Gebrakan KPK setelah ‘How Democracies Die’, kolom ditulis oleh, Dhimam Abroro Djuraid, wartawan senior.
PWMU.CO – Rasanya sudah lama sekali kita tidak membicarakan sebuah buku. Rasanya sudah lama sekali tidak terdengar ada buku yang viral.
Tentu saja ini buku yang serius. Kalau buku-buku lain seperti komik Sinchan, novel, roman serius maupun picisan, atau buku-buku praktis “how to” mungkin sudah sangat banyak yang viral.
Makanya ketika weekend yang lalu Gubernur DKI Anies Baswedan mengunggah foto di medsos sedang membaca buku berat ‘How Democracies Die (HDD) karangan Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky, masyarakat dan netizen merespons dengan berbagai macam cara.
Umumnya heran, ternyata masih ada pejabat tinggi yang di waktu senggang weekend membaca buku referensi yang tergolong serius.
Gaya Anies yang santai dan bersarung membuat makin banyak orang yang mendadak jadi ahli semiotika, menghubungkan apa penanda (signifier) dan apa petanda (signified). Apa political message yang dilempar Anies, atau Anies mau nyindir siapa.
Para haters Anies tentu saja mereaksi sebaliknya. Ada yang menganggapnya hanya action, ada yang menganggap message Anies negatif, malah ada yang bilang Anies bisa kena jerat hukum, entah pasal apa.
Apalagi, sebelumnya Anies baru dipanggil Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan sehubungan dengan kerumunan ribuan orang di rumah Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan dalam acara mauludan dan pernikahan putri HRS.
Disusul kemudian operasi penurunan baliho “Revolusi Akhlaq” HRS oleh Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurrahman yang membuat kontrovesi makin lebar sampai mengkhawatirkan munculnya kembali “Dwifungsi ABRI” yang praktis sudah terkubur 20 tahun. Karena itu sinyal Anies bisa diartikan “How (Indonesian) Democracies Die”.
Ketua KPK Salah Tahun Buku
Yang membuat makin ramai adalah komentar Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Firli Bahuri. Ia mengaku heran Anies baru mejeng dengan buku HDD sekarang. Padahal, kata Firli, dia sudah baca buku itu pada 2002. Jadi kalau Anies baru pamer sekarang sudah jauh ketinggalan kereta.
Banyak yang pada bingung dengan komentar Firli, soalnya buku HDD baru terbit pada 2018 dalam edisi Inggris, dan setahun kemudian baru ada edisi Bahasa Indonesia, bagaimana bisa Firli sudah baca pada 2002?
Ada sih buku yang diterbitkan setelah pengarangnya meninggal dan disebut sebagai “posthumous“. Ada juga buku best seller yang terbit setelah sebelumnya diterbitkan dalam jurnal dan sudah mengalami peer review oleh sekelompok ahli. Tapi, rasanya belum pernah ada buku yang sudah dibaca oleh jenderal polisi 16 tahun sebelum buku terbit.
Apa Jenderal Firli sakti mandraguna, weruh sakdurunge winarah? Usut punya usut ternyata Pak Jenderal salah sebut. Bukan buku HDH yang dimaksud, tapi buku lain berjudul Why Nations Fail (WNF) karangan Daron Acemoglu dan James Robinson yang terbit pertama 2012. Itupun orang pada bingung ketika Firli sudah baca buku itu pada 2002.
Mungkin Jenderal Firli berpikir dua buku itu beda dikit atau beda tipis, meskipun sebenarnya beda banget, langit dengan sumur, karena temanya beda. Tapi, untunglah Jenderal Firli cepat insaf dan memberikan koreksi dan klarifikasi.
Apapun, hebatlah seorang jenderal polisi dan ketua KPK baca buku referensi terkenal seperti WNF, meskipun salah sebut tahun. Mudah-mudahan Pak Ketua juga baca buku baru oleh pengarang yang sama berjudul The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty terbit pada 2019, sehingga kalau nanti Anies mejeng dengan buku itu Pak Ketua bisa berkomentar lagi.
KPK OTT
Yang lebih hebat lagi, ternyata hanya berselang sehari setelah salah komen, KPK membuat gebrakan dahsyat dengan melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo Kamis dini hari (26/11/2020).
Rasanya, sejak Firli jadi ketua KPK pada 2019 kita sudah tidak pernah dengar lagi ada OTT. Bahkan kepanjangan istilah OTT pun sudah banyak yang lupa, sehingga ada yang memelesetkannya menjadi “ongkos turun taksi”.
Seperti mesin diesel yang lambat panas dan setelah panas langsung gaspol, GPL (gak pakai lama) KPK langsung OTT lagi pada Jumat (27/11). Kali ini korbannya adalah Bupati Cimahi, Ajay Muhammad Priatna dengan bukti segepok uang Rp 400 juta.
