Anies-HRS, Analogi yang Diperhadapkan, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Hidup mesti seimbang dalam semua aspeknya. Memperlakukan segala hal dengan keseimbangan, itu mestinya jadi keharusan. Jika tidak, maka muncul perlakuan tidak adil.
Hidup pun mestinya disatukan dengan pendekatan yang sama, tidak semata berdasar suka dan tidak suka. Jika itu yang terjadi, maka pastilah ketidakadilan akan muncul menemukan pijakannya.
Ketidakadilan memperlakukan hukum, sejatinya adalah upaya sistemik memperlemah, atau bahkan melawan hukum, itu tidak boleh terjadi, jika tidak ingin bangunan kohesivitas yang selama ini dirawat dengan susah payah pecah dan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.
Perlakuan sama pada satu kasus, itu bermakna merawat keseimbangan. Tidak boleh ada tafsir lain atas hukum dan perlakuan atasnya, sehingga tidak muncul yang satu dianggap salah dan yang lain tidak. Padahal itu pada kasus yang sama.
Maka suka atau tidak suka pada seseorang atau kelompok dalam masyarakat pun, mestinya diikat oleh keadilan di hadapan hukum.
Tidak boleh kesukaan dan ketidaksukaan itu menjadikan hukum jadi alat dalam penilaian. Maka yang muncul pastilah ketidakadilan.
Analogi yang Diperhadapkan
Kita acap disuguhkan perlakuan hukum, pada kasus yang sama, muncul perbedaan perlakuan. Ini tontonan tidak nyaman dan membuat sepet mata.
Analogi atau perlakuan serupa atau sama di hadapan hukum, mestinya menjadi konsen dalam penegakan hukum. Maka tidak ada pihak yang boleh diistimewakan di hadapan hukum.
Memperhadapkan analogi dengan tidak sama, itu upaya diskriminatif. Itu bisa karena khilaf atau memang kesengajaan. Semua dipertontonkan terang benderang.
Memperhadapkan analogi akan sia-sia dan menemui jalan buntu. Rasa kepercayaan hilang dan tidak mustahil menemukan pijakan untuk melawan agar hukum ditarik kembali pada keseimbangan.
Analogi yang diperhadapkan dengan tidak adil akan memunculkan protes dengan bentuknya masing-masing, sebagai alat pengingat untuk kembali berlaku adil.
Memperhadapkan analogi yang terang benderang itu bagai menabur angin menuai badai. Itu berbahaya jika diterus-teruskan. Tentu satu hal tidak diinginkan.
Perlawanan yang mencoba menganalogikan hukum tidak sama dalam satu kasus, akan menemukan bentuknya dalam gumpalan kemarahan dengan takarannya masing-masing.
Jejak Digital Memberitakan
Hari-hari ini ketegangan muncul—atau dimunculkan— dan itu memperhadap-hadapkan analogi dengan perlakuan hukum yang tidak sama.
Kasus perlakuan hukum pada Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta dan Habib Rizieq Shihab (HRS), dalam kasus “dianggap” melanggar protokoler kesehatan di masa pandemi, mestinya juga diperlakukan hal yang sama pada pihak-pihak lainnya.
Maka upaya pihak kepolisian memanggil Anies dan HRS adalah hal biasa dalam rangka menegakkan hukum. Itu hal semestinya.
Namun demikian, analogi penegakan hukum pun mestinya sama pada pihak-pihak lainnya. Tidak boleh pada pihak yang satu hukum menjadi “seolah” ditegakkan, tapi pada kasus yang hampir atau bahkan sama, penegak hukum abai melihatnya.
Jejak digital memperlihatkan itu semua. Jejaknya tidak terhapus, apalagi pada durasi waktu tidak terpaut jauh, dan tentunya dalam kondisi yang sama (pandemi), tapi perlakuan hukumnya dengan analogi tidak sama.
Maka jejak digital berhamburan memperlihatkan itu semua. Saat HRS mengadakan acara pernikahan putrinya dengan sekaligus peringatan maulud Nabi SAW, maka dianggap pelanggaran. Maka, analogi bisa diperhadapkan dengan acara Ansor Banser di Purwokerto, dan Milad Habib Lutfi bin Yahya.
Acara yang menghadirkan massa, itu dinamakan Parade 9999 Ansor Banser Kabupaten Banyumas, dalam rangka memperingati Hari Pahlawan dengan longmarch memutari kota Purwokerto dengan membentangkan bendera merah putih sepanjang 1000 M, sejak siang hingga petang.
Juga pada tanggal 10 November, Dandim 0710/Pekalongan, memberi kejutan Ultah ke-73 Habib Lutfi bin Yahya (anggota Wantimpres) dengan mengajak semua staf mendatangi rumah sang Habib. Jejaknya bisa dilihat, setidaknya pada Radar Pekalongan Online.
Juga Milad Habib Lutfi bin Yahya, yang ke-73 bersama Gus Miftah, yang dimuat dalam video Habib Aqil Family di YouTube, terlihat tidak satu pun yang hadir menggunakan masker. Dalam acara itu Gus Miftah juga menghambur-hamburkan uang pada khalayak yang hadir, dan tentu yang hadir berebutan mendapatkannya.
Karenanya yang tampak adalah analogi yang diperhadapkan dalam kasus yang sama dengan perlakuan hukum berbeda. Tidak ada denda Rp 50 juta dan apalagi sampai pencopotan Kapolda Jawa Tengah, misal.
Masih banyak analogi kasus serupa yang jejak digitalnya tidak terhapus dan bisa dipersaksikan dengan begitu mudahnya, kasat mata.
Hukum dan keadilan itu tidak terpisahkan, bagai sisi mata uang yang sama. Satu kesatuan utuh yang semestinya sama-sama dijaga dan dirawat dengan semestinya.
Ada satu pernyataan yang menyejukkan dari Doni Monardo, Ketua Satgas Covid 19, yang menyatakan bahwa Anies Baswedan tak pernah izinkan acara HRS, sebagaimana dimuat merdeka.com.
Pertanyaannya, lalu untuk apalagi Polri memaksakan pemanggilan Anies Baswedan, tidak relevan. Juga tentunya pemanggilan HRS, bukannya denda Rp 50 juta sudah dibayarkan. Mestinya clear and clossed case. Tapi entahlah jika mesti diteruskan, atau selayaknya disudahi saja… Wallahu a’lam. (*)