Kongsi Politik Santri Abangan oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Tidak memilih FPI atau HTI sebagai sekutu politik bukan berarti rezim Jokowi melawan umat Islam. Sebab masih ada NU dan ormas Islam lainnya yang dianggap merepresentasikan umat Islam Indonesia secara menyeluruh.
Politik umat Islam kaya rasa dan kaya warna. Muhammadiyah yang moderat, NU yang mengakar ke bawah, FPI dan HTI yang keras tapi militan adalah soal pilihan dan selera. Siapa pun rezimnya boleh memilih salah satunya.
Di tengah kebekuan relasi politik umat Islam dan negara, gagasan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Ahmad Jainuri tentang membangun sikap toleran berdasar nilai pluralitas menemukan relevansinya.
Kongsi politik adalah pilihan untuk mendapat legitimasi, membutuhkan kekokohan dan pengakuan masyarakat. Memilih ormas Muhammadiyah atau NU atau FPI dan HTI yang direpresentasi dalam bentuk partai politik adalah pilihan dan kompromi.
Pada model one man one vote, maka menjadikan NU sebagai teman kongsi politik adalah pilihan cerdik dan strategis. Untuk memenangi sebuah pertempuran politik demokratis yang melibatkan banyak orang, dan sudah terbukti.
Dikotomi politik santri dan abangan dalam konteks politik Indonesia terkini, saya pikir masih sangat relevan meski Clifford Geertz telah mengemukakan 50 tahun yang lalu dalam bukunya The Religion of Java. Buku itu hasil penelitiannya di Pare Kediri kemudian diterjemahkan dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Model Kongsi
Santri dan abangan adalah sebuah realitas. Keduanya tak bisa berkuasa sendirian sebab tak mencukupi. Kongsi politik adalah pilihan. Tinggal merumuskan model dan kesepakatan yang harus dimufakati.
Rumusnya adalah santri dan abangan tidak bisa mendapat kekuasaan sendirian. Keduanya harus berkongsi, tinggal siapa yang diajak kongsi. Itu soal selera politik. Kongsi politik itu bukan PKB dengan PPP. Atau PAN dengan Partai Umat, HTI dengan FPI. Atau PKS dengan Gelora. Jika sesama umat Islam namanya bukan kongsi tapi jeruk makan jeruk. Tidak menambah kekuatan apalagi suara.
Ben Anderson dan William Liddle, dua pengamat politik senior, telah banyak memberi kata bukti bahwa kekuatan santri dan abangan jika dilakukan sendirian tak bisa cukup menopang beban politik yang multikultur, multi etnis dan multiagama dalam satu dekapan.
Meski mengklaim 80 persen penduduk mayoritas muslim, realitas politik umat Islam dicacah kecil-kecil dalam bentuk ideologi dan aliran yang tidak mudah disatukan.
Ketika gerakan politik Islam sektarian menguat, maka Kristen politik sektarian, Budha politik sektarian dan agama atau kelompok ideologi sektarian lainnya juga turut menguat.
Pikiran sektarian inilah yang dicemaskan menjadi picu rubuhnya negara kesatuan yang dibangun di atas kebhinekaan dan keragaman. Maka ini bukan soal baliho yang diatur Pemda, tapi lebih pada dampak politis yang diakibatkan.
Politik Sektarian Tak Sukses
Maka model gerakan FPI dan HTI yang mengusung tema sektarian tak bakal sukses. Sebaliknya akan dilawan. Bahkan di internal politik umat Islam sendiri. Isu tentang keadilan, kesejahteraan, pendidikan murah, hak asasi, perlindungan hukum, kesetaraan sosial dan ekonomi hilang.
Isunya berganti dengan isu ideologi sektarian semacam komunis, aneksasi China, jual negara, dan isu kapitalisasi agama, Syiah, kafir, munafik, murtad dan seterusnya yang sama sekali tak dibutuhkan rakyat. Tapi terus digelorakan dan menjadi fitnah di kalangan umat.
Rakyat makin diabaikan dan dijauhkan dari panggung politik demokratis. Sebab negara hanya sibuk mengurus ideologi. Model politik sektarian hanya melahirkan kegaduhan massal, berisik tapi sesaat.
Greg Barton menyebut bahwa politik sektarian di samping miskin maslahat juga terbukti gagal di mana-mana. Afghanistan, Mesir, Suriah, Lebanon, Yaman, Irak, Maroko luluh lantak karena sektarian. Tak satupun dari negara-negara Timur Tengah itu yang patut dijadikan model negara Islam ideal. Bahkan sebaliknja jauh panggang dari api.
Dalam situasi demikian membangun sikap toleran berdasar nilai pluralitas menjadi urgen di tengah kebuntuan akut politik umat Islam. Wallahu taala a’lam. (*)
Editor Sugeng Purwanto