Pendidikan Politik Cegah Muhammadiyah Yatim Piatu, kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Tulisan Prof Biyanto berjudul Agar Muhammadiyah Tak Lagi Yatim Piatu Politik menarik untuk ditanggapi.
Guru Besar UINSA Surabaya itu bertanya, pada Pilkada 2020, seberapa banyak pasangan calon (paslon) yang memiliki ikatan dengan persyarikatan?
Harus diakui warna persyarikatan tidak terlalu tampak, jika tidak ingin disebut tidak tampak sama sekali dalam politik. Berbeda dengan saudara kita warga Nahdliyin atau kelompok Sukarnois-marhaenis.
Mengambil contoh di Lamongan, salah satu paslon jargonnya jelas dan lugas, “Wis wayahe wong NU duwe bupati NU.” Pilkada Surabaya tidak jauh berbeda. Salah satu paslon mengenakan pin Bung Karno di baju dan peci unuk menegaskan sebagai Sukarnois-marhaenis sejati.
Politik aliran yang dahulu sempat disebut kuno tidak terasa kini bangkit kembali di era milenial yang konon serba modern. Sukarnois dan Nahdliyin mewarisi jejak kebesaran PNI dan Partai NU era Orde Lama. Tapi yang mengherankan di mana jejak kebesaran Masyumi saat ini?
Benarkah anak cucu Masyumi sudah habis? Sedangkan kaum Sukarnois dan Nahdliyin tidak segan mengusung kejayaan masa lalu ayah, ibu, atau kakek dan neneknya.
Muhammadiyah dan Poitik
Bicara kejayaan Masyumi era Orde Lama kurang pas tanpa menyebut Muhammadiyah sebagai salah satu tulang punggung kebesarannya. Memang dibandingkan partai papan atas Orde Lama yaitu PNI dan NU, Masyumi mengalami nasib tragis, dibubarkan—lebih tepatnya membubarkan diri sebelum dibubarkan—dengan tuduhan mengusung paham radikal.
PNI dan NU bisa ikut pemilu pertama Orde Baru tahun 1971, sedangkan Masyumi harus ganti baju Parmusi. Perolehan suara Parmusi yang kurang signifikan dalam pemilu 1971 ditambah kebijakan fusi tahun 1973, menambah trauma politik Islam dan nasionalis lainnya.
Kehadiran Golkar—yang dengan beragam cara berusaha memenangkan pemilu—menambah rasa inferior partai-partai non-Golkar. Praktis selama tiga puluh tahun berlangsungnya Orde Baru para aktivis politik Islam terbelah, mengambil sikap pragmatis antara bergabung dengan PPP atau Golkar.
Sampai dengan hadirnya reformasi 1998 dan era multipartai 1999, sampai hari ini, nuansa pragmatis masih kental. Indikasi pragmatis yaitu perolehan suara partai-partai yang digagas tokoh ormas Islam tidak mampu menembus dua digit, sepuluh persen ke atas.
Semua partai politik yang dipimpin tokoh berlatar belakang Muhammadiyah dan DDII dan lain-lain hampir sama nasibnya. Sementara partai yang mengusung nama besar Bung Karno sukses bertahan dalam perolehan dua digit meskipun naik turun.
Jargon Muhammadiyah tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana membuat beberapa tokoh Muhammadiyah diperebutkan oleh partai-partai lama ataupun baru untuk dijadikan sebagai penarik masa warga Muhammadiyah.
Kembali pada pernyataan Prof Biyanto soal Muhammadiyah yatim piatu politik. Sebuah pernyataan menggelitik, sedemikiankah nasib politik persyarikatan? Seperti yatim piatu artinya tidak punya orangtua ayah dan ibu, sehingga hidupnya harus ikut atau dititipkan keluarga lain atau panti sosial.
Pendidikan Politik Warga Muhammadiyah
Pendidikan politik untuk warga persyarikatan mendesak dilakukan untuk menyatukan persepsi tentang politik. Sebagian warga persyarikatan memandang politik jelek, sumber konflik, dan stigma negatif lainnya.
