Pilkada Pertaruhan Nasib Rakyat atau Cukong oleh Aji Damanuri, Dosen IAIN Ponorogo dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung.
PWMU.CO– Pilkada serentak akan berlangsung 9 Desember 2020. Bagi rakyat, momentum ini apakah perubahan, harapan, ataukah ajang perjudian?
Calon kepala daerah yang bertarung hanyalah keramaian di panggung depan. Sementara di panggung belakang yang sunyi ada banyak tangan bermain. Seperti dalang dan orang-orang yang berkepentingan. Merekalah sebenarnya yang menjadikan pentas Pilkada makin ramai.
Di dunia wayang, Pemilihan Umum (Pemilu) termasuk Pilkada itu ibarat perang Baratayuda dalam lakon Mahabarata karya Begawan Abiyasa.
Dalam Mahabarata, dunia hanya dibagi dua. Dunia kanan dan kiri. Dunia kanan diisi kelompok Pandawa yang sedikit jumlahnya sebagai lambang kebaikan. Dunia kiri terdiri Bala Kurawa yang mayoritas mewakili komunitas kebatilan yang haus kekuasaan.
Ada dua tokoh penting arsitek perang Baratayuda yang menentukan strategi meraih kemenangan. Yaitu Krisna dan Sengkuni. Merekalah sebenarnya yang sedang bertarung. Menyusun strategi perebutan kekuasaan atas tahta Hastinapura. Karena itu di setiap kelompok kandidat Pemilu dan Pilkada akan tampak siapa pemeran Krisna dan Sengkuni.
Padang Kurusetra menjadi saksi dahsyatnya perebutan kekuasaan ini. Para penguasa, agamawan, cendekiawan, dan rakyat jelata banyak yang binasa dalam perang ini. Dalam Pilkada pun terjadi pertarungan. Bahkan Pemilu 2019 banyak yang mati dari para petugas. Para calon kepala daerah bersama tim sukses terdiri cukong, kiai, akademisi, politisi dan para kacungnya membangun logika pembenar bahkan memakai nama tuhan.
Power Elite
C. Wright Mills menjelaskan pertarungan kekuasaan ini dalam teori power elite. Teori power elite lahir dari analisis Pemilu di Amerika Serikat. Dia mengasumsikan adanya beberapa elite khusus yang mengendalikan sebuah komunitas dalam setiap Pemilu.
Teori ini berangkat dari sebuah pertanyaan apakah betul ada kelompok elite tertentu yang sesungguhnya mengatur Amerika? Pertanyaan ini dikemukakan dan diteliti oleh para sosiolog lain dengan berbagai pendekatan dan kesimpulan.
Wright Mills membuktikan dengan penelitiannya bahwa memang ada kelompok elite yang disebutnya dengan elite kuasa (power elite) yang berada di balik semua skenario kebijakan Amerika. Mills menyebut Amerika dikuasai oleh tiga kekuatan besar yang dia gambarkan sebagai piramida kekuasaan.
Bagian paling puncak piramida diduduki pemimpin yang menguasai tiga sektor hirarkis. Pertama, kekayaan perusahaan (corporate rich) terdiri orang yang paling kaya, dan pemilik saham perusahaan-perusahaan besar.
Kedua, pemimpin eksekutif (pegawai puncak di pemerintahan dan pemodal negara). Ketiga, pejabat yang memiliki kedudukan di militer. Level tertinggi ditempati oleh power elite yang bekerja secara informal dan di balik layar. Mereka inilah yang membuat keputusan-keputusan besar. Kemudian lapis kedua adalah pemimpin opini lokal (local opinion leaders), cabang legislatif pemerintah, dan beragam kelompok kepentingan. Bangunan ini melakukan tawar-menawar bagi elite-alite yang berkuasa.
Middle class terdiri anggota legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, dan pemimpin lokal. Keputusan pada level ini biasanya dilakukan dengan cara lobby atau prosedur legislatif, tingkat kepentingan putusannya pun di bawah yang pertama.
Lapis Ketiga
Kemudian lapis ketiga adalah masa yang tidak memiliki kekuasaan dan orang-orang yang tidak terorganisasi yang dikontrol oleh kekuasaan-kekuasaan yang di atas. Baik secara ekonomi maupun politik, kelompok lapisan ketiga ini dieksploitasi oleh lapisan-lapisan di atasnya.
Mereka ini adalah massa tanpa kuasa, penduduk yang tidak terorganisasi yang pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan berkaitan dengan hidup mereka sendiri sangat sedikit. Bahkan kadang tidak menyadari adanya keputusan tersebut.
Sehingga kekuasaan dalam masyarakat dimonopoli segelintir orang, few minority atau few people, yang disebut elite. Dalam teori ini, mayarakat itu terbagi menjadi the ruling class, kelas yang menguasai, dan the ruled, yang dikuasai.
Begitulah sebuah komunitas digiring dalam arus besar Baratayuda politik. Tidak peduli status sosialnya, kiai, akademisi, pejabat, jongos-jongos politik, semua tergilas oleh arus besar tersebut. Maka semua akan binasa, baik secara lahir maupun maknawi, binasa otoritas keilmuannya, binasa otoritas keulamaannya, binasa otoritas muruah sosialnya, binasa sumber pendapatan yang diperjuangkan sampai menekuk agama di bawah ketiaknya. Begitulah perang selalu membawa korban.
Kalau Baratayuda ada nilai kebenaran dan kebatilan yang dibela, pertarungan Pilkada sangatlah pragmatis. Memilih siapa yang bayar. Bukan lagi perang ideologis meskipun partai-partai berdiri atas nama ideologi yang dianutnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto