Operasi Intelijen di Perang Khandaq dijalankan Nu’aim bin Mas’ud memasuki barisan pasukan Ahzab menyebarkan intrik. Hasilnya luar basa.
PWMU.CO-Nu’aim bin Mas’ud adalah orang dari Bani Ghatafan di Mekkah. Saat Perang Ahzab terjadi, dia baru masuk Islam. Tapi dia belum mengumumkan keislamannya itu kepada keluarga dan teman-temannya. Dia orang tepercaya di kaumnya dan di kalangan orang Yahudi.
Kitab Sirah Nabawi Ibnu Hisyam menerangkan, dalam perang Ahzab, kepungan pasukan Sekutu terhadap kota Madinah yang berjalan hampir sebulan membuat keadaan umat Islam kekurangan bahan makanan. Jumlah pasukan Sekutu mencapai sepuluh ribu orang. Terdiri dari semua kabilah Mekkah dan sekitarnya. Pasukan Islam sebanyak 3.000 orang.
Orang Yahudi Bani Quraidhah yang terikat perjanjian dengan Nabi Muhammad hidup berdampingan di Madinah ternyata berkhianat dengan membelot ke pasukan Sekutu. Bersyukur, musuh yang telah mengepung kota tak berani menyerang karena terhalang oleh galian parit.
Pasukan Ikrimah bin Abu Jahal yang nekat menyerang, begitu melintasi parit langsung dihujani anak panah hingga kocar-kacir lantas mundur lagi. Parit gagasan Salman Farisi itu membuat pasukan muslim mampu bertahan. Sebaliknya pasukan Sekutu frustrasi karena mengepung hampir sebulan kota Madinah belum menyerah. Tak terjadi perang terbuka seperti diinginkan. Logistik mereka juga kian menipis.
Di tengah situasi bertahan itu dalam kepungan itu, Rasulullah saw memanggil Nu’aim bin Mas’ud. Rasulullah menyampaikan siasat lalu menugasi dia untuk masuk ke dalam barisan Ghatafan, Quraisy, Yahudi Bani Quraidah. ”Laksanakanlah rencana ini, Nu’aim. Dalam perang itu ada siasat,” tutur Rasulullah menjelaskan siasat intelijen.
Dengan mantap Nu’aim menerima tugas operasi intelijen itu. Dia berhubungan baik dengan Bani Quraidhah, Quraisy, dan kaumnya sendiri, Bani Ghathafan. Mereka juga belum mengetahui keislamannya.
Menyusup ke Yahudi Quraidhah
Dia mulai menjalankan operasi intelijen. Pertama dia diam-diam menyusup ke barisan Yahudi Bani Bani Quraidhah. Menemui pimpinannya, Ka’ab bin Sa’ad, dan teman-temannya.
”Kalian semua mengetahui selama ini kita berhubungan baik. Betapa aku mencintai kalian,” kata Nu’aim kepada pimpinan Bani Quraidhah. Dia juga menjelaskan situasi dalam perang ini makin susah.
”Kami percaya. Kami tidak curiga kepadamu,” jawab Bani Quraidhah.
Lalu Nu’aim melanjutkan misinya. ”Sebenarnya orang-orang Quraisy dan Ghatafan situasinya berbeda dengan kalian. Madinah negeri kalian. Di sini tempat harta dan anak istri kalian. Sedangkan harta dan istri-istri orang Quraisy dan Ghatafan di kota masing-masing,” ujarnya.
Dia mengatakan, pengepungan sudah berjalan lama. Orang Quraisy dan Ghatafan mulai kehabisan bekal. Kuda-kuda dan unta-unta mereka semakin kurus karena rumput di sekitar Madinah telah habis. ”Sebentar lagi mereka pasti pulang, sementara kalian ditinggalkan sendiri menghadapi Muhammad dan pasukannya,” katanya.
”Mengapa kalian sampai mengkhianati Muhammad? Bukankah kalian mengetahui dia sangat jujur dan setia? Ia pasti akan membela kalian jika kalian dalam kesulitan seperti yang tertera dalam perjanjian di antara kalian dan Muhammad,” tandas Nu’aim lagi.
Dia menerangkan, posisi barisan Bani Quraidahah terjepit. Pasti tidak akan mampu menghadapi Muhammad dan pasukannya kalau saling berhadapan.
Orang Yahudi mulai terpengaruh. ”Apa yang harus kami lakukan?” tanyanya.