Sebagian lagi yang punya minat politik enggan bersatu atau bersama dengan warga persyarikatan lainnya dalam satu rumah yang sama. Bermacam-macam alasan mulai dari ingin memberi warna pada partai tertentu agar dekat dengan persyarikatan sampai ingin meluaskan pergaulan politik bukan hanya dengan sesama warga persyarikatan.
Pendidikan politik pertama kali diperkenalkan Mohammad Hatta ketika menghidupkan dan mengubah nama Partai Nasional Indonesia menjadi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru) pada tahun 1931.
PNI lama yang didirikan Ir Sukarno dan kawan-kawan tahun 1927 bercorak sebagai partai massa, pengumpul massa yang minim pendidikan politik. Penangkapan Sukarno tahun 1929 sampai dengan pengasingannya ke Ende Flores membuat pengikutnya ketakutan dan membubarkan PNI pada tahun 1930.
Di tangan Hatta, Sutan Syahrir, dan kawan-kawan seperti Ali Sastroamijoyo yang baru pulang dari studi di Belanda, PNI baru melakukan pendidikan politik, mengajarkan pada masyarakat tentang hak dan kewajibannya pada masyarakat, bangsa dan negara dengan tujuan Indonesia merdeka.
Ormas-ormas Islam Muhammadiyah, Persis, SI, NU dan lain-lain melakukan kegiatan pendidikan agama pada masyarakat secara intensif. Tanpa disadari pedidikan itu mampu menjadikan organisasi massa yang secara politik diperhitungkan.
Peran ormas-ormas Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak bisa dipandang sebelah mata, khususnya dalam BPUPKI, PPKI, Proklamasi 17 Agusus 1945, penyusunan UUD 1945 18 Agustus 1945 hingga masa revolusi dan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949.
Pada pemilu 1955 ormas-ormas Islam menjadi partai-partai politik antara lain Masyumi, NU, SI, Perti dan lain-lain. Tiga besar pemuncak pemilu 1955 yaitu PNI (20 persen), Masyumi (20 persen) dan NU (18 persen) adalah partai-partai kader yang telah memberikan pendidikan politik yang baik pada konstituennya.
Hubungan partai dengan pemilih benar-benar hubungan ideologis, bukan pragmatis. Bukan pula karena nomer piro wani piro (NPWP) dan istilah-istilah politik pragmatis lainnya.
Masih ada waktu agar Muhammadiyah tidak yatim piatu dalam politik atau tokoh dan warganya menjadi anak asuh tokoh-tokoh partai politik bermodal besar karena “orang tuanya” merasa tidak mampu mendidik atau mengasuh bahkan mengarahkan jenjang politik anak-anaknya.
Pendidikan politik Muhammadiyah sebagai satu-satunya wasilah untuk menepis trauma politik, kesalahpahaman bahwa politik itu jelek, sarat konflik, penyebab permusuhan, dan sejenisnya menjadi sebuah kebanggaan. Menjadi bagian dari dakwah amar makruf nahi mungkar sebagaimana berkhidmat di dalam persyarikatan secara militan.
Liga sepakbola profesional telah berani dimasuki dengan membesut klub Hizbul Wathan sebagai wasilah dakwah di dunia olahraga. Tidak ada salahnya menjadikan politik sebagai wasilah pendidikan dan dakwah pemerintahan, eksekutif, maupun legislatif.
‘Liga politik nasional’ semoga bisa dimasuki secara solid sebagai tim impian dari proses pendidikan politik yang baik dan terbaik pada para konstituen maupun para elite politiknya.
Berpolitik sebagai bagian dari praktik teori Darul Ahdi wa Syahadah agar tidak sekadar menjadi teori yang indah di atas kertas. Mengarahkan kader-kader persyarikatan berintegritas ke partai politik yang memahami peran dan tujuan dakwah persyarikatan sebagai kebutuhan.
Demi menjalankan peran amar makruf nahi mungkar, bersama-sama bersatu sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan legislatif, bukan hanya sebagai pembantu yang baru dibutuhkan jika situasi hampir mencapai ambang kemacetan.
Wallahualambishshawab (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.