Kisah Anak Desa Zainuddin Maliki Wujudkan Mimpi Besar. Profi Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PAN ini ditulis oleh Ria Pusvita Sari, Guru SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik.
PWMU.CO – Pergi ke luar negeri adalah cita-cita masa kecil Zainuddn Maliki (66), Anggota DPR RI Fraksi PAN dari Dapil X Jatim, Lamongan-Gresik. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, Zainuddin kecil punya mimpi pergi ke luar negeri. Ia mengetahui tentang luar negeri dari hasil membaca.
Di kemudian hari, cita-citanya itu pun terwujud. Saat menjadi mahasiswa, Zainuddin telah keliling ASEAN, mengikuti diskusi pemuda di Malaysia dan Singapura. Keberhasilannya itu dipengaruhi nuansa hidup yang penuh suka duka.
Saat Usia Sekolah Dasar
Zainuddin Maliki menempuh pendidikan dasar tahun 1960 di sebuah madrasah ibtidaiyah yang sederhana. Dindingnya terbuat dari bambu. Lantainya tanah, sehingga ia bisa menjumlah hitungan dengan kakinya. Sekolah itu dibangun oleh masyarakat setempat. Tanahnya merupakan wakaf dari neneknya, di Desa Tanen Rejotangan, Tulungagung.
Putra pasangan Syahri dan Siti Muawanah itu mengetahui tentang luar negeri dari membaca. Ia mengaku baru bisa membaca kelas IV sekolah dasar.
“Waktu kelas III saya minta ke orang tua saya diantar ke sekolah, tidak mau naik kelas IV karena belum bisa baca. Sampai di sekolah diberitahukan orang tua, guru saya gak mau. Kata guru saya, kalau belum bisa baca ya belajar,” kisahnya melalui WhatsApp Call, Rabu (1/4/2020).
Usai kejadian tersebut, Zainuddin kecil akhirnya belajar membaca didampingi orang tuanya di rumah. Ia masih ingat betul, bacaan kali pertama kali bisa ia baca. Sebuah buku cerita berjudul Terpijak olehnya Pecahan Kaca.
Sejak itu, Zainuddin kecil mulai suka membaca. Ia selalu membaca tulisan apa pun yang ia temui. Ada sobekan kertas di jalan, ia ambil, lalu dibacanya.
Minat baca yang sangat kuat itu membuatnya menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Karena lokasi sekolah dekat dengan rumah neneknya, Zainuddin kecil membaca semua buku di perpustakaan. “Habis pulang, makan, shalat, balik lagi ke sekolah baca buku,” ungkapnya.
Tak Ada Alasan untuk Tidak Sekolah
Saat SD, Zainuddin mengaku tertarik dengan hiburan orang desa, yaitu nonton wayang kulit. Kala itu, sangat jarang seseorang menggelar wayang kulit. Hanya orang kaya yang punya hajat. “Nah saya gak mau terlewatkan itu, nutuk sampe pagi, semalam suntuk. Pulang ngantuk,” kenangnya.
Waktu berangkat sekolah tiba. Karena susah dibangunkan, sebab masih mengantuk, Zainuddin pun disiram air menggunakan gayung. “Disiram gitu aja di tempat tidur. Akhirnya berangkatlah saya ke sekolah,” kisahnya.
Pria kelahiran Tulungagung, 7 Juli 1954 itu mengatakan, ibunya mempunyai prinsip ‘tidak ada alasan untuk tidak sekolah’. Hal itu, kata dia, karena ibunya telah merasakan akibat jika seorang anak tidak sekolah.
Ibunya sudah yatim sejak kecil, sehingga diasuh neneknya, yang masih berpikiran tradisional. “Perempuan itu paling-paling ya macak, masak, manak.Gak boleh sekolah. Nah ibu saya kan patuh, jadi gak sekolah,” ujarnya.
Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur tahun 2008-2016 itu melanjutkan, ibunya menyesal setelah dewasa dan mengetahui teman-temannya yang sekolah menjadi sejahtera hidupnya. Ada yang menjadi pegawai, ada juga yang menjadi guru. Sementara ia miskin.
Ganti Siram Anaknya
Pengalaman disiram air oleh ibunya itu, membuat Zainuddin cukup disiplin terhadap anak kandungnya. Pernah suatu hari, putranya tidur saat guru les matematika datang.
Ingat dirinya pernah disiram air oleh ibunya, Zainuddin pun menyiram putranya tersebut. Jika dulu Zainuddin tidak marah saat disiram air, putranya justru sebaliknya.
Putranya tak mau dibilang pemalas. Ia ingin sukses, pintar, dan kaya. Namun tidak melalui Matematika, tapi dari Bahasa Inggris. Karena itu, ia tak pernah absen jika waktunya les Bahasa Inggris.
“Kalau Matematika bikin orang kaya, mestinya yang kaya itu kan guru saya. Nyatanya di skeolah saya itu, satu-satunya guru yang gak punya mobil itu guru Matematika,” ujar Zainuddin menirukan putranya.
Menjadi Mahasiswa selama Tiga Menteri
Didikan menuntut ilmu yang keras dari orang tuanya, membuat Zainuddin menanamkan pentingnya sekolah di pikirannya, walaupun membutuhkan biaya yang tidak mudah. Saat mahasiswa, ia mengaku selalu meminta keringanan penundaan pembayaran SPP.
Akibatnya, ia menjadi mahasiswa selama tiga menteri, yaitu Menteri Agama Abdul Mukti Ali, Alamsjah Ratoe Perwiranegara, dan Munawir Sjadzali. Pernah, hasil ujian skripsinya ditunda karena ia belum membayar SPP. “Padahal sudah ujian akhir. Setahun kemudian saya baru bisa bayar Rp 8 ribu waktu itu, ujian saya nilainya hangus, suruh kuliah ulang,” kisahnya.
Akhirnya, Zainuddin berhasil lulus dan menjadi pegawai negeri. Namun ia tak berhenti membaca buku. Bahkan, buku koleksinya jauh lebih banyak dari pada temannya yang menjadi dosen.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Program Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair). Selama kuliah itu, ada saja pihak yang membantu membiayai, bukan beasiswa. Dia mengisahkan, saat ia bertugas sebagai staf humas di Departemen Agama, ia banyak menerima tamu kunjungan.
Salah satu tamu yang sering ia layani adalah Direktur Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan. Karena tertarik dengan hobi membaca dan semangat sekolah Zainuddin, sang tamu tadi pun memberikan bantuan biaya pendidikan, tanpa diminta. “Ada aja yang ngasih, sehingga lulus S2,” ungkapnya.
Bahkan, Zainuddin berhasil sebagai lulusan terbaik tahun 1996 di Ilmu Sosial Unair. Karena lulus terbaik, Zainuddin mendapat beasiswa program doktor sampai selesai tahun 2002 oleh Unair.
Hobi Membaca dan Menulis Dukung Karir
Zainuddin diangkat menjadi Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) pada tahun 2002. Ia kemudian mengumpulkan kembali tulisannya selama kuliah, lalu mengeditnya, dan menjadikan buku.
Tak tanggung-tanggung, buku-bukunya itu diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press. Ada juga beberapa buku yang diterbitkan oleh penerbit buku di Yogyakarta. Termasuk thesis dan disertasinya.
Hobi membaca dan menulisnya itu mengakibatkan ia dapat menerbitkan banyak buku yang akhirnya mendapat angka kredit. Angka kreditnya itu bisa untuk mendapatkan gelar guru besar.
Tahun 2003 ia diangkat menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya hingga 2012. Tahun 2019 ia terpilih menjadi anggota DPR RI.
Ia mengaku tak pernah terpikir menjadi anggota DPR RI. Namun sebelumnya ia pernah menjadi anggota DPR propinsi saat zaman orde baru, masa transisi. “Terus 2019 itu diperintah oleh PWM Jatim untuk maju jadi caleg, akhirnya saya jalankan, lalu terpilih,” ungkapnya.
Baginya, tugas menjadi anggota DPR itu tidak mudah. Ia mengatakan, tugas tersebut harus dijalankan penuh rasa tanggung jawab karena mewakili suara rakyat, sedangkan rakyat kita pada umumnya masih tertinggal. Baik pendidikannya, maupun ekonominya.
“Sehingga kemudian taraf hidupnya masih sangat tertinggal. Ini harus diperjuangkan. Mendesak, mendorong, agar pemerintah memikirkan rakyat memiliki pendidikan yang baik, rakyat memiliki kesejahteraan yang baik. Nah itu tidak mudah,” paparnya.
Kisah Kerja Keras Zainuddin Maliki
Hidup di tengah himpitan kemiskinan yang tidak mudah, membuat Zainuddin terbiasa bekerja keras. Menurutnya, salah satu jalan keluarnya adalah melalui pendidikan, sekolah yang sungguh-sungguh, dengan segala cara.
Dia bercerita, saking miskinnya, keluarganya pernah mengalami ‘hari ini makan apa’. Jangankan besok, makan apa hari ini pernah dialami satu keluarga. Ia merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara.
Saat menempuh kuliah di Surabaya, tepatnya ketika momen Idul Adha, ia pernah mengalami kekurangan makanan. Tidak ada satu pun makanan. Uang juga tak punya.
Ketika itu sempat terbersit dalam pikirannya, kalau setelah shalat Ied ia pergi ke Masjid Al Falah, maka akan dapat nasi bungkus. “Maka saya bisa terbebas dari kelaparan. Dapat nasi bungkus, kemudian bantu nyembelih daging kurban,” kisahnya.
Namun pikiran itu tak dilakukannya. Ia sadar, jika niatnya salah. Datang ke masjid ingin membantu menyembelih hewan kurban atau mencari nasi bungkus. “Saya pikir niat saya sudah gak bener. Niat saya mau cari nasi bungkus, bukan bantu nyembelih kurban,” tegasnya.
Menurutnya, jika ia datang ke masjid untuk mencari nasi bungkus, apa bedanya dengan orang yang dapat kupon lalu menunggu pembagian di masjid. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak tetap di rumah, memilih kelaparan.
Kejadian tersebut ternyata berulang pada momen Idul Adha di tahun berikutnya. Entah bagaimana Allah mengatur semuanya. Ia bisa makan setelah mengumpulkan kertas-kertas yang tidak terpakai, lalu dijual. Dapatlah nasi sepiring.
Pengalaman hidup yang keras itu mendorongnya untuk selalu kerja keras dan sekolah dengan sungguh-sungguh supaya bisa hidup lebih baik.
Pelajaran kerja keras itu juga diperoleh dari orang tuanya. Ia dididik untuk tidak boleh tidak sekolah dan selalu sekolah dengan segala daya dan upaya. Bahkan orang tuanya rela gali lobang tutup lobang untuk membayar SPP, sampai lulus.
Hal itu membuatnya berpikir jika orang tuanya yang di desa, tidak pernah sekolah tapi bisa menyekolahkan anaknya, masa dia tidak bisa menyekolahkan anaknya sampai sukses.
Ciri Negara Maju
Melihat pendidikan di Indonesia saat ini, Zainuddin mengatakan pemerintah masih kurang serius. Pasalnya, gaji guru masih rendah, sarana pendidikan belum bagus merata serta sulit mendapatkan bahan-bahan bacaan.
Sementara di Malaysia, kata dia, gaji guru cukup memenuhi. Sekolahnya merata bagus-bagus. “Dulu orang Malaysia belajar ke Indonesia. Sekarang orang Indonesia belajar ke Malaysia,” kritiknya.
Tak hanya itu, lanjutnya, Universitas Indonesia (UI), perguruan tinggi terbaik di Indonesia, menempati peringkat 296 tingkat dunia pada 2019 kemarin. Malaysia mempunyai lima perguruan tinggi yang peringkatnya di atas UI. “Jadi pendidikan kita ketinggalan. Kalau bangsa Indonesia ingin maju, maka harus serius ngurusi pendidikan,” tuturnya.
Zainuddin mengatakan, negara yang maju itu bukan negara yang kaya sumber daya alam dan penduduknya banyak. Tapi, kata dia, negara maju itu yang pendidikan dan mentalnya baik.
Oleh karena itu, ia mengatakan ada negara yang penduduknya sedikit, sumber daya alamnya sedikit, tapi sangat maju. Mereka hidup sejahtera dengan peradaban yang bagus.
Ia menyayangkan, Indonesia dengan sumber daya alam yang banyak, terbang dari Sabang ke Merauke enam jam baru sampai karena luasnya, tapi mengapa kalah maju. “Karena pendidikannya belum bagus. Oleh karena itu kita harus sungguh-sungguh memperbaiki pendidikan,” tegasnya.
