Duh Kasihan Bu Risma! Kolom ditulis oleh Ady Amar, pengaat masalah-masalah sosial; warga Kota Surabaya.
PWMU.CO – Walikota Surabaya, Tri Rismaharini—dipanggil Bu Risma—siapa yang tidak kenal dengannya. Dia walikota yang dikenal tidak hanya di seputar kota Surabaya atau Jawa Timur. Namanya dikenal di seantero negeri, karena karya yang dihasilkan membangun Kota Surabaya.
Walikota yang diusung PDI Perjuangan ini, terkadang menunjukkan sikapnya yang meledak marah-marah jika melihat apa yang dilihat tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Adalah hal biasa jika anak buahnya disemprot dengan keras di hadapan khalayak, bahkan diliput oleh pers, lalu keesokan harinya diberitakan ramai-ramai di media. Bukan saja media lokal tapi media nasional pun memberitakan.
Menjadi ironi jika perlakuan memarahi anak buah di hadapan publik—yang itu bukan budaya Timur—justru ditafsirkan sebagai ketegasan seorang pemimpin. Di sini lalu etika tidak menjadi penting.
Kemarahan yang dilontarkan Risma, sepertinya tampak tidak dibuat-buat alias tidak di-setting. Kemarahan yang meledak itu seperti jadi passion-nya. Mungkin hanya Risma pejabat yang mempertontonkan kemarahan itu sebagai cara efektif untuk menjadi berita. Kemarahan yang sejatinya sebuah karakter buruk, tapi tidak pada Risma. Justru itu malah punya nilai jual tinggi.
Kemarahannya menjadi efektif diberitakan, itu dimulai pada periode awal Risma menjabat sebagai walikota. Dan dimulai oleh tragedi Taman Bungkul Surabaya. Saat sebuah perusahaan es krim Walls membagi-bagikan produknya secara gratis di Taman Bungkul, taman indah dengan tanaman-tanaman yang dipelihara dan tertata rapi. Taman rekreasi buat keluarga dan muda-mudi Kota Surabaya dan sekitarnya.
Bisa dipastikan massa yang berebutan es krim gratis itu, menjadikan sebagian tanaman taman itu terinjak-injak dan rusak.
Mendengar itu, Risma mendatangi lokasi, melihat kerusakan tanaman yang ada. Risma memuntahkan kemarahannya dengan teriak-teriak. Melotot-lotot dan suara melengking sambil tampak air mata menggantung di pelupuknya.
Kemarahan Risma itu menjadi viral. Tidak ada satu media yang tidak memberitakannya. Baik media elektronik, cetak, maupun media sosial.
Kerusakan Taman Bungkul menjadi berita nasional. Diberitakan berhari-hari, bahkan berpekan-pekan, tidak putus-putusnya. Itulah bisa jadi kemarahan yang mengandung berkah.
Ya berkah buat Risma, berkah yang melambungkan nama Risma semelambung-lambungnya. Semua televisi minta waktu mewawancarainya, dan itu lumrah. Maka Risma jadi pusat pemberitaan melebihi pemberitaan presiden sekalipun.
Tidak sedikit kawan yang bermukim di luar kota Surabaya, selalu bertanya tentangnya. Dan tidak sedikit pula bertanya sekadar untuk menambah masukan-masukan tentang keberhasilan-keberhasilan lainnya yang belum didengarnya.
Semua melihat Risma sebagai perempuan tangguh dan pemimpin kota yang bekerja tidak hanya bekerja, tapi bekerja dengan cinta sepenuh hati. Itulah berkah dari tragedi Taman Bungkul yang dinikmati Risma.
Hikmah di Balik Tragedi
Terkadang di balik tragedi ada hikmah yang menyembul. Itu setidaknya yang dirasakan Risma. Bahkan jika boleh memilih, setiap manusia ingin menjadi Risma yang menerima tragedi untuk menyambut hikmah di balik tragedi itu.
Risma benar-benar menikmati suasana yang didapatnya, dan lalu langkah-langkahnya terus menjadi pemberitaan. Risma jadi media darling. Selalu diberitakan positif, punya nilai jual. Dan Risma memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya. Gayung bersambut.
Kekuatan Risma itu sebenarnya ada pada narasi sederhana yang disampaikannya, yang jika berbicara medok khas Suroboyo. Dan yang bila marah spontan tanpa tedeng aling-aling. Marah semarah-marahnya tanpa malu, nyaris seperti orang kesurupan.
Kekuatan lainnya adalah penampilannya yang sederhana. Dengan balutan baju dan asesori yang dikenakan tidak terlalu istimewa memang. Biasa-biasa saja. Bahkan jauh dari kesan glamour sebagai orang nomor satu yang memimpin kota metropolitan Surabaya.
Kesederhanaan penampilannya itu salah satu nilai jual lainnya yang bisa menjadi nilai positif orang melihatnya. Dari situ muncul kesan, bahwa Risma itu cuma bekerja, sehingga tidak sempat berdandan-bersolek bagai perempuan selayaknya.
Risma memang pekerja keras, menjadikan kota Surabaya lebih cantik dan mempesona. Itu prestasi yang tidak bisa disepelekan. Dan karyanya itu disosialisasikan media dengan baik. Tidak ada yang luput dari pemberitaan media.
Bahkan sidak-sidaknya pun diliput media. Aneh sidak kok pers tahu, bukannya sidak itu sillent operation, kerja diam-diam. Tapi masyarakat tetap tidak ngeh dengan hal-hal di luar kebiasaan, itu serasa bisa dimaklumi. Menerima saja sidak absurd, karena sudah tertutup oleh prestasi-prestasi yang ada.
Skenario Kedodoran
Sinetron di televisi itu setting-an, cerita yang dibuat-buat sesuai skenario. Aktris sinetron itu cuma menghafal skenario sesuai perannya. Tidak lebih.
Hidup di tengah masyarakat terkadang juga memakai teknik setting dan dimainkan secara natural. Seolah itu perangai yang tidak dibuat-buat.
Semua gerak-gerik, attitute dan apa yang dilakukan semata untuk mengesankan kebaikan yang dilakonkan dengan manis dan nyaris tanpa cacat.
Maka sulit kita melihatnya apakah yang dilakukan itu adegan sebenarnya atau setting-an. Lalu tampak menjadi tidak berjarak antara benar-benar dan pura-pura.
Akhir-akhir ini banyak yang melihat lalu berpendapat, bahwa apa yang dilakukan Risma tampak absurd. Misal saat adegan sujud, lebih pada ndelosor. Itu saat melakukan pertemuan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan para direktur RS di Surabaya, di halaman Balai Kota Surabaya. Itu pada saat pembahasan berkenaan dengan penanganan Covid-19, di mana Surabaya disorot gagal dalam menahan laju merebaknya virus itu. Sujud sambil terisak.
Pakar gestur Handoko Gani menganalisis dan menyatakan, Bu Risma melakukan adegan sujud itu karena kesedihan dan dipicu penderitaan mental. Tapi netizen hampir seragam menyebutnya aksi Bu Risma itu dengan “drama banget” dan “pencitraan total”.
Pernah juga Bu Risma melaporkan warganet, lantaran melontarkan hinaan kepada dirinya lewat media sosial. Padahal sebagai public figure, ia seharusnya siap untuk di-bully, meski menyakitkan. Walaupun laporan itu ditarik kembali olehnya—karena tekanan publik yang meluas untuk membebaskannya—tapi publik tetap menilainya sebagai pribadi yang menolak kritik.
Lalu yang paling gres terjadi, Rabu 11 November 2020, saat demo UU omnibus law yang dilakukan buruh dan mahasiswa di depan Gedung Grahadi. Di tengah para aktivis yang sedang orasi itu, tiba-tiba Bu Risma datang dengan membawa kantong plastik besar, memunguti sampah yang berceceran sambil dikawal para stafnya.
Adegan yang tidak biasa bahkan buruk, meski nalar masyarakat yang tersumbat diminta menilainya. Maka yang terjadi adalah teriakan umpatan para buruh dan mahasiswa, dengan teriakan, Hoe.. Hoei… Risma Pencitraan… Risma Pencitraan…, dan umpatan lainnya yang tidak sedap didengar telinga.
Adegan Bu Risma itu mengisyaratkan penolakannya atas demo, bahwa demo itu hal buruk dan tidak berguna, yang setelah demo selesai cuma meninggalkan sampah yang menumpuk.
Kali ini yang didapat Bu Risma bukanlah berkah tapi justru musibah umpatan tidak mengenakkan. Meski memungut sampah sesuai penuturannya untuk meringankan kerja para pekerja kebersihan, Di sini tampak Bu Risma terlalu percaya diri memerankan adegan dengan skenario kedodoran. Konyol kesannya.
Skenario mendekati publik tentu tidak bisa dipersandingkan dengan mengelola taman indah dan bangunan beton yang bisu. Manusia punya perasaan yang seharusnya disentuh dengan hangat. Bukan hadir tanpa nurani keberpihakan. Hadirnya Bu Risma menjadi lain jika yang dibawanya air mineral dan nasi bungkus, empati agar warganya tidak haus dan lapar.
Jika skenario mengelola kota ini tidak diubahnya dengan skenario yang lebih manusiawi, meski Bu Risma menjabat sebagai walikota tinggal hanya beberapa bulan saja, itu akan meninggalkan warisan tidak indah buatnya.
Ia dikenang berakhir dengan bercak noda tidak sempurna, dan publik akan terus mengingat itu, dan tidak mustahil melupakan prestasi yang disandangnya… Duh kasihan Bu Risma. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.