PWMU.CO – Umat Islam harus didorong menjadi muzakki (pembayar zakat) bukan mustahiq (penerma zakat). Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir MSi.
Dia menyampaikannya saat menjadi pemateri pada pembukaan Rakernas Lazismu 2021 yang digelar secara virtual, Jumat (4/12/2020).
Rakernas Lazismu 2021 mengambil tema Digitalisasi Filantropi untuk Penguatan Tata Kelola Lazismu dan Pencapaian SDGs.
Haedar Nashir memberikan apresiasi yang tinggi dari PP Muhammadiyah pada Lazismu, baik tingkat pusat sampai ke tingkat wilayah dan daerah,
“Apresiasi atas segala usaha yang sungguh-sungguh, terobosan sampai pada capaian yang telah diraih yang dalam empat tahun terakhir ini di bawah kepemimpinan Prof Hilman Latief,” ujarnya.
Lazismu, lanjutnya, telah menjadi lembaga ZIS nasional yang memperoleh banyak penghargaan dan menjadi kebanggaan persyarikatan Muhammadiyah.
“Tentu juga manfaat dari program-program Lazismu sebagai representasi dari Muhammadiyah dengan seluruh lembaga, majelis dan ortom termasuk Aisyiyah, telah memberi sumbangsih yang sangat bermakna untuk kemanusiaan,” ungkapnya.
“Sehingga Lazismu dan seluruh komponen yang ada di persyarikatan dapat mengemban peran rahmatan lil alamin, bukan hanya di tingkat lokal dan nasional bahkan juga di tingkat global atau internasional,” tambahnya.
Merawat Spirit Al-Maun
Program-program Muhammadiyah untuk kemanusiaan lewat berbagai pintu telah merambah ke luar negeri. Dan program-program ini seperti menunjukan bahwa spirit al-Ma’un terus kita rawat lebih dari 108 tahun dalam jiwa, pikiran, sikap bahkan dalam tindakan dan aktivitas kita.
“Sehingga al-Ma’un di tangan persyarikatan Muhammadiyah termasuk lewat leading sector Lazismu telah menjelma menjadi praksis sosial kemanusiaan yang membebaskan, memerdekakan, memajukan dan memberdayakan manusia,” paparnya.
Terutama, tambahnya, bagi saudara-saudara kita yang memerlukan bantuan dukungan dan usaha kita sebagai bagian dari spirit Al-Maun dan penolong kesengsaraan umum.
“Bagi kita zakat infaq dan shadaqah (ZIS) merupakan ajaran Islam yang menjadi kewajiban bagi yang berkemampuan untuk terus ditunaikan dan diikhtiarkan penggunaannya dan penyebarluasan dari ZIS itu,” kata Haedar Nashir.
ZIS dan Spirit Keislaman
Menurut dia, Lazismu telah begitu rupa menjadi lembaga amil zakat yang amanah, bertanggung jawab dan sekaligus juga memiliki tingkat good government yang baik sehingga fungsi ZIS dapat kita tunaikan dengan sebaik-baiknya.
“Tentu semangat ZIS itu tidak hanya direpresentasikan oleh Lazismu. Kita seluruh kaum Muslim harus memiliki jiwa ZIS ini sebagai bagian yang tidak lepas dari spirit keislaman kita,” pesannya.
Islam, lanjutnya, menempatkan sedemikian rupa zakat sebagai kewajiban yang melekat dengan rukun Islam. Tidak mungkin Nabi kita lewat wahyu yang dibawa Jibril itu menjadikan zakat menjadi bagian dari rukun Islam jika instrumen ini tidak dipandang penting.
“Tetapi menjadi sesuatu yang sangat mendasar, fungsional dan strategis bagi kehidupan umat Islam maupun kehidupan umat manusia sehingga menjadi bagian dari rukun Islam,” jelasnya.
Namun boleh jadi untuk zakat dan haji terutama, merupakan ibadah dan rukun Islam yang tidak mudah karena ada batas nishab dan ada batas kemampuan.
“Tetapi justru kekhasan dari ibadah ZIS itu sebenarnya sangat konstruktif dan sangat positif bagi kaum Muslim. Kalau kita letakkan dalam situasi yang aktual ketika umat Islam ingin menjadi khairu ummah seperti cita-cita Muhammadiyah dan juga di dalam perjalanan sejarah selalu memproduksi spirit cita-cita baldatun toyyibatun warobbun ghafur maka zakat, infak, dan shadaqah itu harus diletakkan dalam proyeksi membangun masyarakat Islam yang kuat,” urainya.
Dia menegaskan, masyarakat khairu ummah yang di dalam al-Quran sendiri zakat selalu dilekatkan dengan salat dan seterusnya. “Ini merupakan elemen yang sangat melekat dalam habluminallah tetapi punya fungsi yang hablum minnanass,” imbuhnya.
Dalam konteks ini, lanjutnya, Nabi bersabda bahwa orang Islam yang kuat itu orang yang tangannya di atas orang mukmin yang kuat adalah yang tangannya di atas. Maka ZIS menjadi parameter utama seberapa jauh umat Islam itu sebenarnya sudah berada dalam posisi tangan diatas
“Dalam bahasa kontemporer boleh dikatakan sebenarnya institusi ZIS itu mengandung spirit kapitalisme seperti tesisnya Webber tentang Protestant Ethic and Spirit of Capitalism. Kalau dalam teorinya Webber bahwa ketika kaum Protestan percaya akan hari kebangkitan setelah kematian, lalu mereka mencoba untuk hidup hemat, rasional, tidak boros, mau berbagi dan hemat,” terangnya.
“Lalu dari situlah terbentuk apa yang disebut dengan astetik dunia dalam. Di mana agama itu melahirkan spirit untuk maju karena dia tahu bahwa dia akan hidup sesudah mati,” sambungnya.
Dalam Islam, ungkapnya, teologi kapitalistik atau kapitalisme itu sendiri sebenarnya sudah melekat dalam ajaran Islam itu sendiri, bukan medium yang lepas dari dari nilai ajaran Islam. Bukan sekadar praktik dari beragama tetapi ada dasar teologisnya seperti dalam banyak ayat dan hadis Nabi termasuk yang dikutip tentang kita harus menjadi pemberi.
“Instrumen ini menjadi sangat penting. Maknanya harus kita letakkan ZIS itu sebagai etos kita setiap orang Islam sejak kecil untuk menjadi muzakki bukan mustahiq. Jadi tanamkan dengan sosialisasi ibadah ZIS termasuk lewat Lazismu, itu di keluarga-keluarga muslim untuk menjadi orang yang kelak di kemudian hari setelah dia dewasa menjadi orang-orang yang punya kemampuan sebagai muzakki,” tegasnya.
Jika mentalitas ini yang dibangun dengan spirit ZIS, maka sejak kecil orang-orang Islam akan mau bekerja keras, tidak malu dia bekerja apa saja.
“Bahkan juga menjadi orang yang gigih dan lain sebagainya. Maka ketika dia dewasa menjadi orang-orang yang punya kemampuan sebagai muzakki bukan sebagai mustahiq. Etos ini penting ditanamkan untuk jangka panjang,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.