Banyak Istighfar, Pak Mahfud! Kolom ditulis oleh: Ady Amar, pemerhati masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Kenapa mesti merespons sesuatu dengan kalimat kasar (sarkasme) menyakitkan. Dan jika itu keluar dari mulut pejabat, maka tafsirnya bisa macam-macam.
Kata atau kalimat kasarnya itu tentu tidak keluar begitu saja dari keinginannya, tapi lebih pada pesanan dari atasan. Pesanan itu bisa lewat lisan, tapi lebih banyak penafsiran dari yang bersangkutan, bahwa langkah kasarnya itu akan menyenangkan sang Bos.
Tapi bisa jadi kalimat kasar yang keluar dari mulutnya itu, tidak ada kaitan dengan permintaan sang Bos, tapi agenda bersangkutan dalam memaknai jabatan yang ingin direngkuhnya. Tidak ada yang tahu, kecuali diri sendiri dan Tuhan.
Hari-hari ini Pak Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, kerap melontarkan kalimat terkesan kasar. Lebih spesifik saat menanggapi kedatangan Imam Besar Habib Rizieq Shihab (HRS). Hal yang tidak biasa ia lakukan. Ada apa ini? Maka spekulasi bisa ditarik ke sana ke mari, bebas orang menafsir dan melihat sikap kasarnya itu.
Pak Mahfud sepertinya menjadi pihak yang tidak suka dengan kedatangan HRS itu, maka statemennya pun merendahkan dan bahkan berbau hoax.
Statemennya itu dibantah pihak-pihak yang dekat dengan HRS, khususnya pihak Front Pembela Islam (FPI), lewat Pak Munarman.
Juga muncul respons kalangan netizen, yang lalu mengomentari kalimat-kalimat Pak Mahfud yang tidak biasa itu dengan kalimat-kalimat yang tidak kalah pedasnya, tapi tidak sedikit yang membalasnya cukup dengan kelucuan-kelucuan tingkat dewa, yang buat setidaknya pembaca jadi tersenyum masygul.
Respons netizen yang terkadang kasar, tidak etis, tapi itu sekadar reaksi spontan melihat ketidakadilan yang diperlihatkan Pak Mahfud, yang memperlakukan HRS dengan tidak sepatutnya.
Apa yang keluar dari mulut pejabat mestinya kalimat yang terukur, sejuk, dan diharap menimbulkan semangat persatuan antar anak bangsa. Kalimat yang menggunakan kata “sikat” dan sejenisnya, itu perulangan kalimat khas pejabat Orde Baru dulu, yang sudah sama-sama disepakati dikubur dalam alam reformasi. Kenapa harus dihidupkan kembali?
Pak Mahfud termasuk juga bagian dari kelompok yang lahir menyudahi rezim represif itu. Menjadi heran jika itu dilupakannya, yang lalu memilih kalimat-kalimat “menekan” seolah masyarakat bisa ditekan dengan lagak khas pejabat.
Lalu kenapa tiba-tiba Pak Mahfud jusTru menghidupkan semangat represif alai-alai itu. Apakah jabatan Menko yang dijabatnya, itu terlalu berat disandangnya. Dan karenanya, ia frustrasi dan lalu tanpa sadar tunjukkan karya dengan sikap penghinaan dengan menyebut seorang sekelas HRS dengan cukup panggilan Rizieq saja.
Apakah panggilan pada HRS dengan Rizieq saja itu, dimaknai ia mampu mengecilkan eksistensi HRS sekecil-kecilnya. Jika itu yang ada dipikiran Pak Mahfud, maka apa yang dipikirkannya itu salah besar.
Justru yang muncul adalah sikap penilaian umat pada sosok Pak Mahfud, yang kehilangan etika sederhana sekalipun, apalagi etika khawas dalam entitas tasawuf.
Justru Membesarkan HRS
Strategi yang dipakai Pak Mahfud dalam menyikapi kedatangan HRS dengan sikap-sikapnya, baik lewat wawancara dengan Ade Armando, atau lewat Twiter-nya dan lalu memunculkan perdebatan dengan Fadli Zon, dan lewat media umum lainnya, adalah langkah sia-sia. Hal itu justru lebih membesarkan HRS yang sudah besar di mata umat, menjadi lebih besar lagi.
Maka, hentikan ucapan-ucapan dengan kata atau kalimat kasar menusuk apalagi merendahkan. Itu tidak produktif, tidak akan menghasilkan apa-apa dan malah akan menjadikan netizen punya kesempatan untuk mengolok-olok balik dengan kata-kata yang tidak baik. Misal memanggil nama Pak Mahfud dengan Mpud, dan olok-olokan lainnya yang lebih tidak mengenakkan jika harus diungkap di sini. Tidak sampai hati mengungkapnya.
Pejabat yang baik itu—tentu tidak seperti Pak Mahfud yang kita lihat sekarang ini—mengajarkan dan mengajak pada hal-hal kebaikan. Bukan malah membuat suasana panas di negeri yang tengah menghadapi pandemi Covid-19, dan sengkarut resesi ekonomi yang sulit diprediksi bisa cepat teratasi.
Banyak istighfar, Pak Mahfud! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.