Siti Baroroh Baried, Profesor Wanita Pertama yang Tak Lupa Kodratnya, ditulis oleh Iis Muala Wati, Mahasiswi Program Pendidikan Ulama Tarjih (PPUT) di Universitas Muhammadiyah Malang.
PWMU.CO – “Sudah jangan sekolah tinggi-tinggi, kamu itu perempuan, nanti juga ke dapur.” Kira-kira begitulah yang sering diucapkan oleh beberapa orang tua, ketika ada anak perempuannya jika ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sekarang memang sudah zaman modern, tapi bukan mustahil masih ada orang yang berpikiran tradisional seperti tergambar dari kutipan di atas.
Maka, orang seperti itu perlu membaca biografi Prof Hj Siti Baroroh Baried, wanita Indonesia pertama yang menyandang guru besar alias profesor—jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi.
Beliau memegang teguh prinsipnya, yakni “hidup saya adalah menuntut ilmu.” Amat disayangkan jika wanita zaman sekarang ogah-ogahan mengasah pikiran, apalagi hanya pandai memakai make up tebal dan menghabiskan uang.
Siti Baroroh lahir di Yogyakarta pada tanggal 23 Mei 1923, putri H. Tamim bin Dja’far. Sedangkan Dja’far adalah adik Siti Walidah alias Nyai Ahmad Dahlan. Dengan kata lain Siti Baroroh merupakan cucu keponakan Nyai Ahmad Dahlan.
Pernikahan Antarkeluarga
Siti Baroroh menikah dengan dr Baried Ishom. Pada masa itu pernikahan antarkeluarga biasa terjadi di Kauman Yogyakarta. Begitupun yang terjadi dengan Siti Baroroh. Dia dinikahi dr Baried, anak Ishom dan Siti Busyro. Sedangkan Siti Busro merupakan putri KH Ahmad Dahlan dengan Nyai Walidah.
Siti Baroroh mewarisi tradisi keilmuan dari keluarga besar Kiai Fadhil—ayah Siti Walidah. Anak-anak Kiai Fadhil, termasuk Dja’far (kakek Siti Baroroh) sudah sangat terbiasa dengan tradisi ilmu.
Semangat inilah yang diwarisi oleh Siti Baroroh. Dia adalah perempuan Kauman yang menuntut ilmu di sekolah formal dengan busana khasnya. Bahkan saat menimba ilmu di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (UGM) ia tetap setia dengan jarik kebaya dan kerudungnya. Tampilan luar boleh tradisional, tapi pemikiran Siti Baroroh sudah jauh lebih modern melampaui zamannya.
Siti Baroroh memutuskan kuliah di Universitas Al Azhar Kairo Mesir, setelah lulus dari UGM dan Universitas Indonesia (UI) pada 1952. Dia ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu di manapun.
Kita bisa bayangkan pada zaman itu ada perempuan yang sekolah di luar negeri. Bukankah hal yang amat langka
Perempuan Pertama di PP Muhammadiyah
Prof Hj Siti Baroroh Baried bukan hanya tercatat sebagai profesor perempuan di Indonesia—dia diangkat sebagai Guru Besar UGM pada 27 Oktober 1964. Tapi dia juga menorahkan sejarah sebagai perempuan pertama yang menjadi anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, yaitu pada masa kepemimpinan KH Junus Anis (1956–1962).
Dengan demikian, sejarah mencatat, sejak itu perjuangan untuk memasukkan perempuan dalam jajaran pimpinan Muhammadiyah telah dimulai dengan kesadaran, bahwa perspektif perempuan sangat dibutuhkan dalam berbagai produk kebijakan pimpinan dan itu akan terpenuhi jika ada perempuan dalam jajaran tersebut.
Hal yang terjadi pada era KH Junus Anies terulang kembali pada era Ketua Umum Prof Dr Haedar Nashir MSi pada periode 2015–2020 dengan masuknya Dra Noordjannah Djohantini MSi dalam PP Muhammadiyah.
