Maradona dan Spirit Al-Maun, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, CEO PS Hizbul Wathan, Anggota Liga 2 PSSI.
PWMU.CO – Sepakbola adalah olahraga terbesar dan paling banyak penggemar di seluruh dunia. Miliaran orang menontonnya di berbagai antero dunia, dan jutaan anak muda bermimpi menjadi bintang sepakbola untuk menikmati gemerlap kehidupannya.
Jutaan anak miskin bermain bola di favela kumuh di Brazil, Argentina, dan di seluruh pelosok dunia. Di jalanan kampung, di lapangan desa di sudut gang di berbagai kota kita menemui anak-anak yang antusias bermain bola.
Panggung sepakbola bisa membawa seseorang menjadi bintang yang dipuja. Gemerlap sepakbola membawa seseorang menjadi pahlawan yang dicintai di seluruh negeri.
Pecundang sepakbola dicaci maki dan dibenci. Ada juga yang ditembak sampai mati.
Sepakbola membawa seseorang ke level idola, lalu naik lagi ke level pahlawan, dan ada juga yang naik level lagi menjadi level dewa, lalu menanjak lagi dianggap sebagai level tuhan.
Diego Armando Maradona adalah salah satu di antaranya. Maradona meninggal dunia (25/11/20). Seluruh dunia berduka, termasuk para penggemarnya di Indonesia. Ia meninggal dunia dalam usia 60 tahun karena penyakit jantung.
Diego Armando Maradona dipuja di seluruh dunia bagai dewa. Pengagumnya bahkan menyebutnya sebagai “dios” atau tuhan. Sampai sekarang pengagumnya di Napels, Italia tempat ia bermain pada 1984 sampai 1991 memasang foto dan patungnya bersama salib di dinding rumah.
Maradona membawa Argentina menjadi juara dunia di Meksiko 1986. Ia seperti sendirian mengobrak-abrik sebelas pemain Inggris. Ia menggiring bola dari lapangan tengah melewati separuh pemain Inggris dan menceploskan bola ke gawang.
Gol Tangan Tuhan
Dalam hidup, sebagaimana dalam sepakbola, ada seperangkat aturan yang membolehkan Anda melakukan sesuatu dan melarang Anda melakukan sesuatu yang lain. Dalam sepakbola Anda boleh membawa bola dengan seluruh tubuh kecuali tangan.
Aturan itu berlaku untuk semua orang kecuali Tuhan sang pembuat aturan. Dalam sepakbola Anda tidak boleh memegang bola. Tapi Maradona menciptakan gol dengan menggunakan tangannya dan seluruh dunia seolah tersihir tidak bisa berbuat apa-apa.
Maradona menyebutnya sebagai gol tangan tuhan, dan seluruh dunia mengamininya. Gol tangan tuhan itu sah dan sampai sekarang menjadi fenomena sepakbola dunia yang tidak bakal terulang lagi.
Kalau sesorang dalam kehidupan sosial maupun politik, bertindak semaunya, membuat undang-undang atau mengubahnya, dan kemudian melanggarnya sendiri seolah-olah tidak ada yang bisa mengalahkannya, maka ia melakukan permainan tuhan (playing god).
Hanya Maradona yang bisa melakukannya tanpa dihukum. Seorang presiden, sehebat apapun dia, akan kena hukuman jika melakukan playing god.
Pilih Napoli
Dari kampung kumuh di pinggiran kota Buenos Aires, Argentina, Maradona mencapai kebintangan. Ia kemudian memilih bermain di Napoli, Italia, sebuah kota di wilayah selatan Italia yang terkenal karena kekumuhannya dan termasyhur karena penjahat-penjahat mafianya.
Ia bisa memilih klub-klub yang kaya raya di wilayah utara Italia yang makmur seperti AC Milan, Inter, maupun Juventus. Tapi Maradona memilih Napoli yang miskin dan banyak pencopetnya. Di bus dan kereta api di wilayah itu selalu ada peringatan “Awas Tukang Copet”.
Rupanya Maradona lebih suka berkumpul dengan para pencopet yang miskin dan mencopet sekadar untuk bisa bertahan hidup daripada harus berkumpul dengan para pencopet uang rakyat yang mengaku sebagai pejuang wong cilik, padahal kerjaannya mencopet uang rakyat.
Bukan hanya fans Napoli yang memuja dan mencintai Maradona tapi rakyat miskin di Napels memujanya bak dewa. Maradona mencintai rakyat miskin dan karenanya rakyat miskin pun mencintainya. Maradona bahkan rela bermain di pertandingan tarkam (antar kampung) untuk mengumpulkan dana membantu orang miskin yang sedang sakit keras dan membutuhkan biaya besar.
Napoli menjadi scudetto juara Serie A Italia bersama Maradona pada musim 1986/1987 dan 1989/1990. Sebuah prestasi nasional dan internasional yang mengangkat nama Napoli sejajar dengan kota-kota megapolitan Italia lainnya. Sebuah prestasi yang sulit terulang lagi.
Kedekatan Maradona kepada orang-orang miskin membuatnya dituduh sebagai seorang sosialis bahkan komunis. Maradona tidak peduli. Ia tidak menutup-nutupi kecenderungan politiknya yang kiri. Ia dekat dengan pemimpin Kuba mendiang Fidel Castro yang dia anggap sebagai ayah angkat sekaligus mentor politik.
Setelah berhenti bermain bola pada pertengahan 1990-an Maradona kecanduan narkoba dan kesehatannya merosot. Beberapa kali ia dirawat dan direhabilitasi di Kuba, dan itu membuatnya makin dekat dengan Castro.
Dengan para pemimpin sosialis kiri Amerika Latin lainnya rata-rata Maradona juga dekat. Ia bersahabat dengan mendiang presiden Venezuela Hugo Chaves. Maradona bersahabat dengan pemimpin sosialis Bolivia, Evo Morales. Maradona dengan bangga memasang tato pemimpin revolusioner Amerika Latin, Che Guevara, di lengannya.
Terhadap perjuangan rakyat Palestina untuk melepaskan diri dari penjajahan Israel Maradona juga bersimpati dan memberi dukungan. Ia bertemu pemimpin Palestina Mahmoud Abbas di Piala Dunia Rusia 2008 dan mengatakan bahwa di dalam hatinya yang terdalam ia adalah mencintai Palestina.
Sepakbola terbukti bisa menjadi alat perjuangan yang sangkil (efektif).
Sebagai pemain dan legenda sepakbola hidup Maradona adalah hidup yang mulia karena kepeduliannya terhadap kemiskinan dan keterbelakangan. Tapi, sebagai manusia biasa di luar lapangan bola Maradona banyak kelemahan.
Di luar lapangan bola ia bukanlah dewa atau malaikat penyelamat seperti yang dipujakan para penggemarnya. Kehidupan Maradona di luar sepakbola bisa dibilang kacau.
Ia kawin cerai dan berhubungan dengan banyak wanita. Secara resmi Maradona mempunyai delapan anak dari enam perempuan yang mengaku sebagai istrinya. Salah satu anak perempuan Maradona dinikahi oleh bintang sepakbola Manchester City dan Argentina, Sergio Aguero. Pasangan itu bercerai pada 2013 setelah bersama selama empat tahun.
Maradona menglamai stres dan depresi sehingga kecanduan obat bius. Ia menjalani rehabilitasi di Kuba atas ajakan Fidel Castro. Selama tinggal di Kuba Maradona menjalin hubungan dengan seorang wanita dan dikabarkan mempunyai dua anak.
Kesehatan fisik dan psikis Maradona merosot. Ia mengalami obesitas dan mempunyai komplikasi berbagai macam penyakit termasuk jantung. Ia sering emosional dan tidak bisa mengontrol temperamennya. Suatu ketika ia marah kepada seorang wartawan dan mengancamnya akan menembak dengan senapan.
Penyakit jantung yang akut membawa akibat fatal bagi Maradona. Ia meninggal dalam tidurnya.
Spirit Al-Maun
Maradona pergi, tapi namanya akan abadi. Terlepas dari kelemahan hidup pribadinya, kecintaan dan perhatiannya kepada orang miskin akan tetap dikenang selamanya.
Maradona, sangat mungkin, tidak membaca Surat al-Ma’un. Tapi, spirit al-Maun terlihat dalam hidupnya. Kecintaan dan perhatiannya terhadap rakyat miskin harus membuat kita malu. Maradona menjadikan sepakbola bukan sekadar alat untuk mencari harta dan kemasyhuran, tapi ia memakai sepakbola sebagai ladang dakwah untuk memberantas kemiskinan.
Kita yang sering membaca al-Maun tapi masih suka abai terhadap fakir dan miskin harus malu kepada Maradona.
Adios, Diego. (*)
Maradona dan Spirit Al-Maun: Editor Mohammad Nurfatoni.