Baginya, kisah KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan semangat ingin memperbaiki nasib bangsa Indonesia melalui iman dan ilmu yang luas dapat menjadi contoh sebuah amal yang baik. “Amalnya itu harus didasari pada keimanan dan ilmu supaya kemudian menjadi bangsa Indonesia yang berkemajuan. Itu melalui pendidikan,” kata dia.
Akhirnya, ia mengatakan Muhammadiyah menjadi organisasi yang maju karena serius mengurusi pendidikan di samping usaha-usaha yang lain, seperti kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan lain-lain.
Zainuddin menyayangkan mayoritas umat Islam di Indonesia masih ada di lapisan bawah, belum bisa menjadi elit. Memang Indonesia mayoritas agamanya Islam, namun kata Zainuddin, dari sepuluh orang terkaya di Indonesia, sembilan di antaranya bukan Islam. “Oleh karena itu nasib umat Islam tidak kunjung membaik,” ungkapnya.
Harapan Besar untuk para Pendidik
Meski demikian, ia menaruh harapan besar kepada semua guru di Indonesia, khususnya di sekolah dasar. Menurutnya, pendidikan yang sangat menentukan itu sekolah dasar. “Mengapa disebut sekolah dasar, karena memberi dasar, memberi basic,” tegasnya.
Oleh karena itu, kata dia, sesungguhnya dari sekian jenjang pendidikan itu yang paling menempati posisi strategis adalah pendidikan dasar bahkan PAUD, karena memberikan basic education. “Kalau dasarnya kuat, maka selebihnya akan baik,” ujarnya.
Ia berharap guru-guru dapat bekerja profesional, penuh dengan kompetensi untuk memberikan basic education. Karena itu, Zainuddin menegaskan pemerintah harus memperhatikan pendidikan anak-anak SD kita.
“Beri sarana yang baik, beri guru-guru kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya, lalu mendidik anak-anak secara profesional sehingga anak-anak Indonesia memperoleh basic education yang baik,” tuturnya.
Baginya, belajar yang baik itu sejak usia dini. Karenanya, Zainuddin berharap guru dan orang tua segera menemukan potensi yang dimiliki anak didiknya.
Ia mengatakan, pendidikan yang bagus bukan berangkat dari kurikulum, tapi dari potensi dan minat anak, serta dari watak bawaaannya. Ia menambahkan, kalau potensi dan minatnya dikenali lebih dini, lalu dikembangkan sejak dini, maka akan menjadi anak yang berhasil.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur tahun 2010-2020 itu meyakini setiap anak pasti mempunyai minat dan potensinya masing-masing, tidak bisa disamaratakan. “Oleh karena itu mengenali per indovidu siswa itu penting, lalu memberi mereka motivasi untuk belajar sejalan dengan minat dan potensi yang dimilikinya. Watak anak juga harus dikenali guru supaya bisa mendidik dengan tepat,” paparnya.
Kepada semua guru, Zainuddin mengingatkan, ada anak yang belajar efektif sambil bermain, bergerak, bahkan teriak-teriak. Namun ada juga anak yang baru bisa belajar dengan baik kalau sambil melihat, mendengar, dan lain-lain.
Menurutnya, guru juga perlu mengenali cara belajar anak. “Kalau guru benar-benar mengenali, maka bisa mengembangkan seluruh potensi anak didik kita, baik potensi kognitif, afektif, psikomotoriknya,” kata dia.
Anak Indonesia Bermimpi Besar
Untuk anak-anak Indonesia, Zainuddin berpesan harus punya mimpi besar. Ia meyakinkan, Allah akan memberi seperti apa yang dimimpikan, dibayangkan oleh hambaNya. “Kalau mimpinya besar ya akan diberikan oleh Allah. Jadi harus punya cita-cita besar, mimpi besar,” tuturnya.
Dari situ, kata dia, Allah akan memberi jalan untuk mewujudkan mimpi besarnya. Tugas anak-anak, lanjutnya, belajar dengan sungguh-sungguh, tidak boleh mengeluh. “Jangan kemudian kehilangan semangat untukmengembangkan diri meraih cita-cita. Harus mau kerja keras,” tegasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tuisan ini kali pertama dimuat oleh Majalah Cikal Edisi 24, terbitan SDMM, berjudul Prof Dr Zainuddin Maliki MSi Wujudkan Mimpi dengan Belajar dan Kerja Keras.