
PWMU.CO – Pandangan menarik soal amal usaha Muhammadiyah (AUM) disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari. Menurutnya, kata “usaha” dalam AUM telah menggeser keikhlasan beramal dan berganti dengan orientasi sisa hasil usaha (SHU).
“Sisa hasil usaha (SHU) memang penting. Tetapi jangan mengkerdilkan diri dengan hanya mengejar materi,” kata Hajri, panggilan akrabnya, di hadapan peserta Konsolidasi Organisasi Pimpinan Wilayah dengan Pimpinan Daerah Muhamamdiyah se-Jawa Timur putaran ke-3 yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Malang, Ahad (23/10).
(Baca: Hajriyanto: Muhammadiyah Tak Perlu Banyak Produksi Kata-Kata dan Hajriyanto: Zakat, Gerakan Otentik Muhammadiyah)
Hajri menjelaskan, semua kegiatan atau bentuk AUM apapun, apalagi yang mengandung unsur profit, sejatinya merupakan perluasan atau tambahan dan improvisasi yang datang belakangan. “Itu semua tidak lah otentik Muhammadiyah. Tidak original,” jelas Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Lazismu, MDMC, dan MPM ini.
Hajri melanjutkan, jika pendirian sekolah-sekolah unggulan dan rumah-rumah sakit favorit saja tidak otentik Muhammadiyah, apalagi kegiatan politik untuk kekuasaan. “Sebab, sejatinya Muhammadiyah yang otentik adalah gerakan etik dan filantropik. Bukan gerakan AUM yang disengaja untuk memperoleh sisa hasil usaha.”
(Baca juga: Jangan Jadi Umat Islam Sontoloyo dan Hajriyanto: Muhammadiyah Tak Perlu Banyak Produksi Kata-Kata)
Dengan mengatakan tidak otentik, kata Hajri, bukan berarti pendirian AUM yang berorientasi bisnis tidak diperbolehkan. “Boleh saja Muhammadiyah terjun dalam bentuk pengembangan AUM, atau sekalian saja bisnis (usaha) sekalipun. Tetapi, sekali lagi, kegiatan-kegiatan yang berdimensi ekonomi atau profit tersebut haruslah dipandang sebagai faktor komplementer belaka,” kata Hajir mengingatkan. “Pasalnya itu tidak otentik Muhammadiyah! Hanya sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga sosial, dan amal-amal yang bersemangat penolong kesengsaraan oemoem lah yang benar-benar otentik Muhammadiyah.”
Hajri menjelaskan, keotentikan gerakan Muhammadiyah bisa dilacak dari pembentukan PKO atau Penolong Kesengsaraan Oemoem (Assistence for Relief of Public Suffering) pada 1920-an. Ia lalu mengutip pidato pengarahan pembentukan PKO oleh KH Ahmad Dahlan:“Hadjatnja PKO itoe akan menolong kesengsaraan dengan memakai asas agama Islam dengan segala orang, tida dengan membelah bangsa dan agamanja”. Artinya, kata Hajri, dari Muhammadiyah yang berasas agama Islam, PKO lahir untuk misi kemanusiaan universal.
(Baca juga: Hajriyanto: Ceramah Itu Jangan Sedikit-sedikit Bidah, Sesat, Haram, dan Masuk Neraka!)
Ironisnya, lanjut Hajri, kini rumah-sakit rumah sakit Muhammadiyah yang dulu merupakan tempat dan instrumen untuk menolong kesengsaraan oemoem telah berubah menjadi seperti rumah sakit pada umumnya. Hajri menyebutkan, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) juga sudah berubah secara resmi menjadi Pembina Kesejahteraan Umat (PKU). “Artinya, bukan hanya kata oemoem yang inklusif telah berubah menjadi umat yang berkonotasi internal, tapi semangat menolong kesengsaraan oemoem telah bergeser menjadi penyedia jasa kesehatan dengan membayar.”
Pertanyaannya, dari mana Muhammadiyah memperoleh dana untuk menolong orang-orang yang sengsara itu? “Kita harus menghimpun dana-dana dari orang-orang Muhammadiyah yang pemurah, dermawan, dan suka menolong sesama melalui Lazismu.”
Jadi, kata Hajir, Lazismu adalah reinkarnasi dari Penolong Kesengsaraan Oemoem alias PKO. Semangat Muhammadiyah yang diilhami oleh teologi Al-Ma’un yang sangat filantropis harus digelorakan dalam tubuh Muhammadiyah. Selain Lazismu, Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) Muhammadiyah atau Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) adalah juga reinkanransi PKO. (Nugroho/Uzlifah/MN)
Discussion about this post