Mananti Lahirnya Kepala Daerah Pilihan Tuhan, kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Bung Hatta—salah satu Proklamator Kemerdekaan Indonesia—pernah menyampaikan, Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.
Menarik dan demikian bermaknanya kata-kata salah satu tokoh brilian Indonesia yang kemudian menjadi Wakil Presiden selama 11 tahun (1945-1956).
Bung Hatta juga pernah dikenal dengan gagasan negara federasi yang banyak ditolak beragam kalangan pada waktu itu dan sampai hari ini dianggap bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gagasan negara federasi dalam perkembanganya tidak ditolak mentah-mentah, tetapi dijabarkan dalam konsep otonomi daerah utamanya sejak reformasi 1998. Kabupaten atau kota dan provinsi sebagai daerah-daerah yang membentuk NKRI telah diberi wewenang besar mengatur sendiri daerahnya dan memilih pemimpinnya melalui proses pilkada langsung.
Suka atau tidak suka demikianlah adanya. Sulit untuk mengembalikan proses pemilihan kepala daerah melalui DPRD serta “restu” dari pemerintah pusat seperti dahulu.
Otonomi daerah sebagai harapan dan salah satu agenda penting reformasi 1998—selain pemberantasan korupsi—sangat diharapkan mampu membawa kebaikan pada kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Daerah di Masa Orla dan Orba
Sebagaimana diketahui dan dirasakan oleh warga masyarakat yang sempat menikmati era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba)—atau yang sempat meneliti sejarah periode keduanya—nuansa sentralistik sangat kental pada Orde Lama dan Orde Baru.
Tanpa disadari pada perkembangannya pembangunan demikian terpusat di Jakarta. Seluruh inisiatif datang dari pusat. Daerah-daerah seperti sekadar pelaksana dari semua ketentuan pusat, termasuk dalam keputusan ekonomi.
Banyak kasus suatu daerah yang kaya sumber daya alam menjadi daerah miskin karena keputusan ekonominya ditentukan pusat, sumber daya alamnya yang melimpah digunakan untuk kemakmuran bersama seluruh bangsa, demikian dalihnya selama ini.
Daerah-daerah dalam bentuk kabupaten atau kota yang terdiri dari kelurahan-kelurahan atau desa-desa—mengacu pada ungkapan Bung Hatta—diharapkan bisa memberi cahaya bagi Indonesia jika mampu menghidupkan gairah pembangunan berdasarkan potensi desa, kelurahan, kabupaten dan kota.
Tidak berlebihan kiranya kata-kata Bung Hatta yang pernah menulis buku best seller berjudul Alam Pikiran Yunani, di mana politik negara berasal dari embrio politik kota. Istilah politik sendiri berasal dari kata “polis” dalam bahasa Yunani artinya kota atau negara kota.
Politik yang hari ini identik dengan kekuasaan, kepartaian, ilmu tata negara, mengatur masyarakat, ekonomi, sosial, budaya suatu bangsa dan sebagainya pertama kali diterapkan dalam lingkup kota.
Demikian juga dalam tarikh Islam yang mengenal periode Makkah dan Madinah, menyebutkan kata “madinah” artinya kota sebagai penyempurnaan dari nama Yatsrib. Nama Madinah diberikan setelah disepakatinya suatu Piagam tentang tata kelola kehidupan masyarakat Yatsrib yang baru dengan Piagam Madinah atau Piagam Kota.
Benang merah antara sejarah kota dalam peradaban Yunani dan Islam, masing-masing mewakili periode kuno Sebelum Masehi dan modern atau periode Masehi.
Negara kota dalam konsep Islam berkembang menjadi daulah Islam atau khilafah. Selain mengatur wilayah yang lebih luas dari kota juga mengendalikan jazirah lain yang bersedia ikut aturan Piagam Madinah.
Perkembangan politik negara kota selanjutnya hingga dewasa ini mampu membentuk serta mengendalikan imperium-imperium raksasa. Mulai dari peradaban Muawiyah berpusat di Damascus, Abbasiyah berpusat di Baghdad, Andalusia berpusat di Cordoba, Utsmaniyyah berpusat di Konstantinopel, Inggris Raya di London, United States of America di Washington hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia berpusat di Jakarta.
Kota-kota dan kabupaten-kabupaten penting sebagai jembatan desa-desa dan kelurahan-kelurahan dengan pemerintah propinsi dan negara. Kepala-kepala daerah bukan lagi pesuruh pusat, melainkan penyambung lidah masyarakat yang memiliki agenda ekonomi dan politik untuk kesejahteraan mereka sekaligus ikut mendorong kemajuan negara.
Suara Rakyat Suara Tuhan
Pemilihan kepala daerah yang berlangsung serentak pada 9 Desember 2020 sebagai momentum menyalakan lilin-lilin di desa-desa dan keluarahan-kelurahan sebagai lumbung suara utama para calon kepala daerah.
Aspirasi warga desa dan keluarahan sebagai modal utama pengisi kotak suara pasangan calon sekaligus sumber ide-ide pembangunan atau program kerja bagi yang terpilih. Suara rakyat suara Tuhan, vox populi vox Dei masihkan relevan digunakan dalam politik daerah?
Sebagian pihak menolak jargon bahasa Latin ini karena dianggap terlalu “sakral” dipakai atau dimainkan untuk politik termasuk pilkada. Sebagian pihak menganggap vox populi vox Dei sebagai ungkapan dalam dunia peradilan sebagaimana asalnya dan aslinya yang menginginkan para pengadil memperhatikan suara rakyat dalam pengambilan keputusan hukum.
Vox populi vox Dei tidak tepat digunakan dalam ranah politik karena tidak etis membawa-bawa Tuhan dalam ranah politik. Termasuk juga apakah para pasangan calon yang terpilih nanti berhak mengklaim dirinya sebagai pilihan Tuhan atau terpilih oleh kehendak Tuhan?
Sebagian kalangan menilai politik terlalu kotor dikaitkan dengan agama dan Tuhan. Tetapi banyak kalangan yang lupa bahwa pasangan manusia pertama yang ditunjuk Tuhan sebagai khalifah di muka bumi yaitu Adam dan Hawa tidak luput dari dosa.
Beragam komplain dari malaikat yang suci dan iblis yang merasa lebih tinggi tidak menggoyahkan Allah Aza wa Jala sebagai pemilik hak prerogatif untuk tetap mengutus Adam dan Hawa sebagai pasangan yang layak sebagai khalifah di bumi.
Dosa Adam dan Hawa yang melanggar larangan untuk mendekati “buah terlarang” tidak mengubah keputusan Allah mengutus Adam dan Hawa.
Di sinilah kemudian Allah memberikan hikmah dan ibrah pada seluruh anak cucu Adam dan Hawa tentang terjadinya proses taubat atas segala kesalahan dan pemberian ampun atas segala kesalahan Adam dan Hawa.
Siapa saja yang menjadi pemimpin di muka bumi hakikatnya telah tercatat di “Lauhul Mahfudz” sebagaimana Allah menetapkan Firaun sebagai pemimpin yang ingkar atau Nabi Daud dan Sulaiman sebagai raja yang beriman.
Sangat mudah kiranya bagi Allah membalik Firaun sebagai pemimpin rakyat biasa yang ingkar dan menjadikan Nabi Musa sebagai raja yang beriman. Firaun, Musa, Daud, Sulaiman, dan lain-lain dijadikan pemimpin sebagai ujian bagi pemimpin itu sendiri atau ujian bagi umatnya untuk tetap beriman kepada Allah atau “beriman” pada pemimpin yang zalim.
Selamat menyambut pilkada dan meyakini bahwa siapapun yang “jadi” adalah “pilihan” Allah tanpa harus baper, marah, atau bermusuhan sepanjang hayat.
Semua calon mengusung janji-janji kampanye yang baik dan membawa pesan-pesan relijius, tidak satu pun yang tampak membawa pesan-pesan buruk dari musuh Allah.
Siapa pun yang terpilih adalah “pilihan” Allah sebagaimana Nabi Adam, Hawa, Firaun, Nabi Daun, dan Nabi Sulaiman ditetapkan sebagai pemimpin untuk ujian bagi pemimpin itu sendiri dan pengikutnya, umatnya, serta rakyatnya.
Dijadikan pemimpin oleh Allah apakah semakin mendekat, memohon ampun jika melakukan kesalahan kemudian bertaubat dan menjalankan kewajiban janji-janji dengan baik? Atau semakin ingkar, jauh dari Allah karena jabatan dan kekuasaannya. Korupsi? Wallahu a’lam bishawab. (*)
Mananti Lahirnya Kepala Daerah Pilihan Tuhan: Editor Mohammad Nurfatoni.