PWMU.CO – Wasathiyah Muhammadiyah, Din Syamsuddin: Luas, Luwes, Tegas, dan Mandiri. Sikap demikianlah yang akan membawa Muhammadiyah bermarwah dan bermartabat.
Wasathiyah Muhammadiyah itu dinamis namun sekaligus juga tegas. Tidak kalah dan lembek, tapi berwibawa dan tampil memimpin dengan keadilan. Berlaku adil kepada orang lain dan terutama pada diri sendiri.
Hal itu disampaikan Prof Dr Din Syamsuddin MA saat Seminar Munas Tarjih XXXI yang berlangsung secara daring, Sabtu (5/12/2020)
Mengambil tema Moderasi Keberagamaan dalam Konteks Indonesia Berkemajuan, Din mengaku kurang sepakat dengan istilah moderasi beragama dan perlu mendudukan lagi istilah itu secara proporsional.
“Pasalnya, istilah itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik internasional pasca peristiwa 11 September. Dalam konteks geopolitik ini, istilah moderasi cenderung menimbulkan persoalan konseptual,” tuturnya.
Wasathiyah Islam
Oleh karena itu, imbuhnya, istilah yang yang layak diajukan adalah Islam wasathiyah karena ini secara normatif disebutkan di dalam al-Baqarah ayat 143 dengan sebutan ummatan wasathan.
“Istilah moderasi ini harus dilihat konteks politik internasionalnya. Di mana Amerika Serikat mencoba merangkul beberapa kelompok untuk mengamankan kepentingan internasional,” imbuhnya.
Din mengaku mengeksplorasi gagasan wasathiyah Islam dari sejumlah ulama dan tokoh umat melalui Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama Muslim Dunia di Bogor, Jawa Barat (1-3/5/2018).
Makna moderasi menurutnya sudah terkandung di dalam istilah wasathiyah. Dan wasathiyah Muhammadiyah mengacu kepada Ali Imran 104 untuk senantiasa mengajak kepada keunggulan.
“Baik keunggulan pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi yang diseimbangkan pula dengan amar ma’ruf nahi munkar,” terangnya.
Din Syamsuddin menambahkan, moderasi hanyalah salah satu unsur tasamuh atau toleransi. Toleransi pun harus dimaknai menerima perbedaan, karenanya mengakui kemajemukan dan kesiapan hidup berdampingan secara damai. “Jadi bukan lembek dan kehilangan prinsip,” ujarnya.
Din Syamsuddin tidak bersepakat dengan istilah moderasi untuk dikembangkan, karena istilah moderasi sempit dan reduksionis. Apalagi jika dikaitkan dengan moderasi beragama (religious moderation) maka ada unsur pengertian rekonsiliatif (mendamaikan) dan mediatif (menengahi).
Dalam hal ini agama akan kehilangan watak prinsipil. Islam mengajukan konsep yang lebih luas yaitu wasthiyah yang mengandung tujuh prinsip: i’tidal (berlaku adil dan menegakkan keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran), syura (cenderung bermuayawarah), islah (melakukan perdamaian dan perbaikan), qudwah (kepeloporan), dan muwathanah (kewarganegaraan).
Muhammadiyah Gerakan Wasathiyah
Din mengatakan, Muhammadiyah senantiasa menggabungkan iman dan amal yang sangat berimbang. Sehingga iman tidak hanya diyakini dan tertanam dalam hati namun juga menjelma dalam amal.
“Sejatinya Muhammadiyah yang saya pahami sudah merupakan gerakan wasathiyah baik secara prinsipil maupun praksis dalam aksi-aksi sosial kebangsaan,” tutur Din.
Darul Ahdi wa Syahadah
Implementasinya yang baik menurutnya adalah Darul Ahdi wa Syahadah yang salah satu bentuknya adalah ikut serta aktif secara meritokrasi di kehidupan berbangsa, termasuk politik.
“Peran Muhammadiyah bukan hanya menjawab tantangan ekstrimisme umat Islam, tapi juga ekstremisme negara. Muhammadiyah harus melawan kemungkaran struktural, tidak malah kompromi,” tandas Din.
Din mengatakan, jihad konstitusi yang selama ini dilakukan Muhammadiyah dan agenda Meluruskan Kiblat Bangsa juga harus terus dilakukan untuk melawanan kerusakan dan kedzaliman struktural.
“Sehingga Muhammadiyah harus menjalankan fungsi pengusung, pendukung, dan pengawal dalam upaya melawan kerusakan struktural di negeri ini,” tegasnya.
Din Syamsuddin menambahkan, sesungguhnya arsitektur Negara Indonesia, baik Pembukaan UUD 1945 maupun Batang Tubuhnya, sudah mencerminkan watak wasathiyah (jalan tengah). Oleh karena itu, Muhammadiyah harus berperan sebagai pendukung dan pengawal cita-cita nasional tersebut secara konsisten dan konsekwen.
“Maka terhadap gejala deviasi, distorsi, dan disorientasi kehidupan nasional Indonesia dari nilai-nilai dasar tersebut harus disikapi oleh Muhammadiyah dengan mengedepankan amar makruf nahi mungkar,” ujarnya. (*)
Konttibutor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni