Hari-Hari Sulit bagi Muhammadiyah, kolom ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur; penulis buku-buku inspiratif. Ditulis khusus menyambut Milad Ke-108 Muhammadiyah, 18 November 2020.
PWMU.CO – Orang bisa belajar kearifan dari sejarah. Setiap peristiwa mengandung makna dan pelajaran. Allah menegaskan, “Sungguh di balik kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang yang mempunyai akal…” (Yusuf 111)
Muhammadiyah telah berusia 108 tahun. Satu perjalanan yang panjang. Sudah pasti tidak selalu dilalui dengan senyum dan tawa. Ada hari-hari pahit yang mendebarkan.
Yang menarik dan berharga bagi kita ialah bagaimana para tokoh Muhammadiyah dapat melewati hari-hari pahit itu dengan selamat. Mengagumkan. Bahkan penuh inspirasi. Pada hari-hari sulit itu dakwah Muhammadiyah terus berjalan. Saya kemukakan dua contoh hari-hari sulit itu. Monoloyalitas dan Asas Tunggal Pancasila.
Monoloyalitas
Sebelum ada aturan Asas Tunggal, Muhammadiyah sudah menghadapi kesulitan dengan adanya keharusan monoloyalitas bagi pegawai negeri. Pada tahun 1970-an Menteri Dalam Negari Amir Machmud mengharuskan semua pegawai negeri hanya boleh ikut satu organisasi saja yaitu Korpri (Korp Pegawai Negeri).
Ini disebut monoloyalitas, atau loyalitas tunggal. Mereka boleh memilih: hanya menjadi anggota Korpri atau tetap ikut organisasi lain dengan risiko keluar dari pegawai negeri. Semua anggota Korpri menjadi anggota Golkar. Ini memang cara Orde Baru mempertahankan kekuasaannya.
Sebagian besar pimpinan Muhammadiyah adalah pegawai negeri. Terutama pimpinan di cabang dan ranting. Di pedesaan memang pegawai negeri adalah kelompok terpelajar. Dan Muhammadiyah adalah kumpulan orang-orang yang terdidik. Maka wajar kalau pimpinan Muhammadiyah banyak dari pegawai negeri.
Dengan adanya peraturan monoloyalitas itu maka tentu menjadi problem tidak sederhana bagi Muhammadiyah. Cabang dan ranting adalah ujung tombak persyarikatan. Maka ujung tombak itu tidak lagi berfungsi. Banyak yang harus meninggalkan Muhammadiyah.
Cabang dan ranting setengah lumpuh atau lumpuh sama sekali. Melihat keadaan seperti itu maka Muhammadiyah menugasi Pak AR—sapaan akrab KH Abdur Rozak Fachruddin, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tahun 1968-1990—menemui Mendagri.
Intinya minta dispensasi agar Muhammadiyah tidak terkena monoloyalitas. Orang-orang Muhammadiyah yang menjadi pegawai negeri tetap dibolehkan ngurusi Muhammadiyah. Alasannya, Muhammadiyah itu gerakan dakwah, tidak terlibat dengan kegiatan politik apapun.
Berhasilkah lobby Pak AR? Tidak! Mendagri menetapkan bahwa ketentuan itu berlaku umum, tidak terkecuali kepada Muhammadiyah. Jadi orang Muhammadiyah harus memilih antara tetap menjadi pegawai negeri atau menjadi anggota Muhammadiyah.
Mendengar jawaban itu Pak AR tidak putus asa. Dakwah Muhammadiyah harus tetap bergerak. Apapun keadaannya. Menurut Pak Sukriyanto, Pak AR lalu berkata kepada Mendagri:
“Baiklah Pak Amir. Berarti anggota Muhammadiyah yang menjadi pegawai negeri harus mengundurkan diri dari Muhammadiyah. Saya mohon bekas-bekas anggota Muhammadiyah itu diperbolehkan mengadakan pengajian,” kata Pak AR dengan gaya khasnya.
“Oh, kalau mereka mengadakan pengajian tidak ada masalah. Malah saya akan bantu,” kata Amir Machmud.
“Betul begitu Pak Amir?” tanya Pak AR.
