jajahan dibuat tetap tergantung pada negara bekas penjajah.
Apa yang dikatakan oleh Mustafa Guldag dalam mencontohkan Perancis memberikan ”kemerdekaan bersyarat” kepada 20 negara di Afrika menjadi negara bekas jajahan yang tetap terjajah hingga saat ini.
Kemakmuran Barat sampai sekarang berpangkal dari kecerdasan yang mereka miliki. Terkait dengan orang Asia sendiri Kishore Mahbubani mempertanyakan dalam bukunya, Can Asians Think? (Bisakah orang Asia itu Berpikir Cerdas?).
Dua jawaban ia berikan. Tidak dan ya. Fakta sejarah membuktikan jawaban ini. Ia menjawab tidak karena sejak era kolonialisme Eropa, terutama Revolusi Industri, negara-negara di Asia mengakui ketertinggalan mereka dengan Barat dalam kemajuan dan kemakmuran.
Sebagian mereka ini masih merasa memiliki mental terjajah hingga sekarang. Awalnya, para rejim penguasa di negara-negara Asia memang mengandalkan ketergantungan mereka pada negara-negara yang telah maju.
Tetapi kesadaran mulai muncul dari para elite di sebagian negara-negara Asia. Jawaban ya dari pertanyaan yang dikemukakan Kishore Mahbubani dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi di Timur Jauh sebagai bukti sekarang ini bahwa orang-orang Asia adalah cerdik dan pekerja keras.
Dalam hal ini kemajuan ekonomi yang dicapai Asia sekarang sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kemajuan berpikir. DalamThe New Asian Hemesphere: The Irresistable Shift of Power to the East, Koshore Mahbubani terkesan dengan kemajuan ilmu dan ekonomi di Jepang, India, dan China. Masing-masing mewakili penganut agama Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu.
Jepang sudah lebih dahulu mencapai kemajuan ilmu dan ekonomi setelah Perang Dunia Kedua. India memiliki kekuatan tenaga outsourcing yang menarik usahawan luar menanamkan kapitalnya di India.
China, siapa yang meragukan? Sekarang menjadi raksasa ekonomi dunia. Ketiga-tiganya memiliki kesamaan sebagai negara dengan penduduk besar.
Bagaimana dengan Indonesia yang juga memiliki jumlah penduduk yang besar. Akankah mengejar ketertinggalan dari mereka bertiga di negara yang sama-sama letaknya di Asia ini? (*)
Editor Sugeng Purwanto