Prof Siti Baroroh Baried lah yang mengawali pemikiran perlunya perempuan masuk dalam jajaran pimpinan Muhammadiyah. Namun, sepertinya hal tersebut masih menjadi perjuangan yang tidak mudah bagi perempuan.
Siti Baroroh Baried merupakan akademisi sekaligus aktivis yang berkontribusi dalam mengembangkan potensi wanita. Selain itu, dia adalah seorang tokoh Aisiyah yang memperkenalkan ormas perempuan itu ke dunia internasional. Caranya dengan mengajak kerja sama organisasi internasional seperti Unicef, The Asia Foundation, World Conference of Religion and Peace, dan lainnya.
Ia juga kerap memperkenalkan kerja Aisyiyah di dunia akademik intenasional seperti dalam seminar di Harvard University, Amerika Serikat.
Saat itu Sit Baroroh Baried menyampaikan materi mengenai Aisyiyah and The Social Change Woman of The Indonesian. Tentu saja hal tersebut memberi efek positif bagi Aisyiyah yang pemikirannya mulai dikenal oleh dunia internsaional.
Siti Baroroh Baried menjadi Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Aisyiyah selama lima periode, tahun 1965-1985. Jadi dia menjabat menjadi nakhoda organisasi perempuan Muhammadiyah itu selama 20 tahun.
Ketika memimpin Aisyiyah, hak bagi perempuan merupakan prioritas perjuangannya. Baginya, pendidikan adalah hak bagi perempuan guna meningkatkan harkat dan martabat.
Karena itulah selama masa kepemimpinannya, Aisyiyah melakukan pengembangan terhadap pendidikan pra sekolah, antara lain: Taman Kanak-Kanak (TK) Aisyiyah alias Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA), sekolah menengah, sekolah-sekolah kejuruan kebidanan dan keperawatan, bahkan pendidikan tinggi.
Tidak kurang dari 5000 amal usaha pendidikan yang dikelola oleh Aisyiyah saat ini tidak bisa terlepas dari pemikiran para tokoh awal Aisyiyah, khususnya Siti Baroroh Baried.
Dia sangat konsen terhadap pendidikan kaum perempuan. Menurutnya, perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki dalam hal kesempatan menuntut ilmu—sebagaimana dibiasakan oleh keluarga besarnya.
Emansipasi Tak Lupa Kodrat Wanita
Namun, jika menyangkut persoalan emansipasi Siti Baroroh Baried berpendapat, mempertahankan kodrat perempuan sesuai apa yang ada dalam al-Quran adalah emansipasi yang tepat.
Karena itu Siti Baroroh Baried melakukan banyak pemberdayaan kepada wanita melalui Aisyiyah. Salah satunya dengan memberikan konsep keluarga sejahtera dengan mendorong ibu rumah tangga untuk memperkaya diri dengan kegiatan positif.
Bagi Siti Baroroh Baried, seorang perempuan bisa diterima untuk memiliki karier di luar rumah. Akan tetapi, tidak boleh lalai terhadap kodrat sebagai wanita, khususnya sebagai istri dan ibu dari anak-anak yang memiliki tanggung jawab dalam urusan internal rumah tangga.
Perempuan yang bekerja di luar rumah juga perlu memiliki batasan-batasan tertentu. Seperti halnya harus seizin suami, tidak lalai mengenai pendidikan dan perhatian untuk anak-anak, dan lain sebagainya.
Setinggi dan sebesar apapun pencapaian yang diraih seorang perempuan dalam berkarier, ia tetap menjalani peran sebagai istri sekaligus ibu dengan sebaik-baiknya.
Saat ini memang sudah banyak wanita-wanita hebat yang menerapkannya, tapi itu adalah pemikiran Siti Baroroh Baried—seorang pejuang wanita yang wafat pada 9 Mei 1999 di usia 74 tahun. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.