Din Syamsuddin: Pimpinan MUI Jangan Rangkap Jabatan Politik. Hal itu dia tegaskan menjelang pemilihan kepengurusan MUI 2020-2025.
PWMU.CO – Ketua Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020 Prof Dr M Din Syamsuddin mengatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi terhormat dan ber-marwah karena merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim.
“Maka perlu diisi oleh para ulama yang penuh dengan as-shidqu (kejujuran), amanah, dan beristiqamah. Ulama lurus seperti itu hanya takut kepada Allah SWT, tidak takut kepada makhluk. Mereka cinta kepada Allah, bukan cinta kepada dunia (hubbud dunya),” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima PWMU.CO, Kamis (26/11/2020) petang.
Menurut Ketua Umum MUI 2014-2015 itu, MUI ke depan perlu dipimpin oleh figur ulama yang benar-benar punya waktu sehingga dapat menjalankan tugas-tugas organisasi dengan sebaik-baiknya, yang bekerja demi Allah bukan demi dunia dan jabatan itu sendiri.
Dia menegaskan, walaupun ada hadits Nabi, “Jangan beri jabatan kepada yang menginginkannya”, namun dalam suasana tidak normal serahkan saja jabatan itu kepada mereka.
“Saya hanya berpesan agar Munas berjalan sesuai Pedoman Dasar (PD) dan Pedoman Rumah Tangga (PRT), jangan dilanggar karena akan mengurangi keabsahan dan mencederai marwah MUI,” pesan Din Syamuddin yang juga berharap PD dan PRT itu tidak diubah.
“Sesuai prinsip PD dan PRT lama, sebaiknya pemangku amanat di MUI, baik Dewan Pimpinan maupun Dewan Pertimbangan, jangan merangkap jabatan politik di eksekutif, legislatif, dan partai politik,” tegasnya.
Perangkapan jabatan ini, sambungnya, akan membawa MUI mudah terkooptasi dan terkontaminasi kepentingan politik yang acapkali tidak sejalan dengan kepentingan umat Islam.
“Dari luar arena Munas saya berdoa dan berharap semoga MUI tetap selamat sentosa pada jalan yang benar,” harap dia.
Ketika ditanya siapa yang pantas jadi Ketua Umum baik Dewan Pimpinan maupun Dewan Pertimbangan? Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode yang tidak bersedia lagi jadi Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini mengatakan kalau ada tokoh ulama mumpuni dan karismatik dari NU mungkin akan lebih baik, dan Sekjen dari Muhammadiyah.
“Karena Ketua Umum Wanpim sudah dari NU maka Ketua Wantim jangan NU lagi. Kalau dari Muhammadiyah ada Prof Dr KH Syafiq A Mughni yang sangat mumpuni, atau Prof Dr KH. Didin Hafiduddin, Ketua Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Wakil dari Ormas-Ormas perlu diakomodasi secara proporsional,” ujarnya.
Sejumlah Nama Mencuat
Musyawarah Nasional (Munas) X MUI yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, 25-27 November 2020 dan digelar secara luring dan daring ini memilki agenda utama menentukan kepengurusan baru periode 2020-2025.
Sejumlah nama mencuat sebagai kandidat Ketua Umum MUI. Seperti Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Mifatachul Akhyar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof KH Nasaruddin Umar, Sekjen MUI demisioner Buya Anwar Abbas, dan Wakil Ketua Umum demisioner Muhyidin Djunaidi.
Ketua Panitia Pengarah Munas MUI ke-10, KH Abdullah Jaidi, menyampaikan pemilihan jajaran kepengurusan baru dilakukan hari ini dan hasilnya pun dapat diketahui malam ini.
“Tim formatur akan dipilih nanti malam, lalu malam ini juga mereka akan sidang, memilih Dewan Pimpinan Harian dan Dewan Pertimbangan MUI, yang kemudian diplenokan hasilnya itu malam ini juga,” kata dia di Jakarta, Kamis (26/11/2020) seperti dikutip detik.com.
Kiai Jaidi mengatakan tim formatur yang dipilih tersebut akan berisi 17 orang, yang di antaranya Ketua Umum MUI demisioner Ma’ruf Amin, Sekretaris Jenderal MUI Pusat, dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat.
Selain itu, sambungnya, terdapat utusan dari MUI provinsi, ormas-ormas di bawah naungan MUI, utusan perguruan tinggi, dan juga pesantren yang juga akan masuk ke dalam bagan tim formatur.
“Ada juga tujuh orang itu dari MUI provinsi dari tujuh zona, dan dari 14 peserta ormas yang hadir offline (luring) akan dipilih lima orang, lalu satu utusan dari perguruan tinggi dan satu utusan dari pesantren,” kata dia.
Dia juga menegaskan tugas tim formatur tidak hanya untuk pemilihan ketua umum dan mandataris saja, melainkan juga memilih 22 nama untuk menduduki Dewan Pimpinan MUI dan juga tujuh nama untuk menduduki Dewan Pertimbangan (Wantim MUI).
“Ini berbeda dengan ormas-ormas yang lain yang hanya memilih ketua umum, mandataris, kemudian ketua umum memilih jajarannya. Kalau MUI ini memilih segenap kepengurusan, baik Dewan Pimpinan MUI maupun Wantim MUI,” ujarnya.
Kiai Jaidi menegaskan sistem pemilihan kepengurusan di MUI jauh dari hiruk-pikuk politik dan mengedepankan asas musyawarah mufakat. Hal ini tak lain karena bagaimanapun MUI adalah wadah ulama yang menjadi teladan umat secara luas. “Kita tegaskan bahwa pemilihan ketua umum tidak ada bias politik, karena kita bukan partai politik,” kata dia.
Munas yang mengangkat tema “Meluruskan Arah Bangsa dengan Wasathiyatul Islam, Pancasila, dan UUD NRI 1945, secara Murni, dan Konsekuen” ini juga akan membahas soal fatwa dan rekomendasi MUI. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.