Jika Joe Biden Menang, Ini yang Bakal Terjadi ulasan oleh Batara R. Hutagalung, pengamat politik internasional dan peminat sejarah.
PWMU.CO-Penghitungan suara Pemilu di Amerika Serikat sedang berlangsung. Kandidat Partai Demokrat Joe Biden hingga hari ini, Kamis (5/11/2020) WIB mengumpulkan 264 electoral college. Sedangkan Donald Trump 214. Tinggal 6 electoral Biden melangkah ke Gedung Putih menjadi Presiden AS.
Jika Joe Biden menang, politik Amerika terhadap RRC tidak akan berubah drastis. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan Biden sehubungan dengan RRC.
Biden pernah menjabat sebagai wakil presiden selama 10 tahun di masa Presiden Barrack Obama 2009 – 2017. Sangat paham dengan lika-liku politik luar negeri, termasuk terhadap Cina.
Biden telah sering mengungkap sikapnya terhadap Cina, apabila terpilih menjadi presiden Amerika. Kalau dia tidak ingkar janji, dipastikan di masa kepresidenannya, Amerika akan tetap keras terhadap Cina.
Di masa lalu, Indonesia pernah memiliki pengalaman buruk dengan Amerika dan RRC. Di masa Perang Dingin. Bahkan tanggal 1 Oktober 1966 Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan RRC karena keterlibatan RRC dan Partai Komunis Cina dalam peristiwa G30S/PKI.
Sejarah Berulang
Di masa Perang Dingin antara blok komunis di bawah Uni Soviet melawan blok anti komunis di bawah Amerika Serikat, masing-masing kubu berusaha menarik negara-negara di luar pakta pertahanan mereka untuk masuk ke kubu mereka.
Sejarah berulang kembali. Amerika Serikat sekarang berusaha untuk menarik Indonesia ke kubu Amerika, dan menjauhkan dari Cina. Hal ini sangat terlihat dari pidato Menlu Mike Pompeo di depan perwakilan ormas Islam yang diselenggarakan oleh GP Ansor pada 29 Oktober lalu.
Tanpa tedeng aling-aling, Pompeo mengatakan bahwa Partai Komunis Cina yang berlandaskan atheisme adalah ancaman terbesar terhadap kebebasan beragama. Dia memberi contoh perlakuan pemerintah Cina terhadap kaum muslim Uighur di Xinjiang.
Pernyataan ini merupakan pesan kepada pemerintah Cina yang langsung ditanggapi oleh pemerintah Cina dan menuduh Pompeo melakukan provokasi.
Laut Cina Selatan
Konsep awal dari Presiden Cina Xi Jinping yang semula diberi nama One Belt One Road (OBOR) telah menunjukkan ambisi Cina untuk memengaruhi perekonomian dunia, dengan RRC menjadi pusatnya.
Seiring dengan bangkitnya menjadi kekuatan ekonomi dunia, RRC mulai unjuk gigi kekuatan militernya. Cina terlibat dalam konflik perbatasan dengan India, memperkuat tekanan terhadap Taiwan, dan menunjukkan ambisinya untuk menguasai Laut Cina Selatan (LCS) dengan tidak mau mengakui perjanjian internasional UNCLOS.
Tidak tertutup kemungkinan, sengketa wilayah di LCS/Laut Natuna Utara akan bereskalasi menjadi konflik bersenjata. Apabila hal ini terjadi, maka ini telah ’diramal’ oleh Samuel Huntington hampir 30 tahun yang lalu.
Setelah Perang Dingin berakhir tahun 1991, Huntington menulis esei dengan judul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Benturan Peradaban dan Memperbarui Tatanan Dunia. Dia memprediksi, setelah hancurnya imperium komunis Uni Soviet dan sekutunya, peradaban dunia Barat akan berbenturan dengan dunia Islam dan Cina.
Apabila sengketa wilayah di Laut Cina Selatan/Laut Natuna Utara terjadi, Indonesia harus menunjukkan sikap yang tegas. Apakah akan mempertahankan kedaulatan teritorial NKRI melawan ambisi Cina, atau menyerah tanpa perlawanan.
Suka atau tidak, Indonesia yang secara geopolitik sangat penting untuk Amerika dan Cina. Kini telah masuk ke pusaran pertarungan antara Amerika dengan Cina. Dalam sengketa di Laut Cina Selatan/Laut Natuna Utara, Indonesia harus memilih, apakah akan berada di pihak Amerika dan sekutunya menghadapi Cina atau akan berada di kubu Cina melawan Amerika dan sekutunya.
Indonesia harus memilih antara the lesser of two evils. Yang lebih kecil dari dua kejahatan. (*)
Editor Sugeng Purwanto