PWMU.CO – Amar Makruf Nahi Mungkar Muhammadiyah dalam Bingkai Gerakan Kultural. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua PWM Jatim Nadjib Hamid.
Nadjib Hamid menyampaikannya saat menjadi pemateri pada Milad Ke-108 Muhammadiyah yang digelar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Pasuruan di RM Kebonpring Pasuruan.
Acara milad diadakan sederhana dan hanya mengundang para pimpinan majelis, Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) dan pimpinan amal usaha Muhammadiyah (AUM) Kota Pasuruan. Hal tersebut dilakukan untuk mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi. Selain itu para peserta diwajibkan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Kultural saat Pandemi
Menurutnya sejak awal Muhammadiyah adalah gerakan kultural. Karenanya Muhammadiyah di segala suasana yang dilakukan adalah gerakan kultural.
“Pernah ada jamaah protes, mengapa Muhammadiyah itu tidak berimbang antara amar makruf dan nahi mungkar. Kenapa lebih dominan amar makruf, sedangkan nahi mungkar tenggelam,” ujarnya.
Menanggapi protes tersebut, Nadjib merespon agar tidak mengukur amar makruf nahi mungkar Muhammadiyah dengan ukuran kelompok lain. Jangan pakai kaca mata kelompok lain.
“Contohnya di masa pandemi seperti sekarang ini. Muhammadiyah menyelamatkan orang-orang yang terpapar pandemi melalui rumah sakit dan lembaga kesehatan, kemudian ditakdirkan itu selamat, itu nahi mungkar dan kultural. Tidak gegap gempita dan orang tidak bisa membacanya,” ungkapnya.
“Dikiranya yang disebut nahi mungkar itu datang ke tempat maksiat, ngaploki orang yang berbuat maksiat. Cara pandang seperti itu adalah cara melihat Muhammadiyah dengan kaca mata yang salah,” tambahnya.
Ketika Muhammadiyah, lanjutnya, menyantuni orang miskin dan dhuafa sehingga ekonominya makin membaik dan terhindar dari kemurtadan, itu adalah nahi mungkar.
“Itu nahi mungkar yang luar biasa, karena menyelamatkan akidah. Memang tidak gegap gempita dan tidak menarik bagi pemberitaan politik. Begitu juga ketika Muhammadiyah mendirikan pondok. Itu amar makruf sekaligus nahi mungkar. Bagaimana kalau anak-anak itu tidak kita bentengi akidahnya, lalu diserbu agama lain dan terjadi pemurtadan, betapa munkarnya itu,” sergahnya.
Memang, sambungnya, kita harus paham kultur gerakan di Muhammadiyah. “Di Muhammadiyah, baik amar makruf dan nahi mungkarnya dilakukan secara kultural. Ini yang kerap kali tidak dilihat sebagi nahi munkar sekaligus amar makruf,” jelasnya.
Teladan Dalam Berdakwah
KH Ahmad Dahlan, menurutnya, merupakan teladan sejati dalam berdakwah. Dakwah Kiai Dahlan itu simpel. Coba perhatikan bagaimana Kiai Dahlan berdakwah di Banyuwangi.
“Kiai Dahlan berdakwah tidak pakai upacara-upacara. Dia datang ke suatu tempat memberikan pengajian. Pada awal kedatangan ke Banyuwangi, beliau seperti biasa membawa batik dan memberi pengajian. Nampaknya kedatangan Kiai Dahlan di Banyuwangi sangat mengguncangkan orang-orang yang merasa mapan di Banyuwangi,” kisahnya.
Setelah pulang dari Banyuwangi, lanjutnya, beliau mendapatkan surat kaleng, “Sekali lagi, anda datang ke Banyuwangi memberi pengajian, anda akan tinggal nama. Maknanya Kiai Dahlan akan dibunuh,” sambungnya.
Kiai Dahlan, ujarnya, adalah orang yang paham psikologi massa. Orang yang mengancam dalam pemaknaan Kiai Dahlan menandakan bahwa dirinya tidak berani. Setelah mendapat ancaman itu, Kiai Dahlan mengajak istrinya ke Banyuwangi lagi. Jadi makin diancam-makin menjadi-jadi.
Begitu turun dari kereta api, Kiai Dahlan didatangi sejumlah polisi. Polisi tersebut menyuruh Kiai Dahlan untuk kembali ke Yogjakarta.
“Pak Kiai kembali saja ke Yogya”, bujuk polisi.
“Kenapa pak polisi?” tanya Kiai Dahlan.
“Karena sudah ada sekelompok orang yang akan membunuh Pak Kiai,” jawab polisi.
Mendengar jawaban itu, lanjutnya, Kiai Dahlan menimpali, “Pak polisi ini kok aneh. Saya ini mau ngajak berbuat baik disuruh pulang. Lha yang mau bunuh saya kok dibiarkan,” sangkal Kiai Dahlan. Akhirnya pak polisi mati gaya, dan tidak bisa lagi mencegah Kiai Dahlan.
Setelah itu Kiai Dahlan tetap memberikan pengajian. Dan orang yang berkirim surat tadi, Abdullah namanya, adalah orang menyatakan pertama kali masuk Muhammadiyah di Banyuwangi.
“Ini cepat sekali. Orang yang dulunya mengancam Kiai Dahlan kemudian berbalik mendukung dan menjadi pengikut Muhammadiyah. Dan ini penting untuk ditiru dan dipelajari oleh seluruh warga dan pimpinan Muhammadiyah,” paparnya.
Meneguhkan Gerakan saat Pandemi
Era pandemi, menurutnya, memberi fitnah terhadap kita tentang beberapa hal. Salah satunya adalah bahwa selama ini pemahaman keagamaan warga Muhammadiyah khususnya, dan umat Islam pada umumnya, adalah paham keagamaan yang bersifat normal dalam situasi normal.
“Maka ketika situasinya tidak normal banyak yang gagap, termasuk warga dan pimpinan Muhammadiyah. Menerapkan kaidah agama secara normal di masa pandemi adalah bentuk kegagapan beragama,” ungkapnya.
Nadjib memberi contoh dalil untuk meluruskan dan merapakan shaf di waktu shalat. Dalil tersebut tidak bisa diaplikasikan di masa pandemi seperti saat ini. Muhammadiyah melalui putusan tarjih memutuskan untuk tetap patuhi protokol kesehatan, termasuk dalam keadaan shalat sekalipun.
“Penyebab penyebaran virus itu adalah kerumunan, jarak yang dekat dan dari droplet. Maka itu yang dihindari. Kalau ada orang yang bilang tidak sah shalat pakai masker, berarti dia memahami teks secara tekstual. Dia menganggap bahwa masker menjadi penghalang sujud ke tanah,” jelasnya.
“Emang ada di antara kita yang sujud sampai ke tanah? Tidak ada. Kita sujud di atas sajadah. Maka saya heran kalau ada warga dan pimpinan Muhammadiyah yang mempersoalkan hal-hal seperti itu,” imbuhnya.
Ulama-ulama terdahulu, menurutnya, sudah menetapkan kaidah-kaidah yang luar biasa. Misalnya.dalam situasi tertentu, hal-hal yang dilarang menjadi dibolehkan. Babi yang haram bisa berubah menjadi halal hukumnya dalam kondisi terpaksa, tidak berlebihan dan tidak direncanakan.
“Pemikiran keagamaan seperti itu belum diserap oleh warga dan pimpinan Muhammadiyah. Sehingga ada yang tidak siap melaksanakan panduan kehidupan keberagamaan saat pandemi. Meneguhkan gerakan keagamaaan memang harus diteguhkan, untuk membentuk kematangan warga Muhammadiyah,” terangnya.
Pergaulan dan Bacaan Luas
Kematangan itu terbentuk salah satunya oleh pergaulan yang luas dan bacaan yang luas. Kalau orang memiliki referensi sedikit, biasanya merasa paling benar sendiri.
“Begitu juga.kalau pergaulannya terbatas, biasanya kurang toleran. Kita boleh berbeda paham dengan orang lain. Akan tetapi jangan sampai karena kita berbeda pendapat dengan orang lain, kita menyalahkan orang lain di depan publik,” pesannya.
Dalam konteks ibadah, Nadjib mencontohkan dai-dai yang menganggap kelompok lain mengamalkan praktik takhyul, bidah dan churafat (TBC). Padahal itu masih bersifat dugaan saja. Sementara di kalangan Muhammadiyah pun kadang belum clear tentang definisi TBC.
“Yang disebut bidah itu hanya ada pada konteks ibadah mahdhah. Kalau ghairu mahdhah kita harus membuat bidah yang sebanyak-banyaknya. Nah di Muhammadiyah kerapkali mengibadah mahdhakan sesuatu yang bukan ibadah mahdhah. Jadi pokoknya yang tidak ada di zaman Nabi dianggap bidah,” urainya.
Ngopeni yang Kecil
Milad ini, ungkapnya, merupakan momentum ngopeni yang kecil. Dari dulu Muhammadiyah lahir karena ngopeni yang kecil. Termasuk ngopeni yang kecil itu adalah memperhatikan kebersihan mushola dan masjid yang masih kecil.
“Kalau kita ingin tahu seseorang itu peduli kebersihan atau tidak, maka lihatlah toiletnya. Kalau toiletnya bersih, lingkungan besarnya bersih. Kalau toiletnya tidak bersih, maka lingkungan besar itu hanya seolah-olah bersih,” paparnya.
Nadjib juga mengajak memberikan perhatian kepada nasib marbot di masjid-masjid Muhammadiyah. Apakah marbot-marbot itu sudah diperlakukan secara manusiawi atau belum. Peran marbot sangat penting, sekali saja dia tidak adzan, maka masjid akan kalang kabut.
“Saatnya kita peduli kepada marbot. Kadang panitia dan takmir masjid lebih menghargai orang yang menyumbang sepuluh ribu dua puluh ribu secara rutin, daripada yang menjaga masjid selama 24 jam,” jelasnya.
“Dalam rangka milad ini, perlu diadakan penghargaan kepada takmir-takmir masjid dan marbotnya. Supaya masjid-masjid Muhammadiyah menggairahkan dan menggembirakan,” tuturnya.
Muhammadiyah jalankan gerakan kultural. (*)
Penulis Dadang Prabowo. Co-Editor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.