KH Mohammad Amin Musthofa, Pelaku Sejarah 10 November 1945 dari Pantura, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, tidak terlepas dari peran para kiai dan santri. Mereka berjuang penuh keikhlasan untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Salah satu Kiai yang berjuang dalam sejarah adalah KH Mohammad Amin Musthofa—atau yang dikenal Kiai Amin dari Tunggul, Paciran. Saat itu ia sebagai komandan Hizbullah untuk wilayah pantura Lamongan, Tuban, dan Gresik
Mohammad Amin Musthofa lahir pada tahun 1910 M di desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Ia putra KH Musthofa Abdul Karim—pendiri Pondok Tarbiyatut Tholabah Kranji—dan Nyai Hj Aminah binti KH Moh. Sholeh Tsani dari Bungah Gresik.
Kiai Amin merupakan anak ketujuh dari 10 orang bersaudara: dua perempuan dan delapan laki-laki. Dua di antaranya meninggal di waktu kecil yaitu anak pertama dan terakhir. Kini yang masih hidup ada dua orang perempuan: Maryam dan Sofiyah. Sedangkan kelima saudara lelakinya adalah Kiai Abdul Karim, Kiai Moh. Sholeh, Kiai Ahmad Muhtadi, Kiai Abdur Rahman, dan Kiai Abdullah.
Menurut M Yasin—santri Kiai Amin yang menjabat Kepala Desa Tunggul dan Pengurus Yayasan Al Amin—perjuangan dan dedikasi Kiai Amin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat besar. “Peninggalannya berupa pesantren dan pendidikan terus berkembang pesat sampai sekarang. Lembaga pendidikannya terdiri dari PAUD, Madin, MI, SMP dan SMA Al Amin. Semoga suatu hari berdiri perguruan tinggi Al Amin,” ujarnya
Tokoh Berpaham Muhammadiyah
Kiai Amin mempunyai andil dalam penyebaran bibit-bibit paham Muhammadiyah pada masa penjajahan kolonial Belanda.
Dalam usia yang relatif muda, 24 tahun, Kiai Amin mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Al Iman wal Islam yang kemudian dikenal dengan Pondok Pesantren Al-Amin Tunggul. Ia pernah belajar di beberapa pondok pesantren, yakni di Tebuireng, Termas, Ngeloh, Sepanjang, Kediri dan Maskumambang. Ia juga bermukim di Mekkah pada tahun 1936.
Menurut Abu Ma’sum, salah satu santrinya, cara pengajaran yang dilakukan Kiai Amin sudah tergolong progresif saat mengajarkan kitab-kitab kuning. Metode pengajaran yang dikembangkan menggunakan tanya jawab dan diskusi dengan para santrinya.
“Mereka juga diajarkan menghafal al-Quran. Kiai Amin sendiri berhasil menghafal al-Qur’an dalam waktu hanya tiga bulan. Selanjutnya para santri diberikan teknik berpidato untuk kepentingan tabligh,” ungkap Abu Ma’sum.
Menurunya, dalam hal akidah Kiai Amin juga tegas dan jelas dalam memerangi segala bentuk tradisi yang mengandung syirik dan khurafat. Hal ini disampaikannya melalui dakwah baik secara lisan maupun tulisan.
Kiai Amin menulis kitab Aqidatul Mardliyah berbahasa Arab dalam bentuk nazam, yakni syair yang dapat dilagukan secara khas dan mudah. Dengan begitu para santri pemula yang mengaji di masjid atau langgar di sekitar desanya dapat menghafal dan mengerti dengan mudah.
Dalam hal ubudiyah Kiai Amin juga terkenal pendiriannya dengan menyerukan kepada para santri dan masyarakat di desa-desa agar dalam beragama senantiasa merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Bahkan, dalam soal shalat pun ia amat keras berpegang kepada Sunnah. Misalnya, tidak mau menggunakan alas sajadah yang bergambar apa pun.
“Kalau bergambar, sajadah itu dibaliknya,” terang Abu Ma’sum. Dalam pelaksanaan shalat Jumat Kiai Amin juga amat tegas dengan menerapkan azan sekali dan tidak suka masjid yang dilengkapi bedug atau kentongan.