”Minta sandera dari pihak Quraisy dan Ghatafan sebagai jaminan mereka tidak pulang dan terus berperang. Jangan kalian mau disuruh menyerang sebelum sandera-sandera dari pihak Ahzab ada di tangan kalian,” jawab Nu’aim. Bani Quraidhah setuju gagasan itu.
Pasukan Ahzab Mulai Terpecah
Dia tinggalkan Bani Quraidhah, kemudian diam-diam Nuaim mendekati perkemahan Bani Ghatafan dan Quraisy dalam waktu berbeda untuk operasi intelijen berikutnya. Dia ceritakan pembicaraannya dengan Bani Quraidhah kepada kaumnya dan orang Quraisy.
”Sebenarnya Bani Quraidhah menyesal telah memusuhi Muhammad. Mereka enggan meneruskan pertempuran. Hati-hati, mereka akan minta sandera kepada kalian. Padahal sandera itu akan diserahkan kepada Muhammad, agar Muhammad memaafkan perbuatan mereka,” kata Nu’aim.
Mendengar itu pemimpin Ghatafan dan Quraisy jadi mencurigai Bani Quraidhah. Abu Sufyan, pemimpin Quraisy, mengutus Ikrimah untuk menyampaikan surat kepada Ka’ab bin Sa’ad, pemimpin Bani Quraidhah.
Isi suratnya, kami sudah lama tinggal mengepung Madinah. Unta dan kuda sudah ada yang mati. Logistik berkurang. Karena itu mari segera perang. Kalian segera menyerang Muhammad dari belakang sebab posisi kalian tak terhadang parit. Ketika penjagaan parit longgar, kami menyusul serang dari depan. Kita perang hingga mengalahkan Muhammad dan kita selesaikan masalah kita dengannya.
Ka’ab membalas surat itu. ”Hari Sabat kami tidak berperang atau bekerja apa pun. Kami tidak berani melanggar hari Sabat. Karena takut murka Tuhan seperti pernah terjadi pada kaum terdahulu yang melanggar hari Sabat mendapat musibah.
”Cari hari Sabtu lain saja sebagai pengganti Sabtu besok,” balas surat Abu Sufyan dengan jengkel. ”Muhammad sudah harus diserang. Kalau kami mulai menyerang, sedang kamu tidak turut, persekutuan kita bubar. Maka kami bisa serang kalian lebih dahulu sebelum Muhammad.”
Untuk menjamin pasukan Sekutu tak menyerang seperti ancamannya dan meninggalkan perang, Bani Quraidhah meminta jaminan orang Ghatafan dan Quraisy masuk ke bentengnya. ”Kami khawatir jika kalah perang kalian pulang meninggalkan kami sendiri berhadapan dengan Muhammad.”
Mendapat permintaan itu, pasukan Ahzab membenarkan informasi Nu’aim. Orang Quraisy dan Ghatafan menolak menyerahkan jaminan sandera. Mendapat jawaban begitu Bani Quraidhah makin yakin pasukan Sekutu bakal meninggalkan mereka menghadapi pasukan muslim sendirian. Maka mereka menolak ikut perang.
Serangan Badai Dingin
Pasukan Sekutu mulai terpecah. Saling curiga. Mereka mengabaikan Bani Quraidhah. Menyusun rencana menyerang dan memperhitungkan keberhasilannya.
Sementara Rasulullah mendengar berita perpecahan pasukan Sekutu segera menugasi Hudzaifah bin Al-Yaman mencari infomasi rencana pasukan Sekutu di malam hari. Hudzaifah segera pergi memasuki perkemahan musuh diam-diam.
Malam gelap. Angin dingin mulai berhembus. Makin lama makin keras hingga menjadi badai. Api unggun mati dan periuk makanan berantakan, kemah-kemah beterbangan dihempas angin. Hudzaifah melihat Abu Sufyan bin Harb keluar berteriak mengatur anak buahnya mengatasi badai.
Setelah itu dia memerintahkan pasukannya pergi meninggalkan lokasi perang untuk pulang ke Mekkah. Orang-orang Ghatafan mendengar keputusan orang Quraisy, mereka juga memutuskan pulang ke negerinya.
Pagi hari Rasulullah dan pasukannya melihat perkemahan pasukan Sekutu porak poranda. Orang-orang kafir sudah pergi semua dari posnya di dua tempat terpisa Dumah dan Dzanab Naqmah. Badai angin dingin telah menghalau mereka pulang. Rasulullah dan pasukannya pun kembali ke dalam kota. Perang Khandaq selesai. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto