Imajinasi Sekolah Masa Depan Pascapandemi akan menjadi jawaban atas perbincangan tantang model pendidikan di abad ke-21.
PWMU.CO – Abad ke-21—yang dimulai pada 1 Januari 2001 dan berakhir pada 31 Desember 2100—ditandai salah satunya dengan revolusi teknologi. Perkembangan pesat dalam bidang teknologi ini terjadi lantaran kebutuhan manusia yang semakin banyak.
Mulai dari sarana komunikasi, transportasi, dan banyak lagi hal lainnya. Tujuannya satu, memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya. Selain itu, adanya persaingan dunia yang semakin meningkat juga menuntut manusia untuk lebih melek secara digital.
Saat dimulainya abad ke-21 belum semua orang di Indonesia khususnya, menyadari dengan benar dan mampu mengikuti persaingan global. Meski sebagian besar mereka tahu kebutuhan akan revolusi teknologi tersebut.
Demikian Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dra Arbaiyah Yusuf MA mengawali paparannya dalam Forum Sabtuan Virtual SD Muhammadiyah Manyar (SDMM ) Gresik. Ia mengatakan, masa pandemi saat ini sebenarnya merupakan bentuk dari Allah menunjukkan apa yang manusia bayangkan atau imajinasikan di awal abad ke-21 itu
Ia menyitir hadits qudsi yang menyebutkan, “Aku (Allah) sesuai persangkaan hambaku.” Menurutnya, manusia sudah mengatakan abad ke-21 ini adalah digital era, maka pandemi ini telah menjawab apa yang sudah diprediksi. “Masa depan dikatakan serba digital, akhirnya semua orang saat ini belajar (tentang itu),” ujarnya.
Hal itu, kata dia, menjadi tantangan layanan sekolah Muhammadiyah saat ini dan masa depan. Dosen tetap Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FTK UINSA Surabaya itu mengatakan, kata tantangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ajakan berkelahi, ajakan bertarung, ajakan berperang.
“Dalam bahasa Inggris disebut challenge. Maka ada dua kemungkinan: menang atau kalah, hidup atau mati, jaya atau suram,” jelasnya kepada seluruh guru dan karyawan SDMM, MI Muhammadiyah 1 Gumeno, dan MI Muhammadiyah 2 Karangrejo, yang mengikuti acara itu, Sabtu (7/10/20) pagi.
Arbaiyah Yusuf menegaskan, sebenarnya ini tidak hanya wacana, tapi kita akan mandi keringat, berkelahi, bergerak, semua hal akan dilakukan untuk mencapai kejayaan. Islam itu, lanjutnya, agama yang cocok kapan pun dan di mana pun. “Kapan pun itu ya masuk masa lalu, sekarang, dan masa depan. Di mana pun itu ya bisa di belahan bumi dan langit,” ujarnya.
Wakil Sekretaris Dewan Pendidikan Jawa Timur periode 2017-2022 itu menjelaskan, dalam bahasa Arab masa depan itu bisa diartikan mustaqbal atau yaumul ghad. “Ghad itu artinya tomorrow. Mustaqbal itu artinya future,” tambahnya.
Masa Depan dan Cara Mengetahuinya
Lulusan Pascasarjana McGill University Montreal Canada itu mengatakan, bagi orang yang sedang belajar, sesungguhnya masa depan itu adalah bagian dari dreams, cita-cita yang sifatnya abstrak. “Tetapi bagaimana yang abstrak itu dirancang dalam sebuah strategic plan sehingga terwujud kondisi ke depan yang akan dicari, akan dicapai, yaitu visi,” jelasnya.
Arbaiyah Yusuf menjejaskan, memang manusia memiliki kemampuan membuat prediksi. Ia mencontohkan, manusia membuat alat masak yang dengan alat itu akan diprediksi nasi matang dalam waktu 10 menit.
“Atau membuat bandeng presto akan diprediksi sekian menit akan matang. Dokter juga misalnya bisa memprediksi orang ini umurnya tinggal satu tahun,” kata dia.
Tentu saja, lanjutnya, prediksi ini dikenali melalui gejala-gejala yang diperoleh lewat ilmu. “Ilmu itu banyak, ada yang lewat penelitian atau kebiasaan yang diingat. Nah tentu saja ini erat sekali kaitannya karena manusia diciptakan Allah sebagai makhluk mulia,” jelasnya.
Dosen yang sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mencontohkan scientist Muslim Ibnu Sina. Di sana masuk filsafat, psikologi, filosofi, tasawuf, science, dan kedokteran.
Ia mengambil apa yang diyakini oleh Ibnu Sina dalam filsafat dan psikologinya, manusia itu dikaruniai Allah dengan intelek, yaitu alat berpikir yang mampu mengantarkan dia menjadi seseorang. “Orang lahir itu memiliki potential intellect. Dia memiliki potensi untuk berpikir dan menganalisis sesuatu,” ujarnya.
Menurutnya, saat intelektualitas itu dimanfaatkan untuk membaca, berpikir, membuat sesuatu, maka itu masuk kepada intellect in habitu, artinya memahami. “Saat diaplikasikan, diimplementasikan, akan masuk pada posisi ketiga, intellect in actu,” jelasnya.
Hal itu, kata dia, erat sekali dengan trilogi di Muhammadiyah, yaitu iman, ilmu, dan amal. Arbaiyah Yusuf menjelaskan, pada saat orang telah melakukan banyak hal, niat karena Allah, tidak mengharapakan apa-apa, maka ia naik menjadi level keempat yaitu acquired intellect.
“Atau posisi kasysyaf, terbukanya tabir antara manusia dengan Allah. Itulah bagaimana manusia bisa memprediksi, mengupayakan bagaimana masa depannya,” paparnya.
Dosen yang pernah menjadi konsultan pendidikan program ASEAN Development Bank dan World Bank itu mengatakan, sesungguhnya masa depan itu bisa dipelajari dari al-Quran dan hadits. Anak-anak yang meneliti itu sebenarnya dia sudah mengamalkan apa yang diajarkan dalam al-Quran.
“Gur Pur, Agus Purwanto mengatakan banyak ayat-ayat kauniyah di dalam al-Quran yang belum tersentuh. Nah SDMM saya kira bagian yang menyentuh ayat-ayat kauniyah itu melalui program peneliti cilik. Anak-anaknya saja peneliti, apalagi guru-guru, apalagi pimpinannya, para peneliti handal,” jelasnya memotivasi.
Dua Hal Penting Masa Pandemi
Menurutnya, ada dua hal yang sangat penting di masa pandemi. Pertama, banyak manusia yang semakin mendekatkan diri kepada Allah. “Karena ternyata manusia masih ingin hidup, tidak ingin segera mati, bukan berarti kita takut mati,” ujarnya.
Kedua, pandemi ini menjadi era ilmu pengetahuan. “Mengapa orang pake masker, cuci tangan, butuh pengetahuan, banyak yang mengkaji,” jelasnya.
Kalau mengkaji kondisi saat ini, lanjutnya, kita tidak tahu kapan pascapandemi itu terjadi. “Dulu kita memprediksi Juni sudah selesai, ternyata belum, sampai akhirnya Muhammadiyah memprediksi tahun 2021 dan Muktamar 2022,” jelasnya.
Arbaiyah Yusuf menyampaikan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) pascapandemi tentu saja harus menjadi bagian dari yang diharapkan sekolah Muhammadiyah. Ia menyebutkan, ada enam fenomena abad ke-21 yang penting untuk diketahui.
Yaitu revolusi digital, integrasi belahan-belahan dunia, pendataran dunia, sangat cepatnya perubahan dunia, munculnya knowledge society, information society, network society, dan abad kreatif.
Sekolah Masa Depan
Arbaiyah Yusuf mengatakan, tidak bisa sebuah tempat disebut sekolah kalau di situ tidak ada guru dan murid. “Maka yang dominan adalah interaksi guru dan siswa, bukan gedung,” ujarnya.
Menurutnya, gedung sebagai simbol ontologi adanya sekolah. Tetapi metafisika itu tujuannya. Epistimologi itu kurikulumnya. Aksiologi itu etikanya. Logika itu tata pikirnya. Maka kemudian di situ ada manusianya.
Ia menjelaskan, sekolah berfungsi sebagai pembelajaran pendidikan, artinya harus ada ilmu di sana. Selain itu sebagai muaddib, membuat para siswa menjadi beradab. Tak hanya itu, sekolah juga harus mampu membuat para murid memiliki kehalusan budi, kesucian jiwa. Itulah kemudian bagaimana sekolah menjaga layanannya.
Arbaiyah Yusuf menegaskan, kekuatan sekolah yang harus dimiliki yaitu product. Ciri khas product sekolah Muhammadiyah dimulai dari visi, core value, dan school value.
“Anak-anak diajak berinovasi, ramah, peduli, husnudhan, cinta ilmu, selalu mengawali kegiatan dengan berdoa, ibadah. Bisa ditempel di pohon, lingkungan sekolah,” jelasnya.
Ia menyarankan, sekolah harus mantap memiliki sebuah keyakinan, memiliki product yang jelas, sesuatu yang bisa ditawarkan. Sekolah tidak didikte oleh wali murid. “Wali murid harus bisa berpartisipasi, tetapi tidak boleh mendikte. Maka siapapun akan membeli berapa pun harganya,” kata dia.
Dengan demikian, lanjutnya, siapapun yang keluar dari SDMM, bagus English-nya, bagus Science-nya, bagus Matematikanya. Tidak kalah penting bagus karakternya, agamanya. “SDMM menjadi sekolah yang cerdas berilmu, cerdas berkarakter, cerdas akhlakul karimah,” harapnya. (*)
Imajinasi Sekolah Masa Depan Pascapandemi: Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.