Mohammad Natsir Bapak NKRI. Ditulis oleh Ustadz Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur; penulis buku-buku inspiratif.
PWMU.CO – “NKRI harga mati!” teriak para milenial penuh semangat. Sayangnya, anak-anak muda itu banyak yang tidak tahu siapa sebenarnya arsitek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mereka bela dan teriakkan itu.
Seperti kita ketahui, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, namun Belanda belum rela melepasnya. Maka pada 29 September 1945 Belanda datang lagi ke Indonesia dengan meboncang pasukan sekutu.
Belanda ingin Indonesia menjadi wilayah persekemakmurannya. Pada 10 Nopember 1946, Republik Indonesia dan Belanda mengadakan perjanjian Linggarjati. Salah satu poin perjanjian itu Indonesia dan Belanda sepakat membentuk negara serikat bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan RIS akan diwujudkan sebelum 1949.
Maka Van Mook—wakil Belanda di Indonesia— mendekati toloh-tokoh lokal yang bisa diajak mendirikan negara bagian. Pada Desember 1946, Negara Indonesia Timur (NIT) menjadi negara bagian pertama yang berdiri dengan dukungan Van Mook.
Setelah itu berdiri negara-negara bagian lain. Misalnya Negara Dayak Besar, Borneo Barat, Borneo Tenggara, Borneo Timur, Banjar, Bengkulu, Riau, Sumatra Timur, Madura, Jawa Timur, Pasundan, Jawa Tengah, Belitung, Sumatra Selatan, sampai berjumlah 16 negara bagian. Maka berdirilah Republik Indonesia Serikat dengan Perdana Menteri Moh. Hatta.
Berbagai perundingan diadakan antara Republik Indonesia dan Belanda. Ada perjanjian Linggarjati, Renville, Roem-Royen dan akhirnnya perjanjian Meja Bundar.
Dari perjanjian Meja Bundar ini Belanda mengakui kedaulatan Indonesaia. Pada 27 Desember 1949 Ratu Juliana dan Moh Hatta menandatangani naskah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) kecuali Irian Barat.
Mosi Integral Natsir
Mohammad Natsir melihat, sebenarnya rakyat ingin bergabung dengan pemerintah pusat. Natsir dan Hamengku Buwono IX—atas permintaan Hatta—lalu menjajaki keinginan rakyat itu. Natsir juga melakukan lobi intensif dengan semua fraksi di Dewan Perwakilan Sementara RIS. Melalui pendekatan yang telaten dan intensif, akhirnya fraksi-fraksi tidak keberatan atas gagasan Natsir tentang Negara Kesatuan.
Maka pada 3 April 1950 Natsir tampil di podium sidang paripurna Parlemen RIS, menyampaikan pidato bertajuk Pembentukan Negara Kesatuan. Natsir meminta pemerintah segera mengambil langkah mewujudkan negara kesatuan sesuai kehendak nyata rakyat—dikenal dengan pidato Mosi Integral Mohammad Natsir (pidato lengkap Mosi Integral bisa baca buku : “Biografi Mohammad Natsir, Kepribadian, pemikiran dan Perjuangan, tulisan Lukman Hakiem).
Sungguh tidak mudah bagi Natsir menyampaikan pidato itu karena Belanda terus memelototi perkembangan negara RIS. Maka Natsir harus bisa memilih susunan kalimat yang pesannya jelas yaitu membentuk nagara kesatuan tetapi pilihan kalimatnya ada yang disamarkan.
Pada HUT Republik Indonesia kelima, 17 Agustus 1950 Presiden Bung Karno mengumumkan lahirnya NKRI. Dalam pidatonya dia menyatakan, “Hari ini 17 Agustus 1950 berdirilah kita sudah atas bumi negara kesatuan yang tidak mengenal negara bagian dan tidak mengenal RIS melainkan hanya mengenal satu Republik Indonesia saja, dengan satu daerahnya, satu undang-undang dasarnya, satu pemerintahnya.” (ada yang mengatakan ini semacam Proklamasi Indonesia kedua).
Bung Karno kemudian menunjuk Natsir menjadi perdana menteri. Menurut Mohammad Roem Bung Karno tertarik kepada Natsir karena pengembalian kepada NKRI telah dilakukan Natsir dengan cara yang bermartabat dan menyenangkan. Natsir menerima amanat itu sebagai tanggung jawab politik—konsekuensi dari pidato Mosi Integralnya.
Dalam periode 1950-1951 sebagai perdana menteri, pemerintahan Natsir telah menorehkan banyak prestasi. Antara lain peraturan tentang pendidikan agama di sekolah. Adanya kebijakan itu membuat keluarga Muslim tidak ragu memasukkan anaknya ke sekolah umum. Hanya selang 20 hari sesudah kabinet Natsir dibentuk, dia berhasil membawa Indonesia diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Setelah Natsir tidak menjabat, Bung Karno ingin Natsir tetap masuk dalam kabinet yang akan dibentuknya. Tetapi Natsir menolak. Bung Karno protes. “Tidak bisa Natsir berhenti. Lebih baik 10 menteri berhenti daripada seorang Natsir,” begitu cara Bung Karno merayu Natsir.
Namun Natsir tetap pada pendiriannya. Dia menolak karena Natsir—dan juga Agus Salim—tidak setuju Irian Barat tidak ikut diserahkan Belanda dalam Konfrensi Meja Bundar. Menurut Natsir hal itu di belakang hari bisa menjadi masalah (baca republika.co.id).
Melihat pentingnya keutuhan NKRI dan jasa besar Natsir melalui Mosi Integralnya, maka kiranya tidak berlebihan andaikan tanggal 3 April ditetapkan sebagai Hari NKRI dan Mohammad Natsir sebagai Bapak NKRI. Seperti 1 Juni juga telah ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Tulus dan Sederhana
Sekalipun Natsir telah melakukan sesuatu yang monumental untuk negeri ini, namun hidup Natsir dijalanai dengan banyak kesulitan dan tekanan.
Pada zaman Bung Karno dia ditahan. Pada masa Orde Baru dia terbelenggu. Tidak boleh ke luar negeri dan tidak bisa melakukan kegiatan politik. Dia termasuk anggota Petisi 50. Namun semua itu tidak melunturkan ketulusannya membantu ketika pemerintah butuh pertolongan.
Pernah suatu hari Ali Murtopo dan LB Moerdani ingin bertemu dengan Tengku Abdurrahman di Malaysia. Mereka menjadi utusan Pak Harto untuk merintis normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Tetapi utusan itu ditolak. Maka dengan membawa surat dari Natsir mereka akhirnya diterima. Saat itu Natsir masih meringkuk dalam tahanan Orde Lama. Pintu hubungan dengan Malaysia akhirnya tersambung kembali
Pada kali lain Pak Harto mengadakan kunjungan ke Jepang untuk memperoleh bantuan ekonomi. Tetapi gagal medapat bantuan. Pak Natsir saat itu dicekal Orde Baru, tidak boleh pergi ke luar negeri. Namun dengan tulus dia bersedia membantu. Natsir punya hubungan sangat baik dengan Perdana Menteri Jepang Tokeo Fukuda. Natsir lalu mengirim telegram agar Jepang bersedia membantu dengan Pola Marshal Plan. Jepang setuju.
Natsir juga pernah meminta kepada Arab Saudi dan Kuwait bersedia membantu Indonesia. Padahal saat itu Natsir tokoh Muslim tingkat dunia dicekal Orde Baru, tidak boleh ke luar negeri, termasuk ke Timur Tengah. Natsir dilarang menghadiri World Muslim Congres, World Muslim League, sidang-sidang yang diadakan Dewan Masjid Sedunia.
Natsir juga pernah menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Malaysia (1991), namun Natsir tidak boleh pergi menerimanya. Ketulusan Natsir membantu negeri ini sering membuat hati terharu. (baca: 100 Tahun Mohammad Natsir, Berdamai dengan Sejarah, Hal. 164)
Natsir pernah menjadi perdana menteri dan tiga kali jadi menteri. Ketika jabatan sebagai perdana menteri berakhir, Natsir pergi ke istana untuk menyerahkan mandat kepada Presiden. Dia menyetir sendiri mobil dinasnya. Sedangkan sopirnya diminta naik sepeda mengikutinya dari belakang.
Selesai menyerahkan mandatnya, Natsir merasa sudah tidak lagi sebagai pejabat. Maka mobil dinasnya dia tinggalkan. Lalu mantan Perdana Menteri itu pulang berboncengan naik sepeda ontel dengan sopirnya.
Ini pelajaran penting bagi pejabat yang tidak mau menyerahkan fasilitas dinas meskipun tidak lagi menjabat. Ada orang yang tidak mau melepaskan rumah dinas yang ditempati. Malah diberikan kepada anaknya. Ada yang tidak mau mengembalikan mobil dinas. Dan akhirnya diambil paksa oleh satpol PP.
Pejabat yang demikian harga dirinya jatuh di bawah harga mobil dinasnya. Barang dinas adalah amanah. Ketika lepas dari jabatan maka harus dilepaskan juga fasilitasnya karena itu bagian dari amanah. Belajarlah tentang amanah dari Mohammad Natsir.
Natsir tiga kali menjadi menteri dan pernah menjadi perdana menteri.. Namun dia tidak punya rumah. Ketika keluar dari tahanan Orde Lama Natsir mengontrak rumah kecil semi permanen ukuran 4×4 meter di sebuah gang. Anak-anaknya dititipkan tidur di rumah famil karena rumahnya tak cukup.
Beberapa tahun kemudian baru bisa membeli rumah dengan cara menyicil di Jalan Cokoroaminoto 46. Ketika beliau wafat, menurut penyair Taufik Ismail, anak-anaknya tak mampu membayar pajak rumah itu. Akhirnya dijual. (Sekarang Anies Baswedan, Gubernur Jakarta membebaskan pajak rumah para pahlawan agar tidak memberatkan).
Selain dikenal tulus Natsir juga dikenal hidup sangat sederhana sampai hari tuanya. Dia tak malu memakai jas bertambal karena tidak punya yang lain. Juga dengan baju yang di sakunya ada bekas tinta. Ini membuat sejarawan George Mc Turnan Kahin kagum dan menaruh hormat tinggi kepada Natsir.
Kepada mereka yang mangaku murid dan anak ideologi Natsir ingatlah kesederhanaan Natsir ini. Jangan sampai menjadi politisi serakah yang berlomba mengumpulkan harta. Politisi busuk dan politisi kutu loncat atau pejabat aji mumpung.
Kepada pengagum Natsir yang suka bicara kasar, emosional dan menyakiti orang lain, ingatlah Natsir selalu besikap lembut dan bicara santun kepada siapapun.
Natsir akhinya memang mendapat gelar pahlawan seperti keinginan banyak orang. Itu diberikan setelah penantian amat panjang. Diberikan pada periode Presiden SBY. Padahal jasanya pada republik ini sangat nyata. Natsir sendiri tidak pernah menyebut-nyebut yang telah dilakukan untuk negeri yang dicintai ini. Tidak juga mengharap penghargaan apapun.
Pejuang sejati selalu berkata, “Aku tidak berharap balasan dari kalian, tidak juga berharap ucapan terima kasih.” (al-Insan 9) (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan Mohammad Natsir Bapak NKRI ini kali pertama dimuat di majalah Matan Edisi 172, November 2020. (*)