Begini Pemilihan Presiden AS, Siapa yang Terpilih? Donald Trump-Mike Pance atau Joe Biden-Kamala Haris? Ternyata pemilihan Presiden AS tidak langsung seperti di Indonesia.
PWMU.CO – Selasa, 3 November 2020 akan menjadi hari puncak pemungutan suara pemilihan Presiden-Wakil Presiden Amerika Serikat (AS). Sebelumnya sebanyak 95 juta pemilih telah memberikan suaranya pada pemilihan dini—60 juta orang di antaranya menggunakan surat suara lewat pos.
Sebenarnya, seperti dilaporkan Kompas (Senin 2/10/2020) kali ini selain ada pemilihan presiden, di tingkat nasional juga ada pemilihan 435 kursi DPR dan 35 dari 100 kursi Senat.
Sementara di tingkat negara bagian dan pemerintah kota ada pemilihan 13 gubernur, anggota DPR dan Senat di sejumlah negara bagian dan kota, pemilihan jaksa, dan persetuuan peraturan daerah.
Tapi yang paling menarik dari sekian pemilihan itu adalah pemilihan presiden (capres). Saat ini ada 11 calon presiden. Tapi kali ini hanya ada tiga capres yang bisa berkuasa di Gedung Putih, karena ketiganya bisa ikut pemilhan di semua negara bagian.
Yaitu Donald Trump (Republik), Joe Biden (Demokrat), dan Jo Jogensen (Libertarian). Karena jaringan dan ketersediaan dana, maka kompetisi Trump-Biden paling disorot.
Capres lainnya hanya menjadi “penggembira” karena mereka hanya bisa mengikuti pemilihan di beberapa negara bagian. Seperti penyanyi Kanye West—suami aktirs Kim Kadashian—yang hanya bisa mengikuti pemlihan di 11 negara bagian dengan total 84 suara perwakilan. Sementara untuk bisa menjadi Presiden AS harus didukung 270 dari 538 suara perwakilan.
Bukan Pemilihan ‘Langsung’
Tidak seperti di Indonesia, pemilihan presiden di AS dilakukan secara tidak “langsung”. Presiden-Wakil Presiden dipilih oleh Dewan Elektoral yang beranggotakan 538 elektor.
Jumlah 534 itu berasal dari 100 orang yang dibagi rata yakni dua per negara bagian dan 435 orang dibagi secara proporsional berdasarkan jumlah populasi penduduk setiap negara bagian, dan 3 orang dari Washington DC.
Jadi berbeda dengan di Indonesia, di mana pemilih langsung memilih calon presiden. Dan suaranya diakumulasi secara nasional.
Sementara di AS suara rakyat berdasarkan negara bagian. Para capres bersaing mendapatkan suara Dewan Elektoral (Electoral College), yaitu para wakil yang akan meneruskan suara pemilih di setiap negara bagian.
Artinya, saat seorang pemilih memberikan suaranya untuk kandidat presiden, yang dia lakukan sebenarnya adalah memberikan suara untuk perwakilan Dewan Elektoral di tingkat negara bagian.
Dari 50 negara bagian AS, 48 di antaranya berlaku aturan “kandidat yang mendapat suara elektoral terbanyak otomatis menyapu bersih semuanya”.
Misalnya California, negara bagian terbesar dengan 55 suara elektoral. Capres yang mendapat 28 suara elektoral atau lebih di California otomatis menyapu bersih 55 suara yang ada. Aturan sapu bersih ini—mengutip BBC—tidak berlaku di negara bagian Maine dan Nebraska.
Karena besar negara bagian punya kecenderungan untuk berpihak kepada salah satu parpol, sehingga para capres lebih memfokuskan upayanya di negara bagian yang masih “mengambang” untuk memperbesar peluang menang.
Beberapa negara bagian masuk kategori mengambang. Istilahnya “battleground states” atau “swing states”. Di sini, suara Demokrat dan Republik relatif imbang dan menjadi medan pertempuran sengit. Contohnya adalah Ohio dan Florida.
Jadi—tidak seperti di Indonesia—kandidat yang mendapat suara terbanyak secara nasional di AS tidak secara otomatasi memenangkan pemilihan presiden.
Seperti Hillary Clinton yang unggul hampir 3 juta suara nasional dari Donald Trump pada pilpres 2016.
Tapi, Trump dinyatakan sebagai pemenang karena dalam suara elektoral dia unggul telak 304 berbanding 227.
Keunggulan suara Hillary Clinton banyak terkonsentrasi di negara bagian yang memang condong ke Demokrat seperti New York dan California, sementara Trump berhasil merebut swing states.
Siapa Pemenang Pilpres 2020?
Menurut sejumlah jajak pendapat, Trump tertinggal dari Biden. Misalnya jajak pendapat yang dilakukan Reuter/Ipsos 27-29 Okober yang mengunggulkan Biden 51 persen suara secara nasional dibanding Trump 43 persen suara.
Tapi karena kemenangan ditentukan oleh minimal dukungan 270 dari 538 anggota Dewan Elektoral, maka jajak pendapat seperti itu tidak menjadi gambaran utuh pemilihan presiden di AS—yang berlangsung empat tahun sekali dan selalu digelar pada Selasa pertama setelah Senin pertama bulan November.
Pada 2016, misalnya, semua jajak pendapat memenangkan Hillary Clinton. Tak ada satu pun yang memenangkan Donald Trump, bahkan Fox News sekalipun yang berafiliasi ke Trump. Tapi karena Trump berhasil merebut suara elektoral secara telak—meski perolehan suara nasional kalah—maka ia yang akhirnya terpilih jadi presiden.
Tapi menarik membaca data yang disajikan Kompas (Selasa, 3/11/2020) yang mengutip jajak pendapat RealCearPolitics. Dalam jajak pendapat per negara bagian itu Joe Biden-Kamala Haris memenangi suara elektoral dengan 350 dibanding Donald Trump-Mike Pance yang hanya mendapatkan 188 suara elektoral.
Dari peta di atas akan terlihat di mana dominasi kedua kandidat. Warna biru tua menunjukkan dukungan yang solid pada Biden-Haris. Biru muda menunjukkan kecondongan dan warna biru yang lebih mudah lagi adalah kemungkinan.
Demikan juga dengan warna merah adalah negara bagian yang dukungan pada Trump-Pance solid. Orange kecondongan, dan warna merah transparan kemungkinan mendukungnya. Warna-warna yang lebih muda itulah yang disebut swing states tempat pertempuran perebutan suara para kandidat.
Lalu siapa yang akan menang? Kita tunggu saja hasilnya—yang mungkin tidak bisa secepat empat tahun lalu karena kali ini sebagian besar suara diberikan melalui pos. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni (dari berbagai sumber).