Pak Julius, Berani Tunjukkan Keislamannya saat yang Lain Tiarap. Kolom ditulis oleh Awang Surya, Alumnus Fakultas Teknik Universtas Brawijaya Angkatan 1987.
PWMU.CO – Saya mengenal Pak Julius ketika kuliah di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang. Awalnya, saya mengira beliau non-Muslim, apalagi di belakang nama beliau juga tertulis “St”. Nama ini—lengkapnya: Ir Julius Setyopranoto MSI— mengingatkan pada seorang penyanyi berdarah Batak era 80-an, Julius Sitanggang.
Ternyata salah. Keliru. Beliau bukan hanya Muslim tapi seorang yang berani menunjukkan keislamannya di saat orang lain memilih untuk menyembunyikannya alias tiarap.
Pada era 80 sampai 90-an, suasana kampus sangatlah berbeda dengan sekarang. Kegiatan keislaman tidaklah semarak seperti saat ini. Jumlah mahasiswi yang mengenakan jilbab bisa dihitung dengan jari.
Untuk mengadakah pengajian saja kami harus sembunyi-sembunyi. Maklumlah, rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu memang menempatkan Islam sebagai kekuatan yang perlu diawasi.
Ucapan salam ‘Assalamualaikum’ amat jarang terdengar di lingkungan kampus. Beberapa dosen kurang suka kepada kami mahasiswa yang selalu mengucapkan ‘assalamualaikum’ ketika bertemu. “Koyo Islam-islamo dewe wae,” begitu kata mereka.
Pak Julius berbeda. Beliau adalah salah satu dari sedikit dosen yang selalu menyapa dengan kalimat ‘asalamualaikum’ ketika bertemu, lengkap dengan senyum ramahnya.
Mengapa perlu ditambahkan kalimat dengan senyum ramah? Bagi Anda yang berstatus mahasiswa era 80 sampai 90-an pasti tahu maksud saya. Saat itu hubungan mahasiswa dan dosen seperti polisi dan pesakitan. Istilah dosen sangar dan dosen killer begitu populer.
Tapi Pak Julius jauh dari kata itu. Pak Julius, sangat ramah kepada mahasiswa, satu hal yang tidak umum saat itu.
Di awal merintis kegiatan keislaman di kampus, seperti peringatan hari besar Islam dan shalat Tawarih, kami cukup kerepotan mencari narasumber dari lingkungan internal Fakultas Teknik. Pak Julius adalah salah satu dosen yang sering kami minta untuk mengisi acara.
Kami tidak segan menodong beliau karena sering bertemu di saat melaksanakan shalat berjamaah di musala Fakultas Teknik. Memang beliau rutin salat berjamaah, meskipun jarak antara musala Fakultas Teknik dengan Jurusan Teknik Elektro, tempat beliau mengajar, lumayan jauh
Dukung Pendirian ICMI
Sebelum tahun 1990, komputer adalah barang mewah. Hanya mahasiswa dari kalangan ekonomi atas yang memilikinya. Persewaan komputer ada beberapa, tentu saja harus membayar sewa untuk memakainya.
Kami, beberapa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan Islam, bersepakat untuk mengadakan komputer. Tapi sudah pasti terkendala dengan keuangan kami yang pas-pasan. Pak Julius memberi pertolongan. Beliau memberikan komputer milik keluarga beliau dan kami bayar secara mencicil setiap bulan.
Pada saat kami merintis berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), Pak Julius adalah dosen yang sangat mendukung kegiatan itu. Setiap bertemu dengan kawan-kawan yang terlibat dengan kegiatan itu beliau selalu menanyakan perkembangannya.
Dan, saat dilaksanakan Simposium Nasional Cendekiawan Muslim pada bulan Desember 1990—yang akhirnya melahirkan ICMI—Pak Julius terlibat aktif menjadi panitia.
Selamat Pak Julius, dosen kami, teladan kami. Segala kebaikanmu akan berbalas limpahan kebaikan dari Allah SWT. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.