Santrinya Jadi Pemimpin
Santri Kiai Amin, setelah keluar dari pesantren, banyak yang menjadi aktivis Persyarikatan. Mereka juga mendirikan pondok pesantren atau madrasah di lingkungannya
Bahkan banyak dari mereka yang menadi pemimpin. Kader Kiai Amin yang berhasil menjadi pimpinan Muhammadiyah pada periode 1970-an di eks-Karesidenan Bojonegoro. Seperti KH Ahmad Khazim (putra sekaligus santrinya) di Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bojonegoro atau KH Mahbub Ihsan yang mendirikan Pondok Pesantren Al Ma’hadul Islamy dan menjadi Ketua PDM Tuban.
Juga KH Abdurrahman Syamsuri (santri sekaligus menantunya) mendirikan Pondok Pesantren Karangasem dan menjadi Ketua PDM Lamongan. Atau KH M Shawab Mabrur yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Al Islam di Godog Laren dan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Laren pertama. Termasuk KH Abu Ma’sum yang menjadi aktivis Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan.
Serangan 10 November 1945
Sebagai komandan tentara Hizbullah wilayah pantura yang meliputi Lamongan, Tuban, dan Gresik ia bersama ribuan santri berangkat ke Surabaya untuk menggempur tentara Inggris.
Turut serta dalam peperangan tersebut KH Abdurrahman Syamsuri, Kiai Ridlwan Syarqowi (pendiri Pondok Modern Muhammadiyah Paciran), KH Anwar Mu’rot, KH Adnan Noer (Blimbing), KH Anshory (Brondong), KH Sa’dullah (Blimbing) dan beberapa kiai lainnya.
Untuk pendanaan memobilisasi santri dan logistiknya, Kiai Amin menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin. Hal ini juga diikuti para kiai dan santri lainnya.
Karena itu kisah Kiai Amin cukup legendaris sampai sekarang. Pada saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa Kiai Amin adalah orang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya. Dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom.
Siaran inilah yang membuat kepulangan Kiai Amin disambut ribuan orang untuk meminta ijazah ‘kekebalan’ darinya. Tapi beliau mengatakan, ”Tidak mati karena bomnya meleset.”
Setelah revolusi fisik Kiai Amin tidak melanjutkan karier militernya. Padahal saat itu ia sudah berpangkat mayor. Kiai Amin merasa lebih cocok menjadi pengasuh pondok pesantren.
Putra-Putri Kiai Amin
Dari perkawinanya dengan Nyai Aminah asal Dukun, Kiai Amin dikaruniai enam anak. Mereka adalah :
- Irfa’i meninggal saat masih kecil
- KH Ahmad Hazim Amin, Pengasuh Perguruan Muhammadiyah Sumberejo. Pernah menjadi Ketua PDM Bojonegoro
- KH Sabiq Suryanto Amin pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Manarul Qur’an Paciran. Mengelola pondok tafidh dan SMP-SMA Manarul Quran
- Nyai Hj Hindun Rohimah Amin. Setelah firaq cerai dengan KH Abdurrahman Syamsuri, ia dinikahi oleh sepunya sendiri Kiai Abdul Wahab (kakak Kiai Baqir) dan mendirikan Yayasan Malihatul Hikam Tunggul, yang sekarang diketuai oleh putranya Kiai M. Ani Rofiq MA .
- KH Miftahul Fatah Amin, Pengasuh Pondok Pesantren Al Amin Tunggul saat ini. Meneruskan pesantren yang didirikan Kiai Amin. Mengelola Madin, MI, SMP, dan SMA Al Amin Tunggul.
- KH Abdulloh Amin Lc. Pendiri dan pengasuh Pondok Tahfidh di Perumahan Galaxi Bekasi
Kiai Amin Wafa
Pada masa Agresi Belanda II ia bersama saudaranya, KH Muhtadi, tertangkap dan ditembak Belanda di Desa Dagan, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan. Kiai Amin wafat pada usia 39 tahun, pada tanggal 13 Ramadhan 1368 Hijriah atau tanggal 9 Juli 1949 Miladiah.
Sebelum ditembak mati, ia mengajukan permintaan untuk mengumandangkan adzan terlebih dahulu. Kiai Amin dimakamkan di Desa Dagan, Kecamatan Solokuro. Nama beliau menjadi nama salah satu jalan di Kota Lamongan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.