“Betul! Saya ini seorang perwira. Jadi tidak akan bohong,” kata Amir Machmud.
“Kalau begitu saya pamit. Terima kasih banyak Pak,” kata Pak AR.
Sesudah itu Pak AR berkeliling ke daerah-daerah. Menghubungi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) supaya bekas anggota Muhamadiyah yang menjadi pegawai negeri mengadakan pengajian di kantor atau di tempat kerjanya masing-masing.
Maka sejak itu bermunculan pengajian di kantor-kantor pemerintah. Juga diselenggarakan shalat Jumat dan pembangunan tempat ibadah. Jika sebelumnya banyak karyawan yang melakuan shalat Jumat dengan malu-malu, kini pimpinan kantor merasa malu jika di kantornya tidak ada shalat Jumat.
Setelah keadaan berubah dan anggota Korpri boleh menjadi anggota ormas maka mereka kembali menjadi pimpinan Muhammadiyah sekaligus pengurus pengajian di kantor. Dengan demikian kegiatan dakwah justru semakin berkembang. Itulah hikmah di balik musibah.
Gagasan Pak AR agar para bekas anggota Muhammadiyah boleh mengadakan pengajian di kantor sungguh merupakan gagasan yang luar biasa. Itulah ‘tangan Tuhan’ yang memberi bimbingan. Boleh jadi pertolongan Allah ini karena ketekunan shalat malam. Monoloyalitas itu berakhir dengan indah. Sesuatu yang tidak terduga sebelumnya.
Asas Tunggal
Maret 1982 terjadi bentrok antara pendukung Golkar dan simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Terjadi kerusuhan, pembakaran mobil dan perusakan toko. Bahkan juga penjarahan.
Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1982 mengecam keras bentrokan itu. Menurut Pak Harto bentrokan terjadi karena adanya perbedaan ideologi.
Kita tidak tahu apakah bentrokan itu karena perbedaan ideologi ataukah sengaja diciptakan oleh tangan-tangan tak terlihat dengan tujuan tertentu. Pak Harto menegaskan hal ini tak boleh terjadi lagi. Harus segera diatasi.
Pak Harto ingin semua partai menggunakan ideologi yang sama. Maka semua partai harus menggunakan asas tunggal, asas yang sama, yaitu asas Pancasila supaya tidak ada lagi pertentangan ideologi.
Semula keharusan Asas Tunggal dikira hanya untuk partai politik. Namun pada perkembangannya dikenakan juga untuk semua organisasi kemasyarakatan dan perkumpulan yang ada di Indonesia. Banyak tokoh masyarakat dan ulama yang tidak bisa menerima Asas Tunggal. Termasuk Muhammadiyah dan NU.
Ketika KH Asad Syamsul Arifin bertemu dengan Pak Harto di Cendana, beliau menyatakan keharusan asas tunggal yang dilakukan Orde Baru sangat meresahkan kiai-kiai NU.
“Dengan Asas Tunggal apakah Pak Harto ingin menjadikan Pancasila sebagai agama? Membuang Islam dan lain-lainnya?” tanya KH As’ad.
Pertanyaan KH As’ad itu membuat Pak Harto terkejut. Sebab bukan itu tujuan diharuskan Asas Tunggal. Pak Harto menyatakan, “Pancasila sama sekali tidak akan mengurangi arti peran agama dalam hidup berbangsa dan beragama. Diharuskan asas Pancasila dengan harapan lebih mudah mempersatukan bangsa. Agama ya agama. Pancasila ya Pancasila,” jawab Pak Harto.
Dengan penjelasan itu KH As’ad menyatakan NU siap menerima Asas Tunggal Pancasila dan akan membantu menyosialisasikan kepada masyarakat.
“Umat Islam wajib menerima Pancasila. Sebab sila pertama adalah Ketuhanan Yang Mahaesa. Ini sesuai doktrin tauhid Qul huwallahu ahad. Katakan jika Dia adalah Allah, Tuhan Yang Esa,” kata KH As’ad.
