Rebut Papua dari Belanda, Begini Gaya Diplomasi Bung Karno oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jatim.
PWMU.CO-Hari ini 1 Desember 2020, The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengumumkan pembentukan Pemerintah Sementara Papua Barat. ULMWP adalah koalisi dari berbagai faksi politik yang berjuang untuk kemerdekaan Papua lepas dari Indonesia.
Tiap 1 Desember kondisi Papua memanas karena pendukung Organisasi Papua Merdeka mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai peringatan Hari Kemerdekaan Papua. Situasi panas sebelumnya sudah dipicu oleh kumpulan massa di Sorong pada Jumat (27/11/2020) yang menyampaikan tuntutan merdeka. Mereka akhirnya bentrok dengan polisi yang membubarkan aksi demonstrasi ini.
Pemerintah Sementara Papua Barat dipimpin Benny Wenda yang bermukim di Inggris sebagai presiden. Dia yang akan mengendalikan ’negara bayangan’ Papua dan menyusun kabinet menteri. Kemudian menyelenggarakan menyusun konstituasi, undang-undang, dan kabinet.
Pemerintah Sementara bakal membuat Deklarasi Kemerdekaan Sepihak atas nama rakyat Papua Barat yang waktunya ditentukan kemudian. ”Kami menolak undang-undang apapun, yang diberlakukan oleh Jakarta, dan kami tidak akan mematuhinya. Kami punya konstitusi sendiri, undang-undang kita sendiri, dan pemerintahan kita sendiri sekarang. Sudah waktunya Indonesia pergi,” kata Benny Wenda dikutip dari abcnews.
Tahun 2019, ULMWP menyampaikan Petisi Rakyat Papua Barat yang diklaim ditandatangani oleh 70 persen Rakyat Papua kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Sementara serangan-serangan sporadis tentara OPM masih mengganggu wilayah ini.
Inilah perkembangan Papua hingga kini. Saatnya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto membuktikan ucapannya saat jumpa pers pekan lalu bakalmenindak tegas siapa saja yang memecah belah persatuan Indonesia. Demi slogan NKRI harga mati.
Minta Senjata ke Uni Sovyet
Ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, mengakui seluruh bekas wilayah Hindia Belanda sebagai wilayah negara Indonesia, kecuali Papua. Pemerintah Belanda tak mau melepas Papua karena sudah tahu memiliki kandungan emas.
Setelah penyerahan kedaulatan, tahun 1950, atas diplomasi Belanda, PBB menyatakan rakyat Papua punya hak menentukan nasib sendiri sesuai Piagam PBB. Presiden Sukarno tak mau kedahuluan rencana Belanda ini. Maka dirancang Operasi Trikora dengan misi rebut Papua dari kekuasaan Belanda.
Frans Kaisepo, tokoh yang pro RI mendukung misi Sukarno rebut Papua. Dia mengusulkan nama baru untuk Papua agar lepas dari bayang-bayang Belanda. Namanya Irian. Singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Sejak itu nama Irian menjadi lebih populer. Sukarno menambahi kata Jaya artinya kemenangan. Saat menjadi provinsi Indonesia bernama Irian Jaya.
Selain diplomasi politik, Sukarno juga memperkuat persenjataan militer dikerahkan untuk rebut Papua. Dia minta bantuan senjata kepada Presiden Uni Sovyet Nikita Khruschev. Tahun 1956, Sukarno berkunjung ke Moskwa. Bertemu Khruschev, dia membahas sengketa negaranya dengan Belanda soal Papua.
Khrushchev yang mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika langsung mengumumkan dukungannya terhadap Indonesia di PBB. Moskwa juga mengirimkan senjata. Dari akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni Soviet telah memasok Indonesia dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja, amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.
Awalnya diplomasi internasional Indonesia tak mendapat dukungan negara besar untuk rebut Papua. Amerika Serikat yang membentuk NATO mendukung Belanda.”Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh Soviet di zaman Khruschev,” kata Van den Hengel, peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag kepada Russia Beyond.
Dengan dukungan persenjataan Soviet, Indonesia memulai kebijakan konfrontasi dengan Belanda pada tahun 1960. Konfrontasi ini melibatkan kombinasi tekanan diplomatik, politik, dan ekonomi, serta kekuatan militer.
Subandrio Pamer ke Amerika
Menteri Luar Negeri Subandrio yang fasih berbahasa Rusia menindaklanjuti kunjungan Sukarno. Dia terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet.
Nikita Khrushchev menggambarkan peristiwa yang berujung pada konfrontasi ini dalam memoarnya. Bagi dia, bantuan ini sekaligus uji coba keandalan senjata Sovyet dalam perang. ”Saya bertanya kepada Subandrio, seberapa besar kemungkinan kesepakatan (dengan Belanda) bisa tercapai’,” tulis Khruschev.
”Dia menjawab, tidak terlalu besar. Saya bilang, jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang, yang pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja.”
Meskipun dukungan Moskwa terhadap Indonesia sangat jelas dan dinyatakan secara terbuka, pembicaraan antara Khrushchev dan Subandrio ini seharusnya rahasia. Namun Subandrio, menurut memoar Khrushchev, mengungkapkan hasil pembicaraannya itu kepada Amerika, yang sama sekali tak ingin terjebak dalam krisis lain yang berpotensi menjadi Perang Dunia.
”Ini menjadi momen berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat,” kata Van den Hengel. ”Selain ingin menghindari konfrontasi langsung dengan Uni Soviet, AS tidak ingin terlihat bahwa negaranya tampak mendukung penjajah Eropa melawan negara dunia ketiga yang baru merdeka.”
Separatis Bentukan Belanda
Di bawah tekanan Amerika, pada Agustus 1962, Belanda akhirnya setuju untuk menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Pada 1963, wilayah Irian Barat akhirnya diserahkan kepada Indonesia.
Setelah referendum tahun 1969, atau yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah oleh beberapa pengamat Barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.
Namun Belanda mengembangkan sekelompok orang menentang penggabungan wilayah Papua dengan Indonesia. Orang-orang ini kemudian membentuk gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka sejak 1965 yang hingga kini masih aktif di Papua. Agaknya makin membesar. Kerja keras Bung Karno yang berhasil rebut Papua kini terancam musnah jika presiden penggantinya tak mampu berdiplomasi tingkat dunia. (*)
Editor Sugeng Purwanto