Thanks, God, Pak Firli sudah membuktikan bahwa OTT masih ada, dan bahwa kecurigaan KPK telah dilemahkan adalah hoaks. Tradisi “Jumat Keramat” yang dulu ditunggu-tunggu masyarakat sekarang muncul lagi.
Dalam sepakbola Pak Firli disebut melakukan brace, mencetak dua gol dalam satu pertandingan. Salah satu gol yang dicetak adalah gol yang spektakuler seperti gol almarhum Maradona dalam perempat final Piala Dunia 1986 di Meksiko antara Argentina melawan Inggris. Ketika itu Maradona meliak-liuk dari garis tengah mendribel bola melewati enam pemain Inggris dan menceploskan bola ke gawang.
Gol yang dicetak Firli spektakuler karena yang ditangkap bukan sembarang ikan, tapi ikan besar, Big Fish Edhy Prabowo, tangan kanan Prabowo Subianto.
Masyarakat menunggu gol-gol spektakuler dari Firli sehingga tidak berhenti pada brace tapi bisa hattrick, tiga gol, bahkan quattrick, empat gol dalam satu pertandingan.
Kita berharap Pak Ketua sering-sering baca buku lagi meskipun keliru tahun dan judul kita maklumi. Dan, bagi para koruptor awas, waspadalah, tiap kali Pak Ketua bicara soal buku berarti akan ada big fish yang mau disikat.
Berkat buku, KPK bangkit lagi. Berkat buku, sekarang para politisi berebut cari simpati supaya viral seperti Anies. Kita sudah sangat jarang mendengar para pemimpin kita berdebat mengenai buku untuk mengasah literasi politik dan intelektualitas kita. Karena itu, apapun, “Thanks, Pak Anies” karena memviralkan buku HDD.
Para founding fathers republik ini adalah para tokoh yang intens berjuang di medan politik dan medan intelektual. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, dan masih banyak lainnya, adalah politisi cum intelektual yang menguasai medan politik dan memahami palagan intelektual.
Perdebatan panjang mengenai dasar negara pada sidang-sidang BPUPKI merupakan adu ide dan wawasan intelektual melalui perdebatan yang bernas dan berkualitas. Para founding fathers menunjukkan kematangan sebagai politisi dan intelektual. Pendapat-pendapat para intelektual dunia dikupas dan diperdebatkan dengan penuh antusias.
Karena itu tidak berlebihan jika disebut bahwa Pancasila adalah produk final dari saripati perdebatan dan pergulatan filosofis dari berbagai pemikiran dunia, sehingga Indonesia menjadi, meminjam Yudi Latif, “Negara Paripurna” karena punya dasar Pancasila.
Ben Saphiro dalam buku The Right Side of History yang terbit pada 2019 (mudah-mudahan tidak salah sebut tahun) mengklaim bahwa dokumen kemerdekaan Amerika The Declaration of Independence 4 Juli 1776 adalah dokumen yang paling ilmiah di dunia, karena lahir dari perdebatan intelektual para founding fathers Amerika, Thomas Jefferson, dan kawan-kawan.
Saphiro, mungkin, tidak baca Pancasila dan sejarah penemuannya. Tapi, kalau kita melihat proses perdebatan dalam pembahasan di BPUPKI maka Pancasila layak disejajarkan dengan The Declaration of Independence sebagai dasar negara dengan dasar filsafat dan ilmiah yang paling kokoh.
Anies seperti membunyikan wake up call, alarm tidur untuk membangunkan kita semua untuk kembali kepada akar intelektual yang menjadi tradisi politik para founding fathers. Kita sudah lelah menyaksikan debat politik di ruang publik, media massa, dan media sosial yang tidak bermutu dan hanya berisi saling hujat.
Tidak perlu lagi saling ledek dan saling bully. Yang mau pasang foto lagi baca buku berat silakan. Yang kepingin mejeng dengan komik Sinchan, silakan. Seperti kata iklan “You are what you read“.
Mungkin sekarang masyarakat pada penasaran, apa isi buku HDD. Demokrasi negara mana yang mati. Apakah ada hubungannya dengan kematian demokrasi di Indonesia.
Tulisan ini sengaja tidak mengungkap isi buku HDD. Toh versi digitalnya sudah beredar di mana-mana. Lagi pula, kapan lagi baca buku kalau tidak sekarang. Kapan lagi pasang status keren dengan buku bagus, kalau tidak sekarang. (*)
Gebrakan KPK setelah ‘How Democracies Die’: Editor Mohammad Nurfatoni.