Tidak demikian sikap Pak AR. Muhammadiyah belum bisa menerima asas Pancasila menggantikan Islam. Dengan Pancasila sebenarnya Muhammadiyah tidak ada masalah karena tokoh-tokoh Muhammadiyah berperan penting dalam perumusan Pancasila, seperti Ki Bagus Hadikusuma, Kasman Singodimeja, dan Kahar Muzakkir.
Namun persoalan menjadi lain jika asas Islam dalam anggaran dasar itu dihapus dan diganti asas Pancasila. Menurut pendapat banyak anggota Muhammadiyah jika asas Islam diganti asas Pancasila dan asas Islam ditiadakan maka tidak bisa lagi dikatakan Muhammadiyah. Banyak yang mengancam akan keluar dari Muhammadiyah jika asas Islam diganti dengan asas Pancasila.
Pak AR lalu mengumpulkan anggota PP menanyakan bagaimana harus bersikap. Pak AR khawatir jika menerima asas tunggal akan mencederai keyakinan sebagian besar orang Muhammadiyah.
Maka muncul pendapat bahwa Indonesia adalah negara hukum. Jika Asas Tunggal dijadikan sebagai keharusan maka pasti nanti ada undang-undangnya. Karena itu Muhammadiyah tidak perlu tergesa-gesa. Pak AR akhirnya tenang-tenang saja. Menunggu adanya UU tentang Asas Tunggal.
Pada Mei 1983 Muhammadiyah mengadakan sidang Tanwir. Sidang ini digelar karena Muktamar ke-41 yang mestinya dilaksanakan tahun 1982 terpaksa ditunda sampai pemerintah mengesahkan UU tentang Asas Tunggal.
Dalam sidang Tanwir itu diputuskan tiga hal. Pertama: Muhammadiyah setuju memasukkan Pancasila ke dalam Anggaran Dasar dengan tidak mengubah asasnya tetap Islam.
Kedua: Ini persoalan nasional. Maka Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting tidak boleh mengambil sikap sendiri-sendiri.
Ketiga: keputusan mengenai Asas Tunggal akan dilakukan dalam Muktamar ke-41 yang pelaksanaannya belum dapat ditentukan.
Tawar-menawar
Dalam buku Pak AR dan Jejak-Jejak Bijaknya tulisan Haidar Musyafa diceritakan terjadinya tawar-menawar yang unik antara Pak AR dan Pak Harto tentang Asas Tunggal Pancasila.
Tahun 1984 Pak AR menghadap Pak Harto meminta kesediaan membuka Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo. Pak Harto janji datang dengan syarat Muhammadiyah menerima asas tunggal Pancasila.
Pak AR tidak menerima atau menolak. Pak AR justru mengajak Pak Harto membicarakan soal lain. Merasa persyaratannya diabaikan, Pak Harto berkata, “Pak AR, saya ini juga seorang muslim, loh. Tapi karena negara Indonesia ini berdasarkan Pancasila, meski saya muslim, sebagai presiden saya pun memenuhi garis-garis Pancasila. Artinya tidak pure Islam.”
Pak AR hanya menanggapi dengan tersenyum, “Ya Pak, tidak apa-apa.”
Suasana senyap beberapa saat. Pak Harto mengulangi yang menjadi persyaratannya. “Pripun Pak AR? Saya siap-siap hadir di muktamar. Tapi ya itu, asal Muhammadiyah bersedia menerima Pancasila sebagai asas organisasi?”
“Mohon maaf Pak. Terus terang, untuk hal ini saya tidak dapat memutuskan, karena merupakan soal prinsip. Keputusannya seperti apa, ya, di muktamar nanti,” jawab Pak AR.
Melihat Pak Harto tidak memberi respon, Pak AR melanjutkan. “Karena masalah ini baru akan dibahas di muktamar, alangkah baiknya jika Pak Harto bisa hadir untuk memberi pengarahan kepada kami tentang asas tunggal Pancasila.”
Bagi Pak Harto tentu jawaban Pak AR belum memberi kepastian. Kalau sudah telanjur datang dan menjelaskan Asas Tunggal seperti yang diminta Pak AR kemudian ternyata muktamar menolak asas tunggal Pancasila, tentu kehadirannya menjadi sia-sia. Bahkan seperti dipermalukan.
Karena itu Pak Harto bilang, “Ya, tapi harus ada kepastian dulu kalau Muhammadiyah menerima asas tunggal Pancasila,” pinta Pak Harto.
Lalu beliau menjelaskan panjang lebar tentang Indonesia yang dibangun dengan asas Pancasila. Karena itu, semua organisasi yang punya tujuan sama harus menggunakan asas yang sama pula.
Mendengar penjelasan Pak Harto panjang lebar, Pak AR menimpali, ”Kalau begitu apa bisa penjelasan Pak Harto ini diibaratkan orang naik kendaraan di jalur helm, sehingga semua kendaraan motor yang lewat jalur helm harus memakai helm?”
Saat itu kewajiban memakai helm belum untuk seluruh jalan. Ada jalan yang harus memakai helm ada yang tidak. Yang harus mengenakan helm disebut jalur helm. Kalau tidak memakai helm akan ditilang. Sedangkan yang belum jalur helm masih bebas.
Mendengar perumpamaan Pak AR tentang helm itu Pak Harto menjawab, “Ya, kira-kira bisa seperti itu, meskipun tidak persis.”
“Maksudnya Pak?” tanya Pak AR.
Pak Harto menjawab: “Taruhlah Muhammadiyah itu sebuah perkumpulan Islam, berakidah Islam dan berasas Pancasila. Seperti itu kan ya tidak apa-apa toh Pak? karena tidak mengubah keyakinan kita sebagai orang Islam.”
“Jadi boleh kan, Pak. Diibaratkan seperti pengendara motor di jalur helm?”
“Ya, saya kira tidak ada masalah,” jawab Pak Harto.
“Baiklah Pak Harto. Kalau begitu kami menunggu kehadiran Bapak untuk membuka muktamar sekaligus memberikan pengarahan terkait dengan Asas Tunggal Pancasila”, kata Pak AR dengan ramah.
“Ya, asal Muhammadiyah bersedia menerima asas Pancasila,” kata Pak Harto kembali menegaskan dengan ramah syarat kehadirannya ke muktamar.
“Ya, seperti di jalur helm”, kata Pak AR sambil tersenyum.
Pak Harto membalas dengan senyum. Pertemua berakhir.
Setelah pertemuan dengan Pak Harto, Pak AR masih harus mengadakan banyak pertemuan terutama dengan Menteri Agama. Berkali-kali Pak AR diundang ke Jakarta. Berkali-kali pula Pak Munawir Sadzali datang ke Yogya untuk menjelaskan maksud Asas Tunggal Pancasila kepada para pimpinan Muhammadiyah.
Pada intinya asas Pancasila dijadikan asas berpolitik, bernegara, dan bermasyaakat supaya hubungan antargolongan yang sangat heterogen di Indonesia bisa teap harmonis. Pancasila tidak akan menggantikan agama.
Secara pribadi Pak AR paham apa yang dimaksudkan Pak Harto. Tetapi rasanya tidak mudah menjelaskan hal ini kepada anggota yang sudah telanjur antipati terhadap perubahan itu.
Pak Harto akhirnya hadir pada Muktamar Ke-41 Muhammadiyah di Solo. Beliau menjelaskan panjang lebar tentang perlunya Pancasila sebagai asas semua organisasi. Beliau juga memuji para aktivis Muhammadiyah yang sudah memberi sumbangan besar pada negara.
“Sejumlah besar anggota Muhammadiyah yang menyebar di negeri ini sudah cukup lama memberi sumbangan bagi bangsa dan negara dalam berbagai bidang. Asas Pancasila tidak dimaksudkan membatasi usaha-usaha keras Muhammadiyah dalam menjalankan kegiatan yang jauh lebih luas lagi,” tegas Pak Harto.
Dalam muktamar ke-41 ini, Muhammadiyah mengambil keputusan besar. Menerima Asas Tunggal Pancasila. Maka segera mengubah anggaran dasarnya. Dari asas Islam menjadi asas Pancasila.
Meskipun asasnya berubah, tetapi identitas Muhammadiyah tidak berubah. Tetap dinyatakan sebagai gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Mungkar dan Tajdid bersumber dari Al Quran dan al Hadits. Tujuan organisasi juga tidak berubah. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Jalur Helm
Setelah penerimaan Asas Tunggal Pancasila maka terjadi goncangan di internal Muhammadiyah. Banyak yang menyatakan keluar dari Muhammadiyah karena dianggap Muhammadiyah sekarang bukan Muhammadiyah yang kemarin.
Yang keluar bukan hanya anggota tetapi juga para tokoh Muhammadiyah. Tetapi mereka tidak memberikan alternatif jalan keluar. Kalau menolak Asas Tunggal berarti Muhammadiyah siap-siap dibekukan atau dibubarkan karena tidak patuh pada undang-undang.
Ini mudharatnya pasti lebih besar. Amal usaha yang sudah melimpah akan jadi rebutan banyak pihak.
Pak AR lalu mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana. Diibratkan orang mau shalat Jumat. Naik sepeda motor dan harus melalui jalan wajib helm. Maka orang itu harus memakai helm supaya tidak melanggar.
Memakai helm itu tidak mengubah Islam kita. Tidak mengubah niat shalat Jumat kita. Niat kita shalat Jumat ikhlas karena mengharap keridhaan Allah. Di sisi lain kita harus pakai helm karena patuh pada aturan negara. Juga menghindari kena tilang.
Tauhid kita tidak boleh berubah. Bermuhammadiyah juga tidak boleh berubah. Asas Pancasila digunakan untuk urusan politik, bernegara dan bermasyarakat.
Pak AR juga terus menerus menjelaskan sila-sila Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Beliau sampai menguraikan sila demi sila. Mulai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan sampai keadilan.
Goncangan akibat penerimaan Pancasila sebagai asas menggantikan asas Islam memang sangat terasa. Dan Pak AR cukup capai dalam usaha menjaga keutuhan Muhammadiyah
Tentu saja selalu ada orang yang berpikir “pokoke”. Jika sikap “pokoke” itu datang dari tokoh maka lebih repot lagi memberi penjelasan. Namun Pak AR yakin dengan penjelasan terus menerus maka anggota Muhammadiyah akan bisa berpikir kritis sekaligus berpikir cerdas.
Untung guncangan itu terjadi tidak telalu lama. Sejak Orde Baru jatuh keharusan asas tunggal itu melemah. Dalam masa eforia reformasi orang mengadakan koreksi total terhadap ketetapan Orde Baru. Termasuk Asas Tunggal.
Muhammadiyah dalam muktamar di Jakarta tahun 2000 kembali mengubah asasnya. yaitu kembali berasas Islam. Ketegangan berakhir. Yang dulu keluar dari Muhammadiyah kini masuk lagi. Yang dulu menjauh kini mendekat lagi. Akhirnya Muhammadiyah tetap utuh dan damai.
Keberhasilan Muhammadiyah mengatasi hari-hari pahit tidak lepas dari pribadi Pak AR sebagai ketua (umum). Pak AR adalah orang zuhud. Tidak kedonyan. Maka ketika Muhammadiyah menerima Asas Tunggal, tidak ada orang yang menuduh Pak AR sedang menjual Muhammadiyah ke penguasa. Tidak ada!
Semua orang tahu hidup Pak AR sangat, sangat sederhana. Karena itu sifat zuhud atau hidup sederhana perlu menjadi gaya hidup semua anggota terutama pimpinan agar lebih lapang jalan menggerakkan persyarikatan.
Juga tidak ada yang menuduh Pak AR sedang mengincar jabatan. Kalau mau jabatan sudah sejak dulu-dulu Pak AR ditawari macam-macam jabatan. Tetapi Pak AR selalu menolak.
Lalu orang melihat semua yang dilakukan Pak AR adalah ketulusan hati demi perjuangan dakwah Muhammadiyah.
Ketika keadaan telah berubah dan Muhammadiyah kembali berasas Islam maka hampir tidak ada yang terluka. Apalagi tidak ada yang ungkit-ungkit kepada orang yang pernah menyatakan keluar dari Muhammadiyah. Seakan semua saling memaklumi. Saling memaafkan.
Alhamdulillah. Muhammadiyah berusia 108 